Sanksi bagi Polisi Calo Seleksi Bintara Polda Jateng Dinilai Terlalu Rendah
Sanksi kepada polisi dan ASN Polda Jateng yang terlibat percaloan seleksi bintara Polri 2022 dinilai terlalu rendah. Hal itu dikhawatirkan tidak menimbulkan efek jera dan rawan menyuburkan percaloan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Lima polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang terlibat percaloan seleksi masuk Bintara tahun 2022 dijatuhi sanksi demosi dan penempatan khusus. Sejumlah kalangan menilai sanksi itu masih terlalu rendah dan rentan tidak menimbulkan efek jera. Polisi diminta agar kasus itu tidak hanya diproses di lingkup internal Polri, tetapi juga dengan hukum pidana.
Mereka yang terlibat percaloan itu adalah Komisaris AR, Komisaris KN, Ajun Komisaris CS, Brigadir Kepala Z, dan Brigadir EW. Selain lima polisi itu, dua aparatur sipil negara Polda Jateng juga terlibat.
Perbuatan mereka terungkap berkat aduan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT) Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Menurut aduan masyarakat, tujuh orang itu meminta uang hingga ratusan juta rupiah kepada sejumlah orang yang akan mengikuti seleksi bintara.
Sepekan belakangan, kasus itu viral dan mendapat kecaman dari sejumlah pihak. Lima polisi itu akhirnya diperiksa, lalu diadili dalam sidang kode etik Polri. Mereka dijatuhi sanksi etik dan administrasi.
Sanksi etik berupa permintaan maaf kepada institusi Polri. Sementara sanksi administrasi adalah demosi atau pemindahan ke jabatan lebih rendah selama dua tahun. Selain itu, mereka juga diharuskan menjalani hukuman penempatan khusus selama 21-30 hari.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar M Iqbal Alqudusy, dua ASN Polda Jateng yang terlibat telah dijatuhi hukuman. Pangkat mereka diturunkan setingkat lebih rendah selama 12 bulan dan dilakukan pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25 persen selama 12 bulan.
”Uang yang sempat diserahkan telah dikembalikan kepada orangtua calon siswa bintara oleh tim dari Mabes Polri. Kejadian itu tidak memengaruhi atau mengubah hasil seleksi. Hasil seleksi murni berdasarkan kemampuan calon siswa sendiri,” kata Iqbal di Semarang, Kamis (9/3/2023).
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menilai, sanksi yang diberikan kepada lima polisi dan dua ASN tersebut terlalu ringan. Kompolnas berharap pelaku diberi sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Sanksi terlalu ringan tidak bisa menimbulkan efek jera dan rentan menyuburkan praktik kecurangan dalam seleksi anggota Polri.
”Suap itu (termasuk) tindak pidana. Seharusnya diproses pidana juga agar adil dan ada efek jera. Tindak pidana yang tidak diproses pidana dan hanya diproses etik justru menunjukkan adanya diskriminasi yang menguntungkan para pelaku,” ucap Poengky.
Selain tujuh orang tersebut, Poengky juga berharap pihak-pihak yang memberikan suap juga turut diproses pidana. Hukuman yang tegas diyakini Poengky akan membuat para pemberi ataupun penerima suap jera.
”Seleksi calon anggota Polri harus bersih dan profesional agar nantinya yang lulus seleksi dapat menjadi anggota Polri yang profesional dan bersih. Sehingga mereka bisa melayani, melindungi, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya,” imbuhnya.
Sebelumnya, dorongan agar para pelaku diproses pidana juga disampaikan Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso. Kejahatan yang dilakukan para pelaku dinilai Sugeng telah menodai prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis yang dicanangkan dalam seleksi penerimaan anggota Polri.
”Rekrutmen ini merupakan proses awal yang sangat penting. Kalau di awal saja sudah terjadi sogok-menyogok atau menggunakan uang, maka problem reformasi kultural polisi tidak akan pernah selesai sampai kapan pun,” katanya.