Anaknya Dijanjikan Masuk Polri, Tukang Bubur asal Cirebon Kehilangan Ratusan Juta Rupiah
Wahidin Sanusi (48), tukang bubur asal Cirebon, kehilangan ratusan juta rupiah karena diduga menjadi korban penipuan perekrutan anggota Polri. Seorang polisi berpangkat ajun komisaris dan ASN diduga terlibat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kasus dugaan penipuan dalam perekrutan anggota Polri kembali terjadi. Kali ini, Wahidin Sanusi (48), tukang bubur asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kehilangan ratusan juta rupiah karena diduga menjadi korban penipuan perekrutan anggota Polri. Seorang polisi berpangkat ajun komisaris dan seorang aparatur sipil negara diduga terlibat.
Wahidin menjelaskan, peristiwa itu terjadi saat seleksi penerimaan bintara Polri tahun 2021. Ketika itu, ia menemui SW, polisi berpangkat ajun komisaris, yang juga tetangganya di Desa Kejuden, Kecamatan Depok, pada 11 Januari 2021. Ia bertanya terkait prosedur pendaftaran anggota Polri. SW lalu menelepon N, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga dari Mabes Polri.
”Dia (SW) bilang, saya harus bawa duit Rp 20 juta. Katanya, itu prosedurnya,” ucap Wahidin saat ditemui di Cirebon, Sabtu (17/6/2023). Menurut dia, SW memintanya menyerahkan uang tersebut kepada N. Sebagai tetangga, ia percaya terhadap SW. Tidak lama setelah itu, lanjutnya, SW kembali meminta uang Rp 100 juta agar anaknya bisa lulus menjadi polisi.
”Saya kaget. Bahkan, dia nanya niat saya daftarin anak saya jadi polisi. Saya merasa tertekan. Tetapi, itikad saya ingin anak saya jadi polisi. Bagaimanapun caranya. Saya sampai gadaikan rumah,” kata bapak tiga anak ini. Akhirnya, tukang bubur di daerah Serang, Banten, ini mendapatkan Rp 100 juta setelah menggadaikan rumahnya.
Wahidin mengaku menyerahkan total Rp 310 juta kepada SW agar anaknya lulus seleksi bintara Polri. Menantu SW berinisial D, polisi berpangkat inspektur polisi dua, diduga turut meyakinkannya. Namun, baru tahap pertama seleksi kesehatan, anaknya gagal. ”Saya sudah nyiapin duit segitu, tetapi enggak jadi (polisi). Berarti saya benar-benar ditipu dong,” katanya.
Wahidin pun ingin melaporkan kasus itu ke polisi. Namun, SW yang saat itu merupakan Kepala Kepolisian Sektor Mundu mengarahkannya ke kantornya. Ia diminta menemui ajun inspektur polisi dua berinisial H, anak buah SW saat itu. Dalam laporan tertanggal 22 Agustus 2021 itu tertulis bahwa terlapor dugaan kasus penipuan adalah N, bukan SW.
Akan tetapi, menurut Wahidin, laporan itu tidak ditindaklanjuti sekitar dua tahun. Ia bahkan beberapa kali datang ke Mabes Polri untuk bertemu N sesuai arahan SW. Namun, hingga kini belum ada kejelasan atas kasus itu. ”Saya meminta keadilan. Semoga kasus ini bisa terungkap. Yang paling diharapkan, uang saya yang hilang bisa kembali,” ujarnya.
Ini harus jadi atensi Bapak Kapolri untuk menelusuri dugaan mafia dalam perekrutan Polri.
Harumningsih Surja dari tim kuasa hukum Wahidin mendorong polisi mengusut tuntas kasus itu. Sejauh ini, katanya, kasus dugaan penipuan yang sebelumnya ditangani Polsek Mundu telah dilimpahkan ke Polres Cirebon Kota sejak Mei 2023. Aipda H dan Ipda D, lanjutnya, juga sudah menjalani sidang disiplin. Pihaknya pun mengapresiasi polisi yang telah merespons kasus itu.
”Tapi, sampai saat ini, SW ini tidak tersentuh (proses hukum). Bahkan, dia dapat jabatan baru. Ini harus jadi atensi Bapak Kapolri untuk menelusuri dugaan mafia dalam perekrutan Polri,” kata Eka Suryaatmaja, kuasa hukum Wahidin. Pihaknya juga menuntut sanksi tegas terhadap anggota polisi yang diduga terlibat dalam kasus penipuan itu.
Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Ariek Indra Sentanu membenarkan, pihaknya tengah menangani kasus dugaan penipuan yang dilaporkan Wahidin. Namun, ia belum bisa menjelaskan lebih jauh soal kasus itu karena penyidik masih bekerja. ”Saat ini semua fokus kejar yang bersangkutan supaya secepatnya press rilis,” tulisnya dalam pesan singkat.
Kasus dugaan penipuan perekrutan anggota Polri bukan kali ini saja. Saat seleksi masuk bintara 2022 lalu, lima polisi dan dua ASN dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah terlibat percaloan. Tujuh orang itu meminta uang hingga ratusan juta rupiah kepada sejumlah orang yang akan mengikuti seleksi bintara. Mereka dijatuhi sanksi etik dan administratif (Kompas.id, 9/3/2023).