Mimpi Mendorong Petambak Udang Tradisional Parigi Moutong Naik Kelas
Parigi Moutong di Sulawesi Tengah boleh jadi adalah kabupaten dengan garis pantai terpanjang di Indonesia dengan akses langsung ke Teluk Tomini. Potensi tambak udang pun menjadi sangat besar.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Parigi Moutong di Sulawesi Tengah boleh jadi adalah kabupaten dengan garis pantai terpanjang di Indonesia. Kalau tak percaya, susuri saja Jalan Trans-Sulawesi dari Desa Maleali di perbatasan antara Parigi Moutong dan Poso sampai Desa Sejoli di perbatasan antara Sulteng dan Gorontalo.
Penelusuran di Google Maps, dua titik itu dipisahkan ruas jalan sepanjang 380 kilometer yang membentang di sisi barat Teluk Tomini. Namun, jika kelokan garis pantai di sepanjang jalan diukur, panjangnya mencapai 472 kilometer atau hampir setara jarak Jakarta-Surakarta. Sebagai perbandingan, jarak antara Kota Manado dan Kota Gorontalo, yang dipisahkan enam kabupaten, hanya 402 km.
Dengan akses ke laut di sepanjang ”leher” Pulau Sulawesi, Parigi Moutong punya potensi akuakultur yang masif, utamanya tambak udang vaname. ”Potensi hasil usahanya menjanjikan. Kalau maksimal, luar biasa, bisa (panen) sampai puluhan ton per hektar,” kata Mohammad Sakti, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten itu, Kamis (22/6/2023).
Usaha tambak udang di Parigi Moutong terbagi menjadi dua kategori, yaitu tradisional dan intensif. Keduanya berbeda secara mendasar dalam penggunaan perangkat elektronika. Tambak intensif menggunakan alat-alat seperti pompa dan kincir air serta pipa distributor oksigen ke kolam-kolam budidaya udang. Sementara tambak tradisional minim teknologi.
Ada kurang lebih 6.100 keluarga yang mengelola tambak udang di lahan seluas 5.089 hektar. Jika dikelola dengan baik, menurut Sakti, produksinya bisa mencapai 10.178 ton setiap tahun, tetapi pada 2022 produksinya baru mencapai 2.906,36 ton. Artinya, ada 571,1 kilogram udang yang dihasilkan dari tiap hektar tambak.
”Tetapi, saat ini petambak tradisional hasilnya juga sudah lumayan baik. Mereka menggunakan udang yang F1 (anakan generasi pertama). Artinya, walau (pengelolaannya) masih tradisional perlakuannya, bibit yang digunakan berkualitas sehingga daya hidup dan pertumbuhan udang cukup bagus,” ujar Sakti.
Seiring dengan itu, lanjutnya, semakin banyak warga Parigi Moutong di sepanjang pesisir Teluk Tomini yang kembali menggarap tambaknya. Diharapkan, 6.100 keluarga petambak bisa memaksimalkan lahan yang mereka tempati, yaitu seluas 10.580 hektar dengan potensi produksi 21.160 ton per tahun, atau dua kali dari potensi saat ini.
Pada saat yang sama, tambak-tambak intensif, yang dimiliki perusahaan atau individu dengan modal besar, mulai bermunculan pula di sepanjang teluk. Jumlahnya bisa dibilang masih sedikit, yaitu enam unit.
Kami mendorong petambak tradisional untuk meningkatkan pola budidayanya, tetapi lagi-lagi mereka diperhadapkan dengan akses permodalan.
Secara akumulatif, mereka mengelola tambak dalam bentuk kolam-kolam bundar ataupun persegi di lahan seluas 157 hektar saja. Namun, panen dari tambak intensif bisa mencapai 1.844,14 ton pada 2022. Artinya, setiap hektar tambak menghasilkan 11.746,1 kilogram udang, sangat jauh dari rerata produktivitas tambak tradisional.
