Menggugat Tradisi Pesta di NTT yang Melenakan Masyarakat
Tradisi gelaran pesta di NTT terpolarisasi dalam neraka dan surga. Sebagian orang menilai pesta untuk membangun persaudaraan, sebagian lagi menilai pesta makin memiskinkan warga NTT.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Puncak musim pesta di Nusa Tenggara Timur telah tiba. Setiap tahun, di bulan Juni sampai November, ingar bingar musik bervolume penuh menggema dari berbagai lokasi. Tiap penyelenggara pesta menganggarkan berjuta-juta rupiah. Pesta ditunggu, dipuja, tetapi juga dihujat. Persaudaraan disebut makin kuat dijalin berkat perjumpaan di pesta-pesta, tetapi juga menyibak ada fakta kemiskinan, ketimpangan, dan tentu saja kekacauan.
Komuni pertama, Minggu (11/6/2023), telah usai. Bertepatan dengan peringatan hari raya Tubuh dan Kristus dalam gereja katolik seiring dengan pembinaan ribuan calon peserta komuni pertama yang berlangsung pada Maret-Juni 2023.
Syukuran komuni pertama, sudah menjadi tradisi warga setempat. Berawal dari pulau Flores-Lembata, 1980-an, merambat ke seluruh wilayah NTT. Di luar provinsi ini, di mana ada warga Flores-Lembata, syukuran komuni pertama sering digelar.
Gelaran syukuran komuni pertama merupakan pesta terbanyak dan serentak di seluruh NTT. Berlangsung di tengah masyarakat dengan jumlah ratusan keluarga penyelenggara dan melibatkan ratusan tamu undangan.
Pesta terbanyak kedua, yakni syukuran wisuda sesuai jumlah wisudawan di perguruan tinggi yang diwisuda hari itu. Pesta ini digelar di rumah keluarga, di indekos atau kontrakan, tempat-tempat di mana sang wisudawan tinggal.
Pada pesta wisuda, dari pengataman di lapangan, tamu undangan mayoritas mahasiswa. Entah dari kampus yang sama atau kampus lain. Kebanyakan yang diundang adalah mahasiswa adik tingkat, yang berasal dari kampung, desa, kecamatan, dan kabupaten yang sama.
Selain kegembiraan, kasus-kasus kriminal sering terjadi di perhelatan kedua jenis pesta tersebut. Macam-macam penyebab kriminalitas di acara pesta. Antartamu bisa tersinggung karena cemburu terkait pasangan mereka sekedar dilirik atau disenggol orang lain, perkelahian mudah pecah ketika para undangan yang sedang berjoget diiringi musik bersenggolan. Kekerasan berpotensi meluas dan bisa berujung pengrusakan tempat si tuan rumah.
Di luar itu, keributan, bunyi musik meraung-raung, dan keramaian selama pesta saja sudah tergolong gangguan ketertiban umum. Namun, kondisi bisa makin runyam ketika terjadi kasus keracunanmakanan peserta pesta, tamu pesta yang mabuk minuman keras terlibat kecelakaan di jalan, sampai lilitan utang penyelenggara pesta.
Sebenarnya banyak pesta lain yang relatif aman dan tertib, seperti pesta nikah, syukuran pembangunan rumah, pesta adat untuk menghormati leluhur, syukuran kelahiran anak pertama, syukuran ulang tahun pernikahan, pesta tahbisan imamat, dan syukuran atas ulang tahun tahbisan imamat. Namun, khusus untuk pesta komuni pertama dan pesta wisuda saja yang seringkali memicu rangkaian gangguan sampai kriminalitas.
Setiap pemaparan akhir tahun oleh Polda NTT, 85 persen kasus kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh minuman keras. Sebagian kasus kecelakaan itu di antaranya dipastikan mereka yang terlibat usai mengikuti pesta tertentu dan mengonsumsi minuman beralkohol.
Ketua RW 013 Kelurahan Liliba Kota Kupang, Hironimus Bifel mengatakan, menghentikan lengkingan musik pesta itu hak tuan rumah. Jika tuan rumah menghentikan musik, orang tidak akan menari dan berteriak. Mereka akan membubarkan diri. Namun, ada pula sebagian tamu memilih duduk ngobrol sambil menikmati minuman keras yang disiapkan tuan rumah. Setiap pesta selalu ada minuman beralkohol. Terutama minuman lokal yang disebut sopi (arak), dan laru putih (nira fermentasi).
