Pengarusutamaan turats atau kitab kuning dengan rekontekstualisasi dan revitalisasi agar memperkuat kontribusi dalam pemajuan dan kemajuan peradaban bangsa serta pendidikan yang khas dan berkarakter.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
LAMONGAN, KOMPAS — Kementerian Agama dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendorong penguatan peran turats atau kitab kuning untuk kemajuan peradaban Indonesia serta dunia. Ke depan, pesantren bisa didorong melahirkan pakar di berbagai bidang.
Hal itu mengemuka dalam Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional (MQKN) dan Halaqah Ulama Nasional di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, 10-18 Juli 2023.
Rangkaian musabaqah diikuti sedikitnya 2.200 santri, pengurus pondok pesantren (ponpes) dan mahasantri Ma’had Aly dari 35 provinsi di Indonesia. Bersamaan dengan musabaqah, PBNU mengadakan halaqah yang dihadiri lebih kurang 500 ulama se-Indonesia.
MQKN kali ini bertema ”Rekontekstualisasi Turats untuk Peradaban dan Kerukunan Indonesia”. Acara tersebut dibuka pada Selasa (11/7/2023) malam oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Prof Muhammad Ali Ramadhan.
MQKN bertujuan memotivasi dan meningkatkan kemampuan santri dan mahasantri dalam pengkajian dan pendalaman ilmu Islam bersumber dari turats. Untuk itu, diadakan kompetisi dan lomba MQKN, debat bahasa Arab dan Inggris, debat Qanun, bahtsul kutub, dan lalaran nadham.
Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU KH Hodri Ariev mengatakan, halaqah digelar untuk memperkuat peran kitab kuning dalam moderasi kehidupan sosial agama dan solusi masalah hidup umat. Selain itu dilakukan guna memajukan pendidikan keislaman yang khas dalam pesantren.
”Ponpes diharapkan tetap aktif mendorong kajian dan implementasi kitab kuning untuk kehidupan lingkungan yang baik, damai, harmonis,” ujar Hodri di sela halaqah, Rabu (12/7/2023) siang.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sekaligus Ketua Majelis Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Prof KH Machasin dalam sesi halaqah menuturkan, perlu pengarusutamaan kitab kuning agar tetap relevan dengan kehidupan sosial dan perkembangan peradaban.
Namun, pengarusutamaan dengan rekontekstualisasi dan revitalisasi menghadapi tantangan. Menurut Machasin, turats ialah pusaka atau khazanah yang bagi sebagian umat menjadi beban untuk pelestariannya.
Turats ditulis di masa lalu dalam konteks peradaban saat itu mengenai masalah keagamaan, yakni akidah, fikih, akhlak, tasawuf, dan tafsir.
”Sumber referensi lain sangat mungkin lebih dikenal dan dirujuk,” kata Machasin. Namun, kitab kuning perlu terus dikaji dan didalami untuk menjawab beragam persoalan sosial saat ini.
Menurut cendekiawan dan tokoh PBNU KH Masdar Farid Mas’udi, kitab kuning yang dipelajari di pesantren menjadi kekhasan dan kekuatan unik. Di sisi lain, turats tetap relevan sehingga penting dalam pendidikan di pesantren.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Prof Mahfud MD, salah satu pembicara kunci, mengatakan, posisi pesantren dalam pendidikan nasional semakin penting dan integral. Saat ini, lulusan pesantren kian dipercaya menduduki jabatan strategis politik bangsa dan negara.
”Artinya, pesantren bisa dan harus selalu bisa berkembang dan beradaptasi untuk keilmuan yang dibutuhkan bangsa dan negara,” ujar Mahfud, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sarjana Muslim di masa lalu bukan sekadar ahli fikih atau kitab, melainkan juga ahli kimia, pengobatan, atau astronomi. Pesantren bisa berkembang ke sana.
Pesantren perlu terus berikhtiar dalam perjuangan mendapat kesetaraan dalam sistem pendidikan nasional. Pesantren tak boleh puas sekadar mencetak ahli ilmu keislaman. Mereka bisa melahirkan pakar di bidang kedokteran, kesehatan, astronomi, kimia, matematika, pertanian, kemaritiman, hukum, hingga sosial politik.
”Sarjana Muslim di masa lalu bukan sekadar ahli fikih atau kitab melainkan juga ahli kimia, pengobatan, atau astronomi. Pesantren bisa berkembang ke sana,” kata Mahfud.