Digitalisasi Manuskrip Pesantren Tebuireng untuk Merawat Pengetahuan
Upaya digitalisasi manuskrip kuno di pesantren terus dilakukan untuk mencegah manuskrip rusak, hilang, atau musnah, berikut pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah manuskrip kuno yang ada di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dilestarikan melalui digitalisasi. Pengetahuan dan pemikiran keislaman dalam manuskrip tersebut dapat menjadi referensi pengetahuan masa kini.
Digitalisasi tersebut merupakan program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA). Program ini dikerjakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HidayatullahJakarta bekerja sama dengan Pesantren Tebuireng. Adapun Pesantren Tebuireng didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman mengatakan, digitalisasi manuskrip merupakan upaya melestarikan warisan budaya Islam di Indonesia. Menurut dia, pelestarian warisan budaya Islam di pesantren cukup terabaikan beberapa dekade ini. Padahal, melestarikan turats (tulisan, sastra, atau pengetahuan warisan) ulama Nusantara penting.
”Saya kira merawat turats ulama Nusantara adalah kewajiban para santri,” kata Oman dalam seminar daring Khazanah Manuskrip Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa (24/5/2022).
Dalam lima tahun terakhir, DREAMSEA mendampingi digitalisasi manuskrip di 13 pesantren di Indonesia. Setidaknya ada 313 manuskrip yang sudah berhasil didigitalisasi atau setara dengan 64.818 halaman.
Oman memperkirakan, DREAMSEA dapat melakukan digitalisasi terhadap 5.000 halaman manuskrip di Pesantren Tebuireng. Mengutip laman Pesantren Tebuireng, ada sekitar 15 manuskrip di perpustakaan pesantren. Manuskrip-manuskrip tersebut ada yang ditulis dalam bahasa Arab, Jawa, dan Melayu. Ada pula yang ditulis dalam aksara Arab, pegon, dan Jawi.
Pada April 2021, DREAMSEA pernah melakukan digitalisasi di Pondok Pesantren Qomaruddin, Gresik. Ada sekitar 74 jilid manuskrip yang ditemukan. Naskah kuno yang layak didigitalisasi mencapai 5.000 lembar. Salah satu naskah tersebut berasal dari tahun 1740-an dan ditulis oleh seorang ulama (Kompas.id, 14/4/2021).
Manuskrip yang telah didigitalisasi dapat diakses oleh publik di laman Dreamsea.co. Sebelumnya, ada ribuan manuskrip kuno Nusantara dan Asia Tenggara yang telah didigitalisasi di sana.
”Walau fisik (manuskrip) rusak dimakan alam, teksnya akan tetap bisa dilestarikan setidaknya hingga 100 tahun ke depan asal file-nya tidak musnah,” ucap Oman.
Digitalisasi merupakan salah satu cara melestarikan manuskrip kuno yang rentan rusak, bahkan punah. Sejumlah manuskrip terancam rusak karena bencana alam, dimakan serangga, hingga rusak karena disimpan di tempat lembab. Manuskrip juga rentan hilang atau dimusnahkan karena konflik sosial.
Padahal, manuskrip mengandung sejumlah pengetahuan dan pemikiran dari masa lalu. Hilangnya manuskrip kuno sama dengan hilangnya pengetahuan.
Digitalisasi diharapkan tidak sekadar mendukung pelestarian manuskrip kuno, tetapi juga mendorong penelitian lebih lanjut. Dosen Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, M Adib Misbachul Islam, mengatakan, manuskrip digital merupakan sumber penelitian filologi hingga sejarah. Sumber daya ini agar dimanfaatkan karena dapat menghemat waktu dan biaya penelitian.
Oman menambahkan, peneliti dapat menggali turats ulama Nusantara di bidang hadis. Hal ini belum banyak dikaji dibandingkan dengan turats fikih dan tasawuf.
Saya kira merawat turats ulama Nusantara adalah kewajiban para santri.
Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Mohamad Anang Firdaus, mengatakan, manuskrip merupakan rekam jejak akademis dari masa lampau. Manuskrip yang ditemukan di pesantren ada pula yang ditulis oleh murid para ulama di zaman dulu. Beberapa murid terkadang menulis petuah, nasihat, hingga kata-kata mutiara yang diucapkan sang guru.
Hal tersebut bisa jadi tidak terdokumentasikan di kitab-kitab atau manuskrip, tetapi dapat ditemukan di catatan para murid. Tulisan para murid dapat melengkapi manuskrip, khususnya yang ditulis oleh ulama, dan menjadi referensi pengetahuan bagi orang-orang di masa kini.
”Selain memberi makna pada kitab kuning, penting bagi santri untuk mengabadikan aqqal syaikh dalam setiap pengajian. Itu akan jadi warisan intelektual yang akan memberi nilai tambah ke generasi selanjutnya,” ucap Anang.
Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, Abdul Hakim Mahfudz, berharap digitalisasi manuskrip mendorong penggalian pemahaman keislaman. ”Ini agar diwariskan ke generasi penerus dengan benar,” katanya.