Bifel berkaca dari masyarakat di sekitarnya menyatakan, pesta dapat menjadi ukuran status sosial seseorang. Siapa pun dia, kaya ataupun miskin, pejabat atau pegawai biasa berusaha tampil terbaik di pesta agar bisa menjadi bahan pujian dan sanjungan sesama pengunjung.
Demi menyelenggarakan pesta yang berkesan, warga tak takut terlilit utang. Rumah, tanah, kendaraan sepeda motor, dan ijazah pun yang digadai pun disita pihak bank, jika tidak segera melunasi uang pinjaman setelah jatuh tempo. Kemiskinan semakin mendalam.
Ia mengatakan, dengan peluncuran polisi RW oleh Kepala Polda NTT, 23 Mei 2023, para polisi yang berada di wilayah RW itu bisa bertindak tegas. Polisi RW sebaiknya tidak boleh hadir dalam pesta meskipun diundang tuan pesta. Netralitas polisi RW ini perlu dijaga. Apabila pesta itu diselenggarakan anggota keluarga polisi bersangkutan, tetap menegakan aturan yang berlaku.
”Kita menanti peran dan fungsi polisi RW ini. Paling tidak mereka bisa menegakkan aturan soal batas waktu penyelenggaraan pesta. Sampai pukul 24.00, pesta harus dihentikan. Jika music masih bunyi, polisi bersangkutan datang membubarkan,” kata Bifel.
Agustinus Ola (56), warga Kelurahan Liliba, Kota Kupang, mengatakan, polisi RW harus berdampak bagi masyarakat. Terutama, mengurangi atau menekan pesta berlebihan yang terus bergelora di masyarakat.
Lembaga gereja diharapkan turut andil memengaruhi masyarakat agar lebih terkendali saat berpesta. Di NTT terdapat 90 keuskupan terdiri dari 38 paroki di Keuskupan Agung Kupang dan 62 paroki di Keuskupan Agung Ende.
Mari semua melihat dengan mata dan hati terbuka kondisi konkret masyarakat. Kita mengejar kehidupan di surga, tetapi jangan lupa bahwa Tuhan pun menghendaki semua manusia turut berperan membangun dunia ini secara lebih baik. (Viktor Laiskodat)
Selama ini, pungutan iuran untuk gereja dilegalkan sebagai sedekah untuk kepentingan Tuhan. Ada gerakan Rp 1.000 per keluarga, gerakan sukarela, dana solidaritas, dana janji hati, dan dana pembangunan gereja. Semua itu, belum termasuk kolekte misa mingguan, pesta rohani, dana bulan Rosario, sumbangan charisma, sumbangan komuni pertama, pernikahan, baptis, dan sejumlah kegiatan rohani lainnya.
Tidak sedikit dana dari umat yang disebut dana untuk kepentingan Tuhan ini terkumpul melalui dua keuskupan agung ini. Hasilnya diharapkan demi kepentingan bersama. Semangat serupa sebenarnya dapat dilakukan dalam menyikapi pesta wisuda maupun komuni pertama. Daripada menghamburkan banyak uang untuk hal yang dinilai tidak banyak bermanfaat, dana yang ada dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan kesejahteraan sehari-hari maupun menata masa depan.
”Untuk Tuhan tidak perlu hitung-hitungan. Berkat datang melimpah dengan sendirinya dan terutama pada akhir kehidupan dijamin masuk surga,” kata Nety Samon, Ketua Umat Basis Santo Fransiskus Asisi di Kota Kupang.
Gubernur Viktor Laiskodat berulang kali mendorong lembaga gereja terlibat mengatasi masalah kemiskinan itu. Ia mendesak agar gereja tidak berada pada posisi netral, apalagi mengeluarkan kebijakan yang cenderung membebani.
”Mari semua melihat dengan mata dan hati terbuka kondisi konkret masyarakat. Kita mengejar kehidupan di surga, tetapi jangan lupa bahwa Tuhan pun menghendaki semua manusia turut berperan membangun dunia ini secara lebih baik,” katanya.