Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Migran Masih Lemah
Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga migran dinilai masih lemah. Hingga kini, PRT migran masih dipandang sebelah mata sehingga perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak mereka masih jauh dari harapan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Perlindungan terhadap pekerja rumah tangga migran dinilai masih lemah. Hingga kini, PRT migran masih dipandang sebelah mata sehingga perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak mereka masih jauh dari harapan.
Hal itu mengemuka dalam dialog bertajuk ”Mewujudkan Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga Migran melalui Layanan dan Mekanisme Perlindungan yang Responsif Gender” di Kota Metro, Lampung, Kamis (22/6/2023). Acara yang digelar secara luring dan daring itu diikuti peserta dari sejumlah kabupaten di Lampung. Selain itu, hadir pula perwakilan PRT migran di Malaysia.
Perwakilan Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (Pertimig) Binti Rosidah mengungkapkan, perlindungan terhadap pekerja migran di negara penempatan, seperti Malaysia, masih lemah. Ia menyebut, Malaysia belum mempunyai undang-undang khusus yang melindungi PRT.
Sepanjang periode 2020-2022, Pertimig menerima sekitar 100 aduan terkait dengan permasalahan yang dihadapi PRT migran di Malaysia. Sejumlah kasus yang dilaporkan, antara lain, penahanan dokumen, tidak diberikan gaji, dan tidak diberikan hak libur. Selain itu, ada juga pekerja migran yang dilarang berserikat.
”PRT migran tidak boleh berserikat atau hanya diizinkan sebagai anggota dalam organisasi. Akses untuk bisa keluar rumah juga dibatasi,” kata Rosidah, yang mengikuti acara diskusi secara daring.
Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Armayanti Sanusi mengatakan, perempuan pekerja migran mayoritas bekerja pada sektor domestik rumah tangga. Akibatnya, mereka rentan menjadi korban kekerasan hingga perdagangan orang.
Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap perekrutan dan pengiriman pekerja migran nonprosedural.
”Data penanganan kasus Solidaritas Perempuan Sebay Lampung tahun 2022 terdapat tujuh kasus, di antaranya pemerkosaan, hilang kontak, dan perdangan orang. Pekerja migran juga rentan mengalami kekerasan fsik dan seksual, eksploitasi jam kerja, gaji tidak dibayar, hingga kematian,” kata Armayanti.
Untuk itu, pemerintah perlu memperluas informasi tentang migrasi aman dan tindak pidana perdagangan orang kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap perekrutan dan pengiriman pekerja migran nonprosedural.
Selama ini, Lampung menjadi provinsi terbesar kelima penempatan pekerja migran. Berdasarkan data BP3MI Lampung, pada Mei 2022, jumlah pekerja migran asal Lampung sebanyak 11.023 orang. Dari jumlah itu, 7.036 orang merupakan pekerja migran perempuan. Sebagian besar ditempatkan pada sektor informal di sejumlah negara, antara lain Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, dan Italia.
Terkait dengan perlindungan terhadap pekerja migran sektor domestik, Armayanti menilai, pemerintah perlu meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Pemerintah dan DPR juga didesak segera merampungkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah dibahas sejak 18 tahun lalu.
Kepala Dinas Koperasi, UMK, dan Tenaga Kerja Lampung Timur Timur Budi Yul Hartono mengimbau masyarakat yang akan bekerja ke luar negeri untuk mengikuti prosedur perekrutan pekerja migran secara legal. Ia menyebut, banyaknya kasus kekerasan hingga eksploitasi terhadap pekerja migran tak lepas dari keberangkatan yang dilakukan secara non-prosedural.
Dia memaparkan, jumlah perusahaan penyalur tenaga migran di Lampung Timur tercatat sebanyak 35 perusahaan. Karena itulah, masyarakat yang ditawari bekerja di luar negeri juga perlu mengecek legalitas perusahaan penyalur di pemerintah daerah.
Sepanjang Juni 2023, ada dua kasus dugaan tindak pindana perdagangan orang (TPPO) yang terungkap di Lampung. Pada Senin (5/6/2023), Kepolisian Daerah Lampung menggerebek rumah di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung, yang dijadikan lokasi penampungan pekerja migran ilegal.
Di sana, polisi mendapati 24 perempuan calon pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat yang akan diberangkatkan ke Timur Tengah secara non-prosedural. Polisi telah menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut.
Kasus TPPO lainnya diungkap oleh Polres Lampung Timur pada Selasa (20/6/2023). Satu orang calo ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyelundupkan satu warga Lampung Timur sebagai pekerja migran ilegal ke Hongkong.