Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan Jangan Diselesaikan Lewat ”Restorative Justice”
Para korban kekerasan seksual mengalami trauma berkepanjangan. Itu harus menjadi pertimbangan aparat untuk mengambil langkah hukum yang tegas dan berefek jera kuat.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menolak kasus kekerasan seksual diselesaikan lewat keadilan restoratif. Aparat dituntut menyelesaikannya lewat hukum yang tegas demi menyetop berulangnya kejahatan oleh pelaku yang sama.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Bahrul Fuad mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masuk kategori kejahatan kemanusiaan. Penyelesaiannya tidak boleh dilakukan secara kekeluargaan, tetapi harus penanganan hukum yang tegas.
”Penyelesaiannya tidak boleh lewat pendekatan keadilan restoratif karena sifat kasusnya kejahatan kemanusiaan,” ujarnya dalam Sosialisasi Pencegahan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan, di Jambi, Selasa (20/6/2023).
Para korban kekerasan seksual umumnya mengalami trauma berkepanjangan. Dampak traumatis yang melanda sepanjang riwayat hidup korban harus menjadi pertimbangan aparat untuk mengambil langkah hukum yang tegas dan berefek jera kuat, bukannya malah selesai lewat keadilan restoratif yang membebaskan pelaku.
Ia mencontohkan ada korban perkosaan berulang yang pelakunya merupakan ayah kandung. Trauma yang dihadapi korban sampai-sampai membuatnya masuk kondisi beku alias tak bisa merespons akibat trauma yang terlalu dalam. Kondisi yang seperti itu tidak bisa selesai begitu saja secara damai, apalagi jika korban dinikahkan dengan pelaku.
Hal itu malah membuat korban semakin menderita karena mengalami kejahatan yang kembali berulang. ”Hal itu akan berdampak kekerasan jender yang berulang sepanjang hidup. Komnas Perempuan tegas menyatakan bahwa kekerasan seksual tidak boleh selesai dengan restorative justice,” katanya.
Penyelesaian hukum yang lebih tegas tak hanya pada kekerasan seksual, tetapi berlaku pula pada kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Dalam Catatan Tahunan 2023, Komnas Perempuan memantau kasus-kasus perempuan dan kekerasan seksual cenderung meningkat, tetapi sayangnya tidak dilaporkan lengkap dari lembaga-lembaga pemberi layanan di daerah.
Sepanjang 2022, Komnas Perempuan mencatat 21.297 kasus berbasis jender, sebagian besar merupakan kekerasan seksual, fisik, dan psikis. Dari jumlah tersebut, 4.760 kasus ada di Provinsi Jambi.
Pelaku kekerasan seksual mayoritas adalah orang-orang dekat korban. Kasusnya sering kali terlambat dilaporkan. Ada pula yang kasusnya dihentikan karena adanya tekanan dihadapi korban.
Aktivis Komnas Perempuan, Novianti, mengatakan, Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan menjadi potret persoalan kekerasan terhadap perempuan. Pihaknya menghimpun data kasus kekerasan terhadap perempuan dari lembaga-lembaga mitra. Data yang terhimpun selanjutnya dianalisis untuk melihat tren karakteristik korban, bentuk kekerasan, karakteristik pelaku, dan ranah kasus kekerasan yang berkembang. Seluruh data itu menjadi dasar untuk memetakan kebutuhan layanan dan menyusun kebijakan yang berpihak pada korban.
Sejauh ini keterlibatan masyarakat sipil belum optimal mendukung pemetaan. Contohnya saja, pada 2023 ini telah dikirimkan sembilan kuisioner untuk diisi lembaga-lembaga di Jambi, tetapi hanya tiga yang mengembalikan.
Pegiat pemberdayaan perempuan dari Aliansi Perempuan Merangin, Sutiyem, menceritakan, ketika pandemi melandai, ada fenomena pernikahan dini di daerah. ”Saat ini, kami menangani enam kasus pernikahan dini,” ujarnya.
Kondisi itu dikhawatirkan meningkatkan praktik kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang menikah dini didapati belum mampu mengatasi persoalan sehingga berpotensi menyelesaikan persoalan rumah tangganya lewat jalan kekerasan.
Aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Dinamika Bangsa, Reza, mengatakan, kasus kejahatan seksual makin sering terjadi di kampus. Karena itu, ia mengusulkan agar adanya edukasi dan sosialisasi lebih kuat dari lembaga-lembaga pendamping dan aparat penegak hukum. Tujuannya untuk mendorong penyadaran yang lebih kuat bagi mahasiswa ataupun dosen dan pengelola kampus.