Penambangan Ilegal di Konsesi PT Antam Konawe Utara Babat Ratusan Hektar Hutan
Dalam proses penambangan, ternyata ada tambahan 157 hektar lahan dari hanya 22 hektar yang diperbolehkan untuk ditambang. Tindakan itu disebut atas sepengetahuan PT Antam.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara mengungkap 157 hektar kawasan hutan di konsesi nikel PT Antam di Konawe Utara telah ditambang tanpa izin. Penambangan itu diketahui dan disetujui petinggi perusahaan negara tersebut. Meski telah ada empat tersangka, kasus ini diduga kuat melibatkan banyak pihak lain.
Asisten Intelijen Kejati Sultra Ade Hermawan menyebutkan, kasus korupsi pertambangan di lahan PT Antam di Blok Mandiodo terus disidik. Saat ini, empat orang ditetapkan menjadi tersangka, termasuk GM PT Antam UPBN Konawe Utara HW.
”Setelah dua kali pemanggilan, hari ini kami tahan Saudara HW setelah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Dia berperan besar dalam kerja sama antara PT Antam dengan PT Lawu dan Perusda Sultra yang menyebabkan penambangan ilegal di Blok Mandiodo,” kata Ade, di Kejati Sultra, Jumat (23/6/2023) malam.
Selain HW, tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka yaitu GL selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, AA selaku Direktur PT Kabaena Kromit Pratama, serta Direktur Utama PT Lawu Agung Mining OS. Mereka diduga kuat berperan dalam praktik pertambangan dan penjualan ore ilegal di konsesi milik PT Antam.
Ade menjelaskan, PT Antam yang memiliki konsesi izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, menjalin kerja sama dengan PT Lawu Agung Mining dan Perusda Sultra. Dua perusahaan tersebut kemudian kembali melakukan joint operation (jo) dengan 38 perusahaan untuk menggarap konsesi milik PT Antam tersebut.
Akan tetapi, dari ribuan hektar konsesi PT Antam di Blok Mandiodo, baru 22 ha yang bisa dikelola dan masuk dalam Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB). Sebab, ribuan hektar lainnya adalah kawasan hutan yang memerlukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Perusahaan diketahui belum memiliki izin tersebut.
”Tapi, dalam proses penambangan itu ternyata ada tambahan 157 hektar lahan yang sebagian besar adalah kawasan hutan. Itu atas sepengetahuan HW selaku GM PT Antam UPBN Konut karena penambangan dilakukan setiap hari. Dan, mereka tahu telah menggarap di kawasan hutan. Kami juga telah meminta keterangan mantan petinggi PT Antam utamanya yang mengetahui dan bertanda tangan dalam kerja sama tersebut,” tuturnya.
Tidak hanya menggarap kawasan hutan, Ade melanjutkan, para pihak dalam penambangan di Blok Mandiodo ini juga menjual ore nikel secara ilegal. Nikel yang seharusnya dijual ke PT Antam, sebagian besar diselundupkan keluar.
Para pelaku ini diketahui memakai dokumen perusahaan lain, salah satunya adalah PT KKP, dan menyamarkan ore nikel tersebut sebagai hasil penambangan di tempat lain. Meski begitu, Kejati Sultra belum mau merinci besaran ore nikel yang diselundupkan dan total kerugian negara.
Pihak Kejati Sultra, beberapa waktu ini, telah menyelidiki kasus korupsi penambangan di wilayah konsesi PT Antam di Konawe Utara. Kasus ini telah bergulir dengan total saksi 47 orang dan 22 perusahaan.
PT Antam memiliki sejumlah wilayah konsesi di Konawe Utara. Salah satunya adalah Blok Mandiodo sekitar 16.900 ha di wilayah Konawe Utara. Wilayah ini beperkara selama belasan tahun setelah di atasnya juga terbit 11 izin yang tumpang tindih. PT Antam lalu menggugat dan menang pada 2021 serta melakukan produksi nikel di wilayah itu.
Kejati Sultra juga telah menggeledah beberapa tempat. Salah satunya kantor PT Antam Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UPBN) Konawe Utara pada awal Juni lalu. Sejumlah petugas mendatangi kantor ini dan menyita sejumlah barang bukti setelah penggeledahan selama dua jam. Barang bukti dibawa petugas untuk diperiksa.
Faizal Alkadri, Corporate Secretary Division Head PT Antam Tbk, menuturkan, pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan dan akan memberikan informasi yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan komitmen perusahaan untuk selalu bekerja sama dengan pihak terkait jika ada hal-hal yang diperlukan.
”Terkait dengan kasus yang terjadi ini kami sedang menelaah dan melihat perkembangan yang terjadi. Dengan demikian, hal-hal terkait permasalahan ini akan disampaikan kemudian setelah ada kejelasan dan informasi lebih lanjut,” tuturnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra Andi Rahman menuturkan, pihaknya mengapresiasi langkah Kejati Sultra untuk mengusut kasus yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini. Terlebih lagi, informasi yang beredar sejauh ini, penambangan ilegal di Blok Mandiodo melibatkan banyak orang, instansi, hingga petinggi negeri.
Di satu sisi, ia berharap Kejati terus transparan dan terbuka dalam menangani kasus ini. Sebab, begitu banyak hal yang harus diungkap dan terus ditelusuri, utamanya keterlibatan pihak lain yang membabat kawasan hutan di wilayah tersebut.
”Termasuk kawasan hutan yang dibilang ditambang ilegal 157 hektar itu datanya dari mana? Informasi yang kami peroleh angkanya mencapai ribuan hektar. Pembukaan kawasan hutan secara masif akan memberikan dampak ke masyarakat,” ucapnya.
Kasus di Blok Mandiodo, kata Andi, hanya satu dari berbagai contoh pembukaan kawasan dan praktik penambangan ilegal yang terjadi di Sultra. Wilayah ini terus dibuka dan ditambang tanpa melihat dampak buruk kepada masyarakat.