Lembaga Keagamaan di NTT Diajak Terlibat Menangani Masalah Lansia
Kepedulian terhadap kaum lansia mestinya juga melibatkan semua lembaga keagamaan di NTT. Kerja kolaborasi berbagai unsur dibutuhkan untuk membantu menangani kasus kemiskinan, termasuk kaum lansia.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Lembaga keagamaan di Nusa Tenggara Timur semestinya juga diajak untuk terlibat memperhatikan nasib kaum lanjut usia atau lansia. Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia perlu lebih tegas melibatkan peran agama ini. Kerja kolaborasi berbagai unsur dibutuhkan untuk membantu menangani kasus kemiskinan, termasuk kaum lansia.
Sekretaris I Komisi Daerah Lanjut Usia (Komda Lansia) Nusa Tenggara Timur Sentis Medi, di Kupang, Rabu (12/1/2023), mengatakan, lansia tidak hanya tanggung jawab pemerintah. UU No 13/1998, yang sedang dalam proses revisi oleh DPR, juga mengamanatkan itu. Lembaga keagamaan memiliki bidang atau unit khusus, yang antara lain juga mengurus kaum lansia.
”Lembaga keagamaan juga dipanggil untuk peduli terhadap kelompok lansia ini. Meski pemerintah tidak menggarisbawahi di dalam peraturan perundang-undangan pun mestinya sudah dengan sendirinya ada kepedulian terhadap masalah ini. Mengasihi atau bersedekah terhadap orang di sekitar adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia,” kata Sentis.
Ia mengatakan, revisi UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia sebaiknya juga lebih menegaskan keterlibatan organisasi kemasyarakatan, termasuk lembaga keagamaan. Setiap lembaga agama sudah memiliki unit atau seksi yang secara khusus menangani kaum telantar, di antaranya lansia ini. Namun, dalam praktiknya, unit khusus itu belum optimal terlibat.
UU Kesejahteraan Lansia juga dinilainya sudah kedaluwarsa, tidak sesuai tuntutan zaman lagi. Hal-hal yang perlu direvisi, antara lain, soal usia lansia. Saat ini, usia lansia yang ditetapkan UU adalah 60 tahun.
Penetapan status lansia harusnya disesuaikan dengan dimulainya masa pensiun.
Namun, pegawai negeri sipil (PNS) pensiun pada usia 58 tahun. Adapun dosen atau guru besar sampai 75 tahun. Menurut Sentis, penetapan status lansia harusnya disesuaikan dengan dimulainya masa pensiun.
Selain itu, dengan adanya kemajuan digitalisasi saat ini, orang tidak harus bekerja dengan kehadiran fisik di tempat kerja, tetapi bisa secara daring. Hal-hal ini juga perlu dipertimbangkan dalam menentukan definisi usia pensiun seseorang.
Ia berharap revisi UU Kesejahteraan Lansia dapat diselesaikan tahun ini karena sudah masuk dalam program legislasi nasional. Kebutuhan revisi UU ini sudah sangat mendesak. Jumlah lansia setiap tahun terus bertambah, sementara payung hukum yang mengaturnya masih butuh penyesuaian tuntutan zaman.
Beberapa lembaga keagamaan, seperti dari Gereja Kristen Protestandan lembaga Islam di Kota Kupang, sudah memberi perhatian terhadap lansia meskipun belum merata. Jika semua lembaga agama terlibat, hal itu sangat membantu meringankan beban kaum lansia.
Agus Tamba (62), pensiunan PNS di Desa Tilong, Kabupaten Kupang, mengatakan, zaman dulu, kaum lansia sangat dihormati anak-anak dan orang yang lebih muda. Seiring perkembangan kemajuan teknologi dan informasi, kaum muda semakin tidak peduli terhadap nasib orangtua, apalagi kakek dan nenek. Bahkan, kelompok lansia ini sering mengalami tindak kekerasan dari keluarga dekat.
”Ada pula beberapa kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap kaum lansia dengan berbagai motif, di antaranya perebutan harta warisan. Penelantaran kaum lansia dari anak-anak dan anggota keluarga pun sampai hari ini dianggap biasa-biasa saja,” kata Tamba.
Tamba mengatakan, ada lansia pasangan suami-istri yang dibiarkan telantar di rumah sendiri, tanpa ada yang peduli. ”Situasi ini sangat disayangkan,” ucapnya.
Menurut Tamba, perhatian pemerintah terhadap masalah lansia masih sangat kurang, bahkan terabaikan. Kepedulian pemerintah terhadap perempuan dan anak-anak jauh lebih serius dibandingkan kaum lansia. Padahal, sejumlah lansia masih bisa diberdayakan di sejumlah sektor kemasyarakatan.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat pada sejumlah kesempatan mengajak lembaga keagamaan, dalam hal ini pihak Gereja, untuk berkolaborasi dengan pemda mengatasi masalah kemiskinan, termasuk di antaranya kaum lansia. Warga miskin, anak-anak telantar, dan kaum lansia menjadi tanggung jawab semua pihak.
Provinsi ini mayoritas masyarakat beragama Kristen, dengan hukum cinta kasih keagamaan sebagai hukum terbesar. Praktik cinta kasih ini mesti lebih konkret terhadap orang-orang berkekurangan di sekitar.
Leoenardus Boekan (58), salah satu tokoh umat Katolik di Kupang, mempertanyakan sejumlah pungutan terhadap umat. Setiap kepala keluarga diwajibkan membayar uang ”solidaritas” senilai Rp 30.000 per bulan, tetapi ada pula yang membayar lebih dari ketentuan itu. Dana ini, sesuai tujuan awal, untuk membantu orang-orang miskin. Akan tetapi, dalam praktik, menurut dia, orang miskin, termasuk kaum lansia, tidak pernah terbantu.
Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Kupang RD Gerardus Duka Pr mengatakan, keterlibatan Gereja terhadap orang miskin seperti kaum lansia sudah berlangsung lama, tetapi tidak dipublikasikan. Ada unit khusus di setiap paroki yang menangani bidang sosial dan ekonomi warga. ”Kami tidak hanya berbicara, tetapi juga melakukan karya nyata,” kata Duka.