Enam Tahun Terakhir, Delapan Pabrik Karet di Sumsel Tutup
Sebanyak delapan pabrik karet di Sumatera Selatan menyetop produksi akibat kekurangan bahan baku. Kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan produktivitas dan alih fungsi lahan, serta harga karet yang cenderung stagnan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak delapan pabrik karet di Sumatera Selatan menghentikan produksi akibat kekurangan bahan baku. Kondisi ini dipengaruhi oleh penurunan produktivitas dan alih fungsi lahan, serta harga karet yang cenderung stagnan.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex Kurniawan Eddy, Selasa (4/7/2023), menuturkan, sejak periode 2017 hingga Mei 2023, jumlah pabrik karet yang tutup di Sumsel mencapai delapan pabrik dengan kapasitas 323.200 ton per tahun. Dengan begitu, pabrik yang tersisa di Sumsel menjadi 22 pabrik dengan kapasitas terpasang 1,6 juta ton per tahun.
Penyebab penutupan itu adalah pabrik tidak bisa bersaing untuk mendapatkan bahan baku karet dari petani. Akibatnya, sebagian besar pabrik terpaksa tidak menggunakan kapasitas pabriknya secara optimal karena kekurangan bahan baku.
”Pabrikan kesulitan mendapatkan bahan baku karena produktivitas kebun karet juga jauh menurun,” ungkapnya. Diperkirakan lebih 1.000 karyawan diberhentikan karena penghentian produksi itu.
Saat ini, rata-rata produktivitas lahan kebun karet hanya sekitar 600 kilogram (kg) per tahun per hektar. Jauh dari ideal, yakni 1 ton per hektar per tahun. Penyebabnya adalah fenomena gugur daun yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Kondisi ini juga dipengaruhi oleh harga karet yang belum membaik. Harga bahan olah karet (bokar) di atas kapal saat ini sekitar 1,3 dollar AS per kg. Adapun di tingkat petani berkisar Rp 7.800 per kg. Sementara standar harga menguntungkan bagi pengusaha adalah 2 dollar AS per kg dan Rp 10.000 per kg di tingkat petani.
45 pabrik tutup
Tutupnya pabrik karet sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumsel, tetapi juga di sejumlah daerah penghasil karet. Gapkindo mencatat setidaknya ada 45 pabrik karet yang tutup dalam rentan waktu 2017-Mei 2023 dengan kapasitas produksi sekitar 1,4 juta ton per tahun di seluruh Tanah Air.
Adapun jumlah pabrik karet yang masih berproduksi mencapai 107 pabrik dengan total kapasitas sekitar 4,2 juta ton per tahun. Kondisi ini juga berpengaruh pada penurunan ekspor dan produksi dalam kurun waktu enam tahun terakhir.
Pada 2017, Indonesia memproduksi sekitar 3,68 juta ton karet, tetapi pada 2022 menurun menjadi 2,65 juta ton. Begitupun tingkat ekspor dari yang semula 3,27 juta ton pada tahun 2017 menjadi 2,08 pada 2022.
Penurunan ekspor karet Indonesia ini dimanfaatkan oleh sejumlah negara penghasil karet lainnya, seperti Vietnam dan Thailand yang kini tengah gencar memproduksi karet karena produktivitas lahan karet mereka cukup baik, yakni berkisar 1,5 juta ton- 2 juta ton per hektar per tahun.
Kini, industri karet Indonesia dalam kondisi genting. (Alex Kurniawan Eddy)
”Walau harga karet dunia stagnan, tetapi dengan produktivitas karet yang tinggi, industri karet mereka masih bisa terselamatkan,” ujar Alex. Selain itu, adanya kebijakan industri berkelanjutan di mana negara-negara Eropa hanya menerima komoditas yang berasal dari lahan bukan hasil deforestasi. Tentu kebijakan itu akan sangat memberatkan. ”Kini, industri karet Indonesia dalam kondisi genting,” tegas Alex.
Irwan (40) petani karet di Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, mengatakan penyakit gugur daun membuat produktivitas kebunnya menurun dari yang semula 70 kg per hektar per minggu sekarang hanya tinggal 50 kg per hektar per minggu. Irwan menuturkan fenomena gugur daun bahkan cenderung meningkat dari yang semula hanya sekali setahun menjadi empat kali per tahun.
Harga karet di tingkat petani pun rendah, yakni Rp 7.300 sampai Rp 7.800 per kg. Kondisi ini membuat petani malas untuk menyadap karet. Mereka lebih memilih untuk menjadi buruh tebang tebu untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Analisis Madya Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian menuturkan akibat harga karet yang stagnan dan produktivitas lahan yang rendah, petani memutuskan untuk beralih ke komoditas lain. Saat ini terdata luas lahan karet di Sumsel menurun dari 1,3 juta hektar pada 2018 menjadi 900.000 hektar. ”Sebagian besar beralih ke kebun sawit,” ujarnya.
Pihaknya terus berupaya untuk meminta bantuan kepada pemerintah pusat untuk menahan penurunan lahan karet. Misalnya dengan program pertanian terintegrasi dimana selain karet, petani bisa menanam komoditas lain dengan sistem tumpang sari, seperti menanam komoditas hortikultura, padi, atau bahkan peternakan. ”Dengan begitu, petani tidak perlu menebang tanaman karetnya," ujar Rudi.
Menurut dia, karet masih memiliki masa depan karena pangsa pasar masih banyak. Tinggal bagaimana meningkatkan kualitas termasuk melakukan replanting (peremajaan) kebun. ”Jika semua mengubah kebunnya menjadi sawit, sudah pasti ke depan harganya akan turun,” ujarnya.
Apabila situasi ini tidak segera diselesaikan, Sumsel tidak akan lagi menjadi penghasil karet terbesar di Indonesia karena banyak petani yang beralih komoditas. ”Jangan sampai julukan itu hanya tinggal kenangan,” ucapnya.
Wakil Rektor Universitas Indo Global Mandiri Palembang Erry Yulian T Adesta berpendapat sudah waktunya semua pemangku kepentingan terkait berdialog untuk menyelesaikan masalah ini. ”Hilirisasi menjadi kunci agar tidak ada lagi ketergantungan,” tegasnya. Akademisi dituntut untuk membuat inovasi, pemerintah memfasilitasi, dan industri merealisasikannya untuk kemudian bisa sampai ke pasar.
Pada dasarnya, hilirisasi bertujuan memberikan nilai tambah pada hasil komoditas agar tidak hanya bersandar pada material mentah. Dengan cara ini, harga karet bisa terdongkrak dan industri kembali bergairah. Pemerintah perlu membuat kebijakan dan regulasi yang tepat untuk merealisasikan visi tersebut.