Sakti tak memungkiri, para petambak tradisional tertinggal sangat jauh dari tambak-tambak intensif. ”Memang, yang tidak bisa dimungkiri adalah permodalan. Di tambak intensif, pertumbuhan udang dibantu teknologi. Kami mendorong petambak tradisional untuk meningkatkan pola budidayanya, tetapi lagi-lagi mereka diperhadapkan dengan akses permodalan,” katanya.
Salah satu faktor penting untuk ”naik kelas” ke sistem budidaya intensif adalah sambungan listrik untuk memutar kincir oksigen di kolam serta menyalakan pompa penyedot air laut dari Teluk Tomini. Sakti mencontohkan, di tambak intensif terkecil saja, butuh sambungan listrik berdaya 197 kilovolt ampere (kVA) dengan biaya pasang ratusan juta rupiah.
Biaya langganan per bulan pun mencapai Rp 100 juta demi mengoperasikan peralatan elektronik selama satu siklus budidaya. Durasi satu siklus mencapai empat bulan. ”Ini yang berat bagi masyarakat pelaku tambak tradisional,” ujar Sakti.
Untuk itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Parigi Moutong mencoba beraudiensi dengan lembaga permodalan di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), seperti Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP). Harapannya, KKP membuka lebih banyak kesempatan bagi petambak udang Parigi Moutong untuk mendapatkan pinjaman berbunga rendah tanpa agunan.
Di lain pihak, para petambak udang diharapkan tak ragu mengajukan pinjaman, Sebab, sebagaimana dikatakan Bupati Parigi Moutong, Samsurizal Tombolotutu, panen dari pola budidaya intensif bisa mencapai setidaknya 20 kali lipat dari pola tradisional.
Namun, semua itu percuma jika akses ke sambungan listrik tidak memadai. ”Kami mengundang teman-teman (investor) untuk berusaha di sini. Sebab, potensi di sini sangat bagus. Namun, lagi-lagi (akses) listrik PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) jadi kendala. Memang, penambahan kapasitas listrik dari PLN dibutuhkan,” tuturnya.
Samsurizal juga menilai, pasokan listrik dari Sulteng perlu ditambah. Akan tetapi, menurut Manajer PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Palu, Yanuar, daya listrik di Sulteng saat ini sudah cukup besar. Beban puncaknya saat ini mencapai 254 megavolt ampere (MVA).
”Yang sudah terserap untuk usaha agrikultur seperti tambak udang itu baru 5 MVA, atau 2 persen dari beban puncak,” kata Yanuar.
Ia pun menyatakan siap menyasar lebih banyak pengusaha tambak udang di sepanjang Teluk Tomini untuk bergabung menjadi pelanggan premium dalam program langganan yang dinamai Electrifying Agriculture itu. Dengan begitu, PLN bisa berperan menekan biaya produksi para petambak.
Sebagai perbandingan, tarif listrik dalam program itu hanya Rp 1.729 per kilowatt jam (kWh), jauh lebih murah daripada biaya bensin untuk genset. ”Ke depan, kami akan sasar pengusaha peternakan, perikanan, tambak udang, dan home industry (usaha rumahan). Listrik sangat penting untuk produktivitas dan pertumbuhan ekonomi kita,” katanya.
Karman Karim (65), salah satu dari enam pengusaha tambak udang intensif di Parigi Moutong, mengatakan tidak ada pilihan selain berlangganan listrik PLN untuk meningkatkan produktivitas dengan biaya energi yang murah. Secara pribadi, ia membuktikan, produktivitas di tambak udangnya meningkat 100 kali lipat sejak beralih dari sistem budidaya tradisional ke intensif dengan omzet Rp 2,4 miliar per siklus.
Namun, ia juga mengatakan, jangkauan jaringan listrik PLN mesti diperluas. Dengan begitu, lebih banyak petambak yang bisa memanfaatkannya untuk naik kelas. ”Informasinya, kebutuhan ekspor kita lebih dari 1 juta ton per tahun. Infrastruktur PLN memang harus ditambah kalau mau industri ini jadi besar,” kata Karman.