WNA Singapura di Jatim Dideportasi, Punya KTP dan Akta Lahir Indonesia
Upaya pemulangan ke negara asal tersebut merupakan sanksi karena yang bersangkutan telah tinggal dan bekerja secara ilegal selama bertahun-tahun.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur mendeportasi MB (66), warga negara Singapura. Dosen di sebuah kampus di Tulungagung itu bahkan memiliki KTP dan akta lahir Indonesia.
Proses deportasi dilakukan petugas imigrasi Blitar, Kamis (22/6/2023). Rombongan tiba di Terminal 2 Bandara Internasional Juanda Surabaya sekitar pukul 10.30. MB lantas diterbangkan menggunakan maskapai Jetstar 3K248 tujuan Singapura pukul 13.20.
Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Jatim Hendro Tri Prasetyo mengatakan, proses deportasi berjalan lancar dan sesuai aturan. Biaya tiket pesawat berasal dari uang MB, yang juga bertindak sebagai sponsor.
”MB membiayai sendiri tiket pulang ke Singapura. Kami hanya mengantar sampai Bandara Internasional Juanda dan memastikan dia kembali ke negara asalnya,” ujar Hendro.
Kepala Subseksi Penindakan Keimigrasian Dendy Wibisono menambahkan, MB juga mendapat sanksi administratif. Dia akan dicekal saat hendak masuk Indonesia lagi. Selain itu, semua dokumen perjalanan, paspor, dan dokumen kependudukan telah dibatalkan.
”Kantor Imigrasi Kediri sudah menerbitkan berita acara pembatalan dokumen perjalanan, yaitu paspor (Indonesia) yang diajukannya,” kata Dendy.
Menurut Dendy, keberadaan MB terungkap saat dia mengajukan permohonan paspor Indonesia. Dia menggunakan identitas warga Blitar.
Petugas yang curiga lantas memeriksa syarat-syaratnya lebih teliti. Dari hasil pemeriksaan, ia diketahui sudah lama tinggal di Indonesia.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Blitar Arief Yudistira mengatakan, MB berada di Indonesia sejak tahun 1984. Dia datang ke Indonesia untuk kepentingan pendidikan.
Saat itu, MB menjalani pendidikan sarjana strata-1 di sebuah kampus di Malang. Dia lulus sekitar tahun 2006.
”Pada medio 1984-1998, MB menggunakan visa kunjungan dengan paspor Singapura. Selama (rentang waktu) itu, tercatat dia keluar masuk Indonesia sekitar 10 kali,” ucap Arief.
Pada 2011, lanjutnya, MB bahkan mendapatkan dokumen kependudukan dari pemerintah daerah setempat berupa KTP dan kartu keluarga. Bahkan, dia juga mendapatkan akta lahir.
MB menggunakan nama Y (nama baru) pada KTP. Dia mencantumkan data dilahirkan di Pacitan tahun 1973.
”Ini (data) sudah bergeser dari identitas awal berdasarkan data pada paspor (yang dikeluarkan oleh pemerintah) Singapura,” kata Arief.
Berdasarkan paspor Singapura, MB lahir tahun 1956 di Kampong Pachitan off Changi Rd. Selama tinggal di Indonesia, MB sempat menikah dengan warga lokal Blitar. Dia juga bekerja sebagai dosen salah satu kampus di Kabupaten Tulungagung.
”Ketika kami amankan kemarin, yang bersangkutan juga masih mengajar atau menjadi dosen,” ujar Arief.
Berdasarkan hasil konfirmasi pihak imigrasi kepada pemerintah Singapura, yang bersangkutan masih tercatat sebagai warga negara tersebut.
Fakta itu selaras dengan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham. MB tidak pernah mengajukan perpindahan menjadi warga negara Indonesia.
Arief mengakui, MB lama tidak terendus aparat. Hal itu terjadi karena dulu pendataan dokumen keimigrasian masih konvensional.
Selain kasus MB, Kanwil Kemenkumham Jatim juga tengah menangani kasus pelangaran keimigrasian yang dilakukan oleh warga Pakistan, IM dan MW. Mereka masuk Indonesia melalui jalur yang tidak resmi.
”Masuk lewat Malaysia dan tidak melalui petugas imigrasi. Lewat jalur yang minim pengawasan aparat dan digunakan sebagai akses keluar masuk Indonesia,” ujar Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Blitar Raden Vidiandra.