Kelompok warga usia lanjut paling rawan ditelantarkan, baik oleh anak-anak, anggota keluarga, maupun pemerintah. Indonesia perlu memiliki undang-undang perlindungan orang lansia.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Orpha Tallok (80), warga Kelurahan Naimata, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (30/11/2022).
Ribuan kelompok warga lanjut usia nonproduktif sepertinya lolos dari perhatian masyarakat dan pemerintah daerah, seperti halnya di Nusa Tenggara Timur. Anak-anak dan anggota keluarga sibuk mengurus keluarga mereka. Dibutuhkan undang-undang perlindungan orang lansia agar mereka dapat hidup bahagia di usia senja sebelum menuju batas akhir hidupnya.
Orpha Tallok (80)tidur beralaskan kasur tipis dan bantal kumal di lantai rumahnya di Kelurahan Naimata, Kota Kupang, NTT, Rabu (30/11/2022). Ia mendadak bangun saat mendengar suara anak sulungnya, Theos Tallok (59), yang datang dari Larantuka, Flores Timur. Theos datang setelah mendengar kabar ibunya itu sedang sakit.
Selama ini janda lima anak tersebut tinggal bersama putrinya, Marcelina Tallok (54). Marcelinamengalami gangguan jiwa sejak usia 32 tahun dan belum menikah. Empat anak Orpha lainnya tinggal di Maumere, Malaka, Waingapu, dan Larantuka. Semua jauh dari Orpha.
Orpha setiap hari beternak kambing. Sejak lima tahun silam, ia sakit-sakitan. Kambing sebanyak 29 ekor dijual satu per satu sampai habis kini. Saat ini, ia tinggal bersama Marcelina dibelit berbagai keterbatasan fisik juga ekonomi. Theos Tallok menunjukkan kepeduliannya sebagai anak, tetapi mau tak mau pekan depan ia tetap harus pulang ke Larantuka karena anak keduanya atau cucu Orpha hendak menikah.
Theos Tallok anak sulung Orpha Tallok, yang berdomisili di Larantuka, Flores Timur, NTT, tiba di Kupang, Rabu (30/11/2022), untuk menjenguk ibunya yang sakit.
Kebutuhan makan sehari-hari Orpha sangat tergantung pada kiriman uang anak-anaknya. Akan tetapi, bantuan itu tidak rutin. Anak-anaknya juga bukan orang berada. Mereka bekerja serabutan, tidak memiliki penghasilan tetap.
Lain lagikisah Fransiskus Duli (76), warga Desa Mewet, Kabupaten Flores Timur. Ia merasamasih beruntung. Setelah kematian istrinya pada tahun 1985, ia menikah lagi dengan Mar Fernandes yang terpaut usia 40 tahun dengannya.
Mar setia menemaninya di usia senja ini. Ia mengatar Frans ke puskesmas dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Delapan anak Frans pun telah berdiri sendiri di sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota, bahkan sampai di Malaysia.
Orpha dan Frans,dua dari 57.236 orang lansia di NTT yang masuk kategori lansia nonproduktif. Keduanya mengatakan belum masuk daftardata Komisi Daerah Lanjut Usia (Komda Lansia).
Komda Lansia sudah terbentuk di 20 kabupaten/kota, kecuali Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Mendata warga lansia di desa-desa butuh biaya transportasi.Belum terbangun sistem pendataan daring antara Komda Lansia dan aparat desa untuk pendataan itu.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Para peserta forum dialog warga lansia dengan Pemerintah Provinsi NTT yang diselenggarakan Komda Lansia NTT di Kupang, Rabu (30/11/2022). Peserta dialog ini semuanya pensiunan PNS dan petugas urusan agama.
John Kaweli (62), warga Kelurahan Kolhua, Kupang, dalam forum dialog warga lansia dengan Pemerintah Provinsi NTT yang diselenggarakan Komda Lansia NTT mengatakan, perlu ada UU perlindungan warga lansia. Mereka yang hidup di usia senja ini sangat rentan mengalami kriminalitas dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak warga lansia dilaporkan dianiaya, dirampok, diperkosa, mengalami kekerasan verbal, dan dibiarkan telantar.
Penelantaran warga lansia oleh pemerintah, anak-anak, atau keluarga dekat harus ada sanksi hukum.
”Kenapa ada diskriminasi. Kami paling rentan mengalami tindak kekerasan itu, baik terhadap orang luar maupun anggota keluarga, termasuk anak-anak. Pemerintah tolong pikirkan itu,” kata pria empat anak dan tiga cucu ini.
Penelantaran
Ia mengusulkan agar pemerintah memberi peluang kerja bagi para warga lansia sesuai keterampilan dan kemampuan yang dimiliki. Kini, banyak warga lansia hanya duduk di rumah, dari pagi sampai sore, terkadang mengantar dan jemput cucu di sekolah.
Saat ini di NTT hanya ada dua panti bagi warga lansia, yakni di Kupang dan Maumere, masing-masing hanya bisa menampung 50 orang dan 66 orang. Jumlah ini sesuai tempat tidur serta sarana dan prasarana di dalam panti.
Ribuan warga lansia tidak tertampung di panti pemerintah. Mereka tinggal bersama anggota keluarga dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Bahkan ada warga lansia yang hidup sebatang kara di kediamannya setelah ditinggal pergi anak-anak dan cucu.
”Mars Lansia” dinyanyikan para peserta forum dialog warga lansia dengan Pemprov NTT yang diselenggarakan Komda Lansia NTT di Kupang, Rabu (30/11/2022).
Peserta forum diskusi lain, Christin Kiak (65), pensiunan Polri, mengatakan, banyak warga NTT saat memasuki usia 50 tahun sudah sakit-sakitan sehingga sulit mencari nafkah lagi. Jika mereka tidak masuk kategori lansia dan tidak memiliki pekerjaan tetap, siapa yang merawat.
”Saat ini pemda mengandalkan anak-anak untuk merawat warga lansia. Tetapi perlu diingat, ada juga pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak. Siapa yang merawat mereka di usia senja itu,” kata Kiak.
Ia menilai, saat memasuki masa lansia dan sakit-sakitan, anggota keluarga mulai datang mengincar-incar harta kekayaan milik warga lansia itu. Padahal, mereka masih hidup dan sebelumnya tidak mendapat perhatian sama sekali dari anak-anak atau anggota keluarga.
Memang benar masih banyak lansia yang telantar, bahkan belum terdata dengan baik.
Sudah sembilan tahun Komda Lansia hadir di NTT dan di tingkat nasional sudah 26 tahun. Namun, perhatian bagi warga lansia belum juga optimal.
Data jumlah warga lansia NTT yang ditampilkan dalam dialog warga lansia dengan Pemprov NTT di Kupang, Rabu (30/11/2022).
Pusat terapi
Pemerintah perlu membangun pusat terapi bagi warga lansia. Paling tidak di pusat kota dan kabupaten. Pusat terapi ini menangani warga usia senja yang mudah stres, marah, sulit tidur, sakit-sakitan, mengalami masalah psikologis lain. Senam kesehatan secara secara rutin mestinya digalakkan di setiap kelurahan atau RT/RW.
Plt Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah NTT Esron Elim mengatakan, sesuai peraturan pemerintah, yang masuk kategori lansiaharus di atas 60 tahun. Di bawah itu, yakni 50-59, belum masuk kategori lansia. Usia harapan hidup di Indonesia adalah 72 tahun, sedangkanuntuk NTT 65 tahun.
”Memang benar masih banyak warga lansia yang telantar, bahkan belum terdata dengan baik. NTT provinsi kepulauan, untuk menjangkau satu kabupaten tertentu kadang harus menggunakan pesawat atau kapal laut dengan biaya transportasi yang tidak sedikit,” katanya.
Selain 57.236 warga lansia telantar, juga masih ada yang rawan telantar, yakni 122.582 jiwa. Warga lansia tidak telantar mencapai 531.316 jiwa dan sebagian besar merupakan pensiunan PNS, karyawan swasta, dan karyawan BUMN atau BUMND.
”Data ini dihimpun tahun 2020. Bisa saja dalam dua tahun terakhir bertambah. Jumlah lansia terbanyak di Timor Tengah Selatan, yakni 71. 997 jiwa, dan terkecil di Sumba Tengah, yakni 9.915 jiwa. Kebanyakan di desa-desa,” kata Esron.
Sony Said (63), warga lansia Kota Kupang, pensiunan anggota Polri, berbicara dalam dialog lansia dengan Pemprov NTT di Kupang, Rabu (30/11/2022).
Sekretaris I Komda Lansia NTT Sentis Medi membeberkan sejumlah masalah terkait penanganan warga lansia, di antaranya pendataan belum merata dan banyak warga lansia menetap di perdesaan. Selain itu, kurangnya pemahaman aparatur pemerintah daerah mengenai keberadaan Komda Lansia dan bagaimana komda itu menjalankan fungsinya. Dukungan dana APBD bagi warga lansia juga dapat dikatakan hampir tidak ada.
”Semua orang menuju kematian. Biarkan warga lansia berbahagia menikmati sisa hidup di usia senja, sebelum menutup akhir lembaran hidup,” ucap Medi.