Perwira Polisi dan ASN Jadi Tersangka Penipuan Perekrutan Bintara Polri di Cirebon
Seorang perwira polisi dan seorang ASN menjadi tersangka penipuan perekrutan Bintara Polri tahun 2021. Korban yang bekerja sebagai tukang bubur kehilangan ratusan juta rupiah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kepolisian Resor Cirebon Kota, Jawa Barat, menetapkan seorang perwira polisi dan seorang aparatur sipil negara sebagai tersangka penipuan perekrutan Bintara Polri tahun 2021. Keduanya diduga menjanjikan korbannya lulus seleksi anggota Polri dengan membayar ratusan juta rupiah.
Tersangka pertama dalam kasus itu adalah SW, anggota Polresta Cirebon dengan pangkat ajun komisaris. Adapun tersangka kedua adalah N, aparatur sipil negara (ASN) di Mabes Polri.
”Hari ini, sudah kami amankan tersangka berinisial N. Sekarang dalam proses pengembangan, termasuk SW juga sudah ditetapkan tersangka,” ujar Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Ariek Indra Sentanu, Minggu (18/6/2023).
Kasus itu bermula dari laporan Wahidin Sanusi (48), warga Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, yang mengaku menjadi korban penipuan perekrutan polisi tahun 2021. Saat itu, ia menemui SW, yang juga tetangganya, untuk menanyakan prosedur seleksi bintara Polri. Wahidin yang ingin anaknya menjadi polisi lalu dikenalkan kepada N oleh SW.
Tersangka lalu menjanjikan anak Wahidin lulus perekrutan polisi. Namun, anak korban gagal di tahap pertama saat tes kesehatan. Padahal, menurut pengakuannya, korban telah menyetorkan uang Rp 310 juta kepada tersangka SW dan N. ”Awalnya, tersangka minta Rp 350 juta. Tapi, karena kenal, (permintaannya) dikurangi,” ucap Ariek.
Wahidin pun melaporkan kasus dugaan penipuan itu ke Kepolisian Sektor (Polsek) Mundu, Kabupaten Cirebon, Agustus 2021. Saat itu, SW menjabat sebagai Kepala Polsek Mundu.
”Karena laporannya di Polsek (Mundu), maka tidak berprogres. Akhirnya, (kasusnya) ditarik ke Polres bulan September 2022. Kami langsung memanggil tersangka (N). Hambatannya, tiga kali dipanggil, dia mangkir,” ujar Ariek.
Namun, polisi akhirnya bisa menemukan N. Pada awal 2023, polisi menaikkan kasus itu dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan. Setelah itu, polisi kembali memanggil N sebanyak dua kali, tetapi tersangka masih mangkir. Pada Sabtu (17/6), ketika kasus penipuan itu ramai di media massa dan media sosial, polisi menangkap N di Jakarta Selatan.
Menurut Ariek, sejumlah alat bukti, termasuk keterangan saksi ahli, telah cukup untuk menetapkan SW dan N sebagai tersangka kasus penipuan seleksi Bintara Polri tahun 2021. Namun, ia enggan menjelaskan detail alat bukti kasus itu karena masih dalam tahap pengembangan. Polisi juga masih mendalami peran kedua tersangka dalam kasus itu.
”Untuk proses penyidikan, kami tetap proses. Saat ini ada dua (tersangka). Namun, tidak menutup kemungkinan (jumlahnya) bertambah,” ucap Ariek.
Apalagi, dua personel polisi asal Cirebon, yakni Ajun Inspektur Dua berinisial H dan Inspektur Dua berinisial D, telah menjalani sidang disiplin karena diduga turut serta dalam kasus itu.
Ariek pun mengaku prihatin dengan penipuan perekrutan anggota Polri itu. Sebab, seleksi anggota Polri tidak dipungut biaya. ”Kami tidak akan menoleransi siapa pun yang terlibat terkait rekrutmen anggota Polri, dalam hal ini yang mengiming-imingi dan menjanjikan masuk (polisi) tanpa prosedur yang ada,” ujarnya.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 372 dan 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait penipuan dan penggelapan dengan ancaman hukuman penjara 4 tahun. ”Bapak Kapolda Jabar juga memberi atensi kasus ini. (Pelaku) ini akan diberikan efek jera dan tindakan tegas,” tutur Ariek.
Eka Suryaatmaja, kuasa hukum Wahidin, mengapresiasi respons Polres Cirebon Kota yang telah menetapkan dua tersangka dalam kasus itu. Namun, ia mendorong polisi mengusut tuntas kasus itu. ”Kami khawatir kasus ini sudah sering terjadi, tapi jarang terungkap karena korbannya takut melapor. Pak Kapolri juga harus mengatensi kasus ini,” katanya.
Menurut Eka, Wahidin sempat mendapatkan ancaman dari nomor telepon tidak dikenal yang meminta agar tidak melanjutkan kasus itu. Tim kuasa hukum pun akan meminta pendampingan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Apalagi, anak Wahidin juga sempat mengalami depresi akibat kasus tersebut.
Padahal, menurut pengakuannya, korban telah menyetorkan uang Rp 310 juta kepada tersangka SW dan N.
Wahidin mengatakan, anaknya memang bercita-cita menjadi polisi. Oleh karena itu, dia berusaha mewujudkan impian anaknya meski harus mengeluarkan Rp 310 juta.
Pria yang bekerja sebagai tukang bubur itu bahkan sampai menggadaikan rumahnya. ”Saya meminta keadilan. Semoga kasus ini bisa terungkap. Yang paling diharapkan, uang saya yang hilang bisa kembali,” ucapnya.