Pangkas Rantai Pasok, Petani Karet Sumsel Jalin Kemitraan Langsung dengan Perusahaan
Sumsel mulai mencanangkan konsep kemitraan langsung antara petani dan perusahaan karet. Konsep ini diharapkan dapat memangkas rantai pasok yang begitu panjang sehingga harga yang diterima petani lebih baik.
Oleh
Rhama Purna Jati
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak delapan unit pengolahan dan pemasaran bokar di Lubuk Linggau dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, menjalin kemitraan dengan PT Kirana Megantara, perusahaan karet nasional. Bertujuan memangkas rantai pasok yang tidak ideal, petani diharapkan bisa menikmati kepastian harga dan pengusaha leluasa mendapat bahan baku.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan di Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian, Jumat (12/11/2021), mengatakan, skema kerja sama kemitraan khusus itu merupakan yang pertama di Sumsel. Sedikitnya 800 petani dalam unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB) itu bakal langsung terhubung dengan perusahaan mitra. PT Kirana Megantara sendiri telah menjalin kemitraan khusus dengan lebih kurang 15.000 petani karet di Sumatera dan Kalimantan.
Dengan konsep ini, menurut Rudi, hubungan di antara kedua pihak akan lebih transparan karena tidak ada lagi pedagang perantara. Harga karet yang diterima petani akan disesuaikan dengan kadar karet kering (K3). Dengan begitu, petani akan berusaha menghasilkan produk berkualitas agar mendapatkan harga yang optimal.
Di sisi lain, perusahaan akan mendapatkan kepastian pasokan dari petani yang telah bermitra dan dapat memberikan harga sesuai standar internasional. ”Skema ini lebih aman dibandingkan menggunakan sistem lelang yang ketetapan harganya sulit diprediksi,” ujar Rudi.
Jika skema ini berhasil, pihaknya akan mencari perusahaan lain yang mau bekerja sama dengan petani yang belum bermitra. Harapannya, harga yang diterima petani akan lebih tinggi dari petani yang belum bermitra. Di Sumsel ada sedikitnya 500.000 petani karet dengan rata-rata produksi sekitar 1,3 juta ton per tahun.
Saat ini, harga karet di tingkat UPPB sebesar Rp 10.000-Rp 11.000 per kilogram. Harga itu lebih baik dibandingkan petani yang tidak tergabung dengan UPPB, rata-rata menerima sekitar Rp 7.000 per kg. ”Ada 31 pabrik karet alam di Sumsel. Jika skema ini berhasil, kami akan beritahukan ke 329 UPPB,” katanya.
Menurut Rudi, konsep ini harus segera diterapkan. Alasannya, petani karet di Indonesia akan bersaing dengan beberapa negara penghasil karet baru yang bisa jadi memiliki kualitas karet lebih baik. ”Harapannya, produk yang dihasilkan petani Sumsel adalah karet bersih sehingga akan lebih dilirik negara pengimpor karet,” kata Rudi.
Ketua UPPB Nasional Sugeng Hartadi mengatakan, Sumsel akan menjadi proyek percontohan (pilot project) konsep kerja sama ini. Jika dinilai berhasil, menurut rencana konsep ini akan diterapkan di seluruh UPPB di Indonesia. ”Tidak ada sistem monopoli. Siapa yang siap dan mau bekerja sama pasti akan kami rangkul,” ucapnya.
Skema kerja sama ini menjamin transparansi kedua belah pihak, mulai dari pengolahan, penambangan, hingga harga di pasar. ”Bahkan, petani akan diajak ke laboratorium untuk melihat tingkat K3 dari bokar yang mereka hasilkan,” katanya.
Dengan skema ini, rantai pasok juga akan lebih pendek. Sugeng memperhitungkan, setidaknya ada lima tahapan pengepul yang akan dilewati dan petani bisa memperoleh pendapatan tambahan. ”Jika diperhitungkan, ada tambahan pendapatan sekitar Rp 450 per kg yang diterima petani jika tidak melalui pengepul,” ucapnya.
Sebelum diterapkan ke petani karet di Sumsel, Sugeng sudah menerapkannya lebih dulu sejak 2008 dan dinilai akan lebih menguntungkan dibandingkan jika melibatkan pengepul. ”Proses penjualan juga lebih praktis karena ketika barang terjual, uang sudah bisa langsung diperoleh petani,” ucapnya.
Rahmad Untung, Small Holder Partnership Department Head PT Kirana Megantara Group, menjelaskan, sistem kerja sama ini sudah mulai digalakkan pada 2012. Skemanya, mengirim petugas pabrik ke lapangan untuk membina serta mengajak para petani untuk bekerja sama.
”Ke depan, kami menargetkan penambahan mitra hingga tiga kali lipat,” ujarnya. Penambahan itu dipandang perlu karena dari lebih kurang 15.000 mitra, hanya 30 persen yang benar-benar petani pemilik lahan. Rahmad memperkirakan 85 persen kebun karet di Indonesia milik petani dan sisanya adalah pihak lain.
Konsep kemitraan ini mulai tercipta lantaran persaingan di bisnis karet kian ketat seiring semakin banyaknya pelaku bisnis karet di dunia. Karena itu, sangat penting bagi pabrikan untuk memastikan pasokan bahan baku sudah tersedia.
”Kerja sama langsung dengan petani adalah konsep yang tepat karena merekalah yang memiliki kebun,” ungkapnya.
”Beberapa petani mitra kami bisa menghasilkan K3 hingga 60 pesen, meningkat 20 persen dibandingkan sebelum bekerja sama,” ucapnya. Itu karena petani menggunakan zat pembeku karet yang tepat dan mengurangi kebiasaan merendam karet untuk menambah berat.