57.236 Warga Lansia di Nusa Tenggara Timur Hidup Telantar
Ribuan warga lanjut usia di NTT tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal, mereka masuk kategori warga miskin yang wajib dipelihara oleh negara.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 57.236 warga lanjut usia di Nusa Tenggara Timur hidup telantar, dan 122.582 jiwa lansia rawan terancam telantar. Jumlah warga lansia terus bertambah, sementara ketersediaan panti lansia sampai hari ini hanya ada dua, dengan ketersediaan kapasitas tempat tinggal yang terbatas. Masih ada ribuan lansia di provinsi ini yang belum terdata pemerintah.
Sekretaris I Komisi Daerah Lanjut Usia (Komda Lansia) Nusa Tenggara Timur (NTT) Sentis Medi di Kupang, Senin (13/11/2022), mengatakan, kategori lansia adalah mereka yang berusia di atas 60 tahun sesuai UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia. Dua kategori lansia, yakni lansia produktif dan tidak produktif.
Dikatakan, saat ini, ada 57.236 warga lansia di NTT masuk kategori telantar, sementara lansia rawan terancam telantar sebanyak 122.562 orang. Para lansia ini hidup dengan anggota keluarga, sebatang kara, atau mengikuti orang lain. Sementara lansia yang tidak telantar sebanyak 531.316 orang atau 74,71 persen.
”Mereka terdiri dari lansia produktif dan lansia tidak produktif yang juga tinggal dengan anggota keluarga,” ujarnya.
Sejumlah alasan lansia telantar. Anak-anak di dalam keluarga itu memilih menjadi pekerja migran di luar negeri selama bertahun-tahun dan membiarkan kedua orangtua sendirian di kampung asal. Anak-anak sengaja membiarkan orangtua tinggal sendirian karena tidak mau lagi diatur. Orangtua tidak mau ikut tinggal dengan anak-anak dengan berbagai alasan, dan berjuang sendiri dalam kondisi serba sulit.
Kenaikan jumlah lansia di NTT sejak 2016 sampai 2021 cukup tinggi. Pada saat itu, jumlah lansia 586.084 orang, naik menjadi 711.114 jiwa pada tahun 2021. Kenaikan jumlah lansia ini, juga seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di NTT, yakni 4,5 juta jiwa pada 2016 menjadi 5,3 juta di tahun 2021.
Meski demikian, dalam kenyataan, banyak orangtua ditelantarkan anak. (Sentis Medi)
Komda Lansia NTT terbentuk 2013 atau 9 tahun silam, sementara tingkat nasional terbentuk 1999 atau 26 tahun silam. Keterlambatan pembentukan organisasi lansia di NTT ini sebagai bukti bahwa kepedulian pemda terhadap para lansia masih rendah. Dalam rentang waktu puluhan tahun, para lansia di NTT tidak diperhatikan secara baik.
”Ada anggapan bahwa lansia itu tanggung jawab anak-anak, sebagai bagian dari balas jasa terhadap orangtua. Ini, memang tak setara dengan apa yang diberikan orangtua. Meski demikian, dalam kenyataan, banyak orangtua ditelantarkan anak,” katanya.
Panti terbatas
Ia mengatakan, jumlah panti lansia di NTT masih terbatas, baik dikelola swasta maupun pemerintah. Hanya panti yatim piatu, yang dikelola lembaga agama, swasta, dan pemerintah daerah cukup tersedia. Anak-anak yatim piatu pun masih punya peluang diadopsi orangtua angkat, bisa mengurangi tempat panti, sekaligus beban pemerintah.
Mantan Kadis Sosial NTT (2010-2015) ini mengaku ada satu lembaga agama yang peduli terhadap para lansia, yakni gereja Kristen protestan. Lembaga ini telah membentuk unit khusus penanganan lansia dengan semua program kerja di dalamnya. Namun, mereka pun belum memiliki panti asuhan khusus lansia. Para lansia mendapat perhatian dari lembaga ini, tetapi para lansia masih tinggal bersama anggota keluarga.
Komda Lansia adalah lembaga yang mengoordinasi para lansia yang masih berproduktif, termasuk lansia yang berada di panti-panti asuhan dan masyarakat. Sementara perhatian kepada para lansia yang tidak mampu bekerja lagi dan tidak diurus keluarga ada di bawah kewenangan dinas sosial.
Komda Lansia NTT terbentuk sesuai SK Gubernur NTT Nomor 33/Kep/HK/27 Januari 2020 tentang struktur organisasi Komda Lansia NTT. Ketua, wakil gubernur NTT, dan gubernur sebagai Pembina. Wakil Ketua I Kepala Dinas Sosial NTT, Wakil Ketua II Kepala Biroo Pemerintahan NTT, dan Ketua Pelaksana Kepala Bappelitbangda NTT. Anggota Komda Lansia adalah pimpinan 30 organisasi pemerintahan daerah provinsi NTT.
Semua punya tugas dan tanggung jawab menangani masalah lansia. ”Ini tugas berat kita, bagaimana mengonsolidasi organisasi para lansia ini di 22 kabupaten/kota. Semua Komda Lansia di kabupaten/kota sudah terbentuk kecuali Manggarai dan Manggarai Barat,” katanya.
Kepala Dinas Sosial NTT Yosep Rasi mengatakan, ada dua panti lansia yang ditangani Pemda NTT, yakni di Kota Kupang dengan penghuni sekitar 66 orang dan di Maumere, Sikka, sekitar 50 orang. Jumlah penghuni lansia di dua panti itu, sesuai jumlah tempat tidur dan fasilitas pendukung lain.
”Pekan lalu ada satu lansia pria yang hidup sengsara sendirian di rumah kediamannya, di Kecamatan Bola Kabupaten Sikka, yang viral di media sosial. Orang itu kami sudah tampung di panti lansia Sikka. Mungkin para lansia seperti itu masih banyak di masyarakat, tetapi keuangan daerah juga terbatas,” kata Yosep.
Itulah kondisi NTT saat ini. Meski UU memerintahkan semua fakir miskin dipelihara negara, tetapi hal itu sangat tergantung dari anggaran daerah yang ada. ”Seharusnya semua kabupaten/kota di NTT memiliki paling kurang satu panti lansia. Mudah-mudahan ke depan, ada alokasi anggaran khusus untuk itu,” katanya.
Frans Duli (76), salah satu lansia di Desa Mewet, Flores Timur, mengatakan, negara tidak peduli terhadap dirinya dan rekan-rekan lansian lain di desa itu, juga desa-desa lain di Flores Timur. “Saya pensiunan guru saja terabaikan negara di masa tua, apalagi masyarakat biasa. Saya juga masih ada keluarga yang bersedia menampung saya,” katanya.
Ia berharap negara tidak hanya membuat UU soal lansia, dan soal fakir miskin yang dipelihara negara. Dirinya sebagai pensiunan PNS tidak terdata dalam Komda Lansia apalagi masyarakat biasa. Masih ada ribuan lansia, baik pensiunan PNS maupun masyarakat biasa yang belum terdata Pemda.
”Mestinya bunyi kalimat dalam UUD 45 bahwa fakir miskin dipelihara negara itu dihapus karena realisasi dari kalimat itu tidak ada,” kata Frans.