Mata Air yang Jadi Air Mata di Wawonii
Orang tua dulu sudah mengingatkan, ”kaudagaio matabaho tahoimosao, dakitamo naraka akobaho”. Artinya, kau jaga mata air jangan dirusak. Kita akan sengsara kalau rusak.
Para tetua masyarakat Roko-roko Raya telah mewariskan kepada generasi untuk terus menjaga mata air. Saat petuah dilanggar atas nama pertambangan, mata air yang menjadi sumber penghidupan ribuan masyarakat itu bercampur lumpur. Kini, di tengah kesulitan hingga air mata, warga memperjuangkan penghidupan mereka.
Aroma laut menguar seiring angin timur yang bertiup jelang senja pada akhir Mei. Angin turut membawa dentum suara alat berat dari pelabuhan pemuatan ore nikel di ujung Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Laut di pesisir memerah seiring aktivitas pertambangan setahun terakhir.
Berjarak sekitar 500 meter dari pelabuhan tambang itu, Rosnawati (47) berbaring di dapur rumah sembari mengayun Ahmad Fatan (2), cucunya. Ia memang lebih banyak berdiam di rumah. Nenek tujuh cucu ini tidak bisa banyak bergerak sepuluh tahun terakhir karena penglihatannya terus berkurang.
Seorang cucunya yang lain, M Fadil (4), datang dari luar bersama sang ibu. Bocah itu kehausan. Rosnawati mengarahkan cucunya itu untuk mengambil air dari sebuah panci berwarna metalik. Panci itu berisi air hujan yang telah dimasak sejak pagi tadi.
”Kalau sudah susah begini, air hujan juga kami minum. Padahal, dulu air kami tinggal putar keran, tidak pernah kesulitan. Ini mau cari air bersih saja susahnya,” cerita Rosnawati.
Dapur rumahnya serupa gudang baskom dan ember. Baskom turut digantung di dinding rumahnya yang belum diplester itu, berhadapan dengan jam dinding dan tudung saji. Baskom itu sebelumnya penuh air saat hujan deras turun sehari sebelumnya. Di teras belakang, sebuah tangki berwarna orange penuh air.
”Memang banyak baskom karena kami pakai tampung air. Hari ini air tinggal sedikit. Yang dari tadah hujan kemarin kami simpan siapa tahu nanti tidak ada hujan,” kata Rosnawati.
Irdawati (17), anak bungsunya, menjadi ”seksi sibuk” di rumah. Sejak setengah jam lalu, ia hilir mudik membawa dua jeriken penuh air. Air itu diambil dari sumur tetangga yang berjarak sekitar 100 meter. Gadis itu menuang air ke bak mandi untuk dipakai sekeluarga. Setelah tuntas, ia keluar rumah dan kembali menuju sumur.
Baca juga: Sumber Air Tercemar Lumpur, Warga Desak Pemerintah Hentikan Aktivitas Tambang di Wawonii
Hampir sebulan terakhir warga Sukarela Jaya, Dompo-dompo, Roko-roko, Bahaba, dan Teporoko mengalami kesulitan air bersih. Lima desa dengan penduduk 2.214 jiwa ini disebut juga Roko-roko Raya karena pecahan dari satu desa. Dua desa terparah yang terdampak krisis air adalah Sukarela Jaya dan Dompo-dompo dengan penduduk mencapai 991 jiwa.
Hal ini terjadi setelah tiga mata air yang sebelumnya mengairi kampung mendadak keruh. Parahnya, air yang keruh membawa material lumpur yang tak sedikit. Seketika, warga tidak memiliki sumber air bersih.
Amlia (43), warga lainnya, menceritakan, suatu malam di awal Mei, air dari keran mengalir keruh dan penuh Lumpur. Tempat penampungan air dipenuhi Lumpur dan tidak bisa digunakan lagi. Tidak hanya berlangsung selama beberapa jam, air keruh dan berlumpur itu terus berlangsung.
Sontak, warga segera mencari tahu penyebab hal ini. Beberapa dari mereka lalu menuju mata air yang berada sekitar 2 kilometer dari desa. Di situ, bak penampungan juga bercampur lumpur. Air yang keluar dari mata air tidak lagi jernih.
“Kami tidak bisa pakai lagi airnya. Sudah campur lumpur begitu,” ujar Amlia berapi-api.
Dua mata air yang mengairi Desa Sukarela Jaya dan Dompo-dompo memang tidak dapat digunakan lagi. Air bersih yang mengalir dari celah batu terlihat menguning. Bak penampungan tempat pipa ditaruh sebelum dialirkan tak lagi jernih. Saat kaki menjejak ke bak, lumpur naik dan memperkeruh air. Saat tangan merogoh ke dasar bak, lumpur tebal memenuhi telapak tangan.
Satu sumber mata air lainnya, yaitu mata air Banda, tidak digunakan sejak dua tahun lalu. Kondisinya juga sama tercemar lumpur.
Baca juga: Warga Menangi Gugatan, Pulau Wawonii Tidak untuk Ditambang
Hanya berjarak beberapa puluh meter dari tiga mata air adalah jalan tambang yang rutin dilalui kendaraan. Truk hilir mudik membawa muatan ore nikel dari area penambangan di atas bukit menuju dermaga pemuatan.
Amlia dan ratusan warga dari dua desa ini harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Untuk kebutuhan mencuci dan mandi, ia dan keluarganya harus mengambil air dari sumur tetangga. Air dari sumur tersebut tidak bisa diminum karena bau meski telah berkali-kali dikuras.
Sementara, untuk air minum, mereka harus ke desa tetangga yang masih memiliki sumber mata air yang tidak terganggu. Jaraknya sekitar 7 kilometer. Tiga hari sekali mereka membawa jeriken untuk mengambil air bersih.
”Kalau tidak begitu, kami tidak bisa minum. Mau ambil dari sungai itu sudah kotor. Orang-orang buang air di hulu. Mana bisa diminum? Kami ini sudah perlahan-lahan mati karena masuknya tambang di sini,” tutur Amlia sembari menahan sesak. Hingga Minggu (11/6/2023), kondisi sumber mata air masih berlumpur dan belum dapat digunakan.
Dampak tambang
Setelah mata air warga rusak, warga yang menolak tambang sejak awal terus menyuarakan protes. Mereka menduga, rusaknya mata air tersebut karena aktivitas pertambangan yang terjadi. Sebab, baru kali ini sumber air itu tercemar lumpur dan tidak kunjung membaik.
Mereka lalu protes hingga berdemonstrasi di DPRD Konawe Kepulauan. Sejumlah anggota