Polda Lampung Usut Jaringan Penyelundupan Pekerja Migran
Kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang yang terbongkar di Lampung terus diselidiki. Polda Lampung mengusut jaringan lain yang terlibat.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Lampung terus menyelidiki kasus upaya penyelundupan 24 calon pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat, yang ditampung di Bandar Lampung. Penyidik masih mengusut jaringan ini dan menyelidiki kemungkinan adanya tersangka lain dalam kasus itu.
Kepala Kepolisian Daerah Lampung Inspektur Jenderal (Pol) Helmy Santika mengatakan, penyidik masih terus meminta keterangan dari 24 perempuan yang menjadi korban TPPO. Hingga saat ini, seluruh korban masih diamankan di Subdit Remaja, Anak, dan Wanita Polda Lampung. Selain meminta keterangan para korban, Polda Lampung juga memberikan layanan pemeriksaan kesehatan hingga pemulihan trauma untuk para korban.
”Kemarin yang diamankan adalah yang merekrut serta menjanjikan. Dalam perkembangannya, kan, mengarah bagaimana proses pembuatan paspor dan sebagainya. Termasuk mengembangkan ke arah jaringan lain,” kata Helmy di Bandar Lampung, Selasa (13/6/2023).
Sebelumnya diberitakan, Kepolisian Daerah Lampung menemukan sebuah rumah di Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung, yang diduga dijadikan lokasi penampungan pekerja migran ilegal. Dalam penggerebekan, Senin (5/6/2023) malam, polisi mendapati 24 perempuan calon pekerja migran berada di rumah itu.
Para korban yang merupakan warga Nusa Tenggara Barat itu diduga hendak diselundupkan ke Timur Tengah. Setelah diselidiki, rumah itu ternyata milik seorang perwira menengah Polri.
Dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) itu, Polda Lampung sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah DW (28), warga Bekasi; IT (26), warga Depok; AR (50), warga Jakarta Timur; dan AL (31), warga Bandung.
Keempat tersangka merupakan perekrut dan pengurus dokumen keberangkatan para pekerja migran. Merma diduga terkait dengan jaringan penyelundup pekerja migran ke wilayah Timur Tengah.
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, rumah itu memang diketahui merupakan milik salah satu anggota Polri berpangkat perwira menengah yang sudah ditinggalkan dan disewakan kepada orang lain. Penyewa rumah diduga memanfaatkan rumah itu sebagai lokasi penampungan pekerja migran ilegal. Saat ini polisi masih memeriksa sejumlah pihak terkait.
Waydinsyah dari Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Lampung mengatakan, pihaknya bakal mengupayakan pemulangan para korban setelah penyelidikan selesai. Saat ini, pihaknya telah berkoordinasi dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) serta pemerintah daerah terkait akomodasi untuk memulangkan para korban.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen, calon pekerja migran yang akan diberangkatkan ke Timur Tengah tidak memiliki dokumen resmi, antara lain sertifikat pelatihan, perjanjian kerja, dan jaminan kesehatan. Izin usaha perusahaan yang mengurus pengiriman para korban juga diketahui sudah berakhir.
Terkait hal itu, Armayanti Sanusi, selaku perwakilan Forum Koordinasi Penyelesaian Pekerja Migran Provinsi Lampung, mendukung upaya Polda Lampung mengusut tuntas kasus itu. Pihaknya mendesak polisi membongkar sindikat besar penyelundup pekerja migran. Selain penegakan hukum, pemerintah juga diharapkan melakukan berbagai upaya preventif untuk mencegah penyelundupan pekerja migran.
Sejumlah tuntutan untuk pemerintah, antara lain memperluas informasi migrasi aman dan tindak pidana perdagangan orang pada masyarakat dan memaksimalkan kerja Satgas TPPO Lampung dalam memberikan layanan bagi korban.
Selain itu, Pemprov Lampung juga dinilai perlu mengalokasikan anggaran untuk pemberantasan TPPO. Pemerintah perlu memberikan pelayanan yang responsif jender bagi calon pekerja migran dan keluarga, memfasilitasi penguatan kapasitas dan komitmen pemerintah desa untuk membuat program perlindungan pekerja migran, serta memberikan layanan pemulihan trauma bagi korban.
Hal lainnya, pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap perekrutan dan pengiriman pekerja migran nonprosedural di Lampung. DPRD mendorong implementasi perda tentang perlindungan pekerja migran.
Selama ini, Lampung menjadi provinsi terbesar kelima penempatan pekerja migran. Berdasarkan data BP3MI Lampung, pada Mei 2022, jumlah pekerja migran asal Lampung sebanyak 11.023 orang. Dari jumlah itu, 7.036 orang merupakan pekerja migran perempuan. Sebagian besar ditempatkan pada sektor informal di sejumlah negara, antara lain Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, dan Italia.
Pekerja migran yang bekerja pada sektor domestik rumah tangga mayoritas adalah perempuan. Akibatnya, mereka rentan menjadi korban kekerasan hingga perdagangan orang.
”Data penanganan kasus Solidaritas Perempuan Sebay Lampung tahun 2022 terdapat tujuh kasus di antaranya pemerkosaan, hilang kontak, dan perdangan orang. Pekerja migran juga rentan mengalami kekerasan fsik dan seksual, eksploitasi jam kerja, gaji tidak dibayar, hingga kematian,” kata Armayanti yang juga Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung.