Anoa Breeding Center Manado Butuh Dokter Hewan dan Pawang Berstatus PNS
Anoa Breeding Center Manado membutuhkan dokter hewan serta pawang anoa yang berstatus PNS demi perawatan yang berkelanjutan. Dua posisi itu kini diisi oleh pekerja kontrak yang digaji dengan dana CST perusahaan mitra.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Anoa Breeding Center Manado, pusat pengembangbiakan anoa di Sulawesi Utara, membutuhkan dokter hewan serta pawang berstatus pegawai negeri sipil demi perawatan anoa berkelanjutan. Kedua posisi itu kini diisi pekerja kontrak yang diupah dengan dana tanggung jawab sosial korporat atau CSR perusahaan mitra.
Hal ini dikatakan Heru Setiawan, Kepala Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPSILHK) Manado, ketika ditemui di Manado, Rabu (5/7/2023). Lembaga tersebut mengelola Anoa Breeding Center (ABC) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut. ABC berlokasi di kompleks BPSILHK Manado.
”Harus ada dokter hewan dan keeper (pawang) satwa yang berstatus PNS. Terutama dokter hewan, itu vital sekali dan urgent (mendesak). Soalnya, dokter hewan itu bertugas bukan hanya saat anoa sakit, tetapi juga memantau gangguan kesehatan anoa akibat cacing atau kutu,” kata Heru.
Di samping itu, dokter hewan juga bertanggung jawab memantau masa kawin anoa, mendorong kebuntingan, hingga memantau kesehatan induk dan janinnya selama 9-10 bulan. Puncaknya, memantau dan bahkan membantu kelahiran anoa demi mewujudkan fungsi utama dari ABC.
Sejak diresmikan pada 5 Februari 2015, sebanyak 12 kebuntingan pernah terjadi di ABC. Namun, hanya empat yang berujung pada kehidupan. Terakhir, seekor anoa dataran rendah (Bubalusdepressicornis) jantan lahir pada 16 Januari 2023 dan diberi nama Raden, kombinasi dari nama dua induknya, Rambo dan Denok.
Raden lahir melalui operasi sesar akibat distokia, yaitu kelainan kondisi kebuntingan sehingga posisi bayi sungsang dan sulit lahir secara normal. Operasi dilakukan drh Afifah Hasna, satu-satunya dokter hewan ABC. Itu adalah operasi sesar pertama yang berhasil, tidak hanya di ABC, tetapi juga di Indonesia.
Distokia hampir selalu terjadi di 12 kebuntingan di ABC. Bahkan, dari empat kelahiran yang berujung kehidupan, hanya satu yang lahir normal tanpa intervensi dokter hewan. Karena itu, kata Heru, keberadaan dokter hewan secara berkelanjutan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Di samping itu, ABC juga membutuhkan setidaknya satu lagi pawang untuk merawat sembilan anoa, termasuk seekor anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) yang dirawat ABC.
”Kami sudah punya satu keeper, tapi dia ini ’tidak boleh sakit’. Kerjanya setiap hari. Kalau ada satu orang lagi, mungkin kita bisa terapkan sistem sif,” kata Heru.
Masalahnya, saat ini dokter hewan dan pawang anoa yang bekerja di ABC adalah karyawan kontrak yang digaji dengan dana CSR PT Cargill Indonesia. Perusahaan itu pengolah kopra di Minahasa Selatan.
Dana CSR tersebut bahkan membentuk sekitar 60 persen dari total anggaran operasional ABC selama setahun, yaitu sekitar Rp 260 juta. Sementara itu, 40 persen lainnya berasal dari dana daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang bersumber dari APBN.
”Kami beruntung ada drh Afifah yang sangat cekatan, berani mengambil keputusan. Saya sangat apresiasi karena dia masih muda, fresh graduate juga. Tapi, kalau dia ingin mengembangkan diri di luar ABC, tentu saya tidak bisa mencegah,” kata Heru.
Untuk itu, Heru mengatakan, BPSILHK Manado telah mengajukan permohonan analisis beban kerja kepada Kementerian LHK, kemudian diteruskan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB). Harapannya, ke depan akan dialokasikan setidaknya satu formasi PNS untuk dokter hewan dan dua untuk pawang.
Sementara itu, drh Afifah yang berusia 25 tahun mengatakan, dirinya saja sebenarnya cukup untuk menjalankan tugas dasar dokter hewan bagi anoa di ABC, termasuk pemberian vitamin, pengaturan porsi makan, hingga mengobati luka di kulit anoa. Setiap tahun kontraknya pun diperpanjang PT Cargill Indonesia.
Akan tetapi, di luar itu, dokter hewan dituntut terlibat menyusun standar pengelolaan pengembangbiakan anoa yang dapat dijadikan praktik terbaik (best practice). Kerjanya pun mencakup meneliti, antara lain, hubungan pola makan anoa selama bunting dengan potensi distokia serta kandungan bakteri dari sekresi kelamin anoa untuk mendeteksi kebuntingan.
Tugas-tugas itu terpaksa ia lakukan sendiri sejak perubahan nomenklatur BPSILHK Manado yang dulunya Badan Penelitian dan Pengembangan LHK Manado dengan tugas dan fungsi riset. Kini, tidak ada lagi periset di BPSILHK karena semuanya telah dipindahkan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
”Sebenarnya akan lebih baik kalau ada partner dokter hewan. Tugas sehari-hari memang bisa dilakukan sendiri, tapi saya tetap butuh rekan diskusi terkait uji coba perlakuan,” kata Afifah.
Dihubungi terpisah, Kepala BKSDA Sulut Askhari Daeng Masikki mengatakan, saat ini BKSDA membawahkan dua pusat konservasi exsitu (di luar habitat asli satwa liar), yaitu ABC dan Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki. Ada dua dokter hewan di PPS Tasikoki yang bisa diperbantukan di ABC, seperti saat kelahiran Raden.
”Statusnya kontrak juga, sih. Tapi, dua dokter hewan itu bisa diperbantukan di ABC kalau ada keadaan yang urgent. Jadi, dengan total tiga dokter hewan itu sudah bisa berjalan maksimal, tapi kalau ada dokter hewan yang berstatus PNS akan lebih baik dan lebih berkelanjutan,” kata Askhari.
Di sisi lain, keberadaan dokter hewan di Sulut, bahkan di seluruh Sulawesi, memang sangat terbatas. Sebab, hanya Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan, yang memiliki program studi kedokteran hewan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut W Nova Pangemanan mengatakan, kebutuhan pemerintah provinsi akan dokter hewan juga tinggi. Formasi untuk dokter hewan sempat dibuka pada penerimaan calon PNS pada 2022, tetapi tidak ada yang mendaftar.