Diintai Karhutla, Kalteng Hadapi Siklus Tiga Tahunan Kemarau Panjang
Kalimantan Tengah hadapi siklus tiga tahunan kemarau panjang pada minggu depan. Ribuan titik api muncul selama 2023, pemerintah pun bersiap-siap.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Titik api tersebar hampir di seluruh wilayah Kalimantan Tengah, bahkan di daerah yang sebelumnya merupakan daerah rawan banjir. Perlu identifikasi mendalam terkait wilayah rawan kebakaran lahan juga upaya pencegahan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama 2023, setidaknya terdapat 1.037 titik api tersebar di hampir seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah. Total luasnya mencapai 1.096 hektar atau lebih luas dari wilayah Kecamatan Tanah Abang di Jakarta.
Pemprov Kalteng pun telah menetapkan status siaga darurat bencana kebakaran hutan dan lahan selama 167 hari. Hal itu disambut baik BNPB hingga mereka ikut turun memberikan fasilitas penunjang dan melihat persiapan penanggulangan bencana tersebut.
Pada Jumat (16/6/2023) pagi, Kepala BNPB Suharyanto tiba di Kota Palangkaraya, Kalteng, untuk meninjau persiapan pemerintah daerah dalam Apel Persiapan Penanggulangan Bencana Karhutla. Saat ditemui di sela-sela kegiatan, Suharyanto percaya daerah memiliki persiapan matang mencegah kebakaran dan menjauhi bencana asap.
Kalteng dan hampir seluruh wilayah Indonesia, lanjut Suharyanto, bakal menghadapi masa kemarau yang lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Masa itu diprediksi tiba mulai minggu depan.
Di Kalteng, pihaknya mencatat terdapat ribuan titik api bermunculan sampai saat ini. Bahkan, di lokasi yang sebelumnya tergenang banjir, seperti Kabupaten Pulang Pisau, Kotawaringin Timur, dan Kapuas.
”Beberapa bulan lalu kita di sini berhadapan dengan banjir di daerah-daerah tersebut. Sekarang titik api sudah banyak di daerah tersebut. Itu tandanya perubahan cuaca ini sangat cepat,” kata Suharyanto.
Suharyanto menambahkan, Kalteng mulai minggu depan akan menghadapi siklus kemarau tiga tahunan yang jatuh pada tahun ini. Kebakaran hebat terjadi pada 2015 dan 2019.
”Saya mengajak kita semua meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan agar peristiwa yang pernah terjadi tahun 2015 dan 2019 tidak terjadi di tahun ini,” tutur Suharyanto.
Menurut Suharyanto, Kalteng bukan pertama kali berhadapan dengan siklus kemarau panjang. Dengan demikian, pengalaman dan fasilitas yang ada bisa menjadi modal yang cukup untuk menanggulangi bencana tersebut.
”Sebelum api membesar, segera dipadamkan. Karena, kalau sudah besar, akan sulit ditangani,” ucapnya.
Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo mengatakan, pihaknya menyiapkan anggaran Rp 107 miliar untuk mendukung penanggulangan karhutla di seluruh wilayah di Kalteng.
Pihaknya juga mengaktifkan kembali 35 pos lapangan Satuan Tugas Pengendali Karhutla Kalteng sejak 31 Mei 2023. Pos itu diisi Babinsa, Bhabinkamtibmas dan Masyarakat Peduli Api (MPA) atau relawan.
”Mereka setiap hari melaksanakan patroli, sosialisasi, deteksi dini, dan pemadaman dini terhadap karhutla sehingga penanganan karhutla di tingkat tapak dapat lebih efektif,” ujar Edy.
Secara keseluruhan, kata Edy, terdapat 10.654 personel yang bertugas untuk penanggulangan bencana karhutla di segala sektor, termasuk kelompok masyarakat. Adapun dari BNPB, Kalteng mendapatkan fasilitas dua helikopter untuk water bombing dan helikopter pantau untuk deteksi dini karhutla juga pemadaman api.
Selain helikopter, kata Edy, BNPB memberikan dukungan berupa pembentukan 27 regu tanggap api dengan nilai bantuan Rp 13,9 miliar.
”Kami juga usulkan dua permohonan, yakni modifikasi cuaca dan dukungan operasional melalui dana siap pakai,” kata Edy.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, anggaran yang besar seharusnya digunakan maksimal untuk mencegah hal yang sampai saat ini belum terlihat. Upaya itu bisa berupa identifikasi area yang paling rentan hingga pembasahan lahan gambut rentan terbakar.
”Dari hasil kajian Pantau Gambut, ada dua wilayah paling rentan, yakni ekosistem gambut di Kahayan dan Sebangau. Keduanya secara fungsi sudah sangat rendah. Proses restorasi di kedua wilayah itu sampai saat ini belum maksimal, ditambah lagi digunakan untuk berbagai proyek, seperti food estate dan perkebunan,” papar Bayu.
Bayu menambahkan, sejak ditetapkan status siaga darurat bencana karhutla, pemerintah hanya menunggu datangnya api. Adapun upaya pencegahan baru sebatas sosialisasi.
Seharusnya, menurut Bayu, pemerintah kembali melihat ekosistem gambut yang sudah rusak parah sejak 2015. Proses restorasi pun hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja. Sementara itu, korporasi yang kawasannya rentan relatif belum bertindak apa-apa.
”Di Kahayan dan Sebangau, kawasan paling rentan terbakar itu juga ada di wilayah perkebunan. Sayangnya, sampai saat ini upaya mereka (korporasi) masih minim,” kata Bayu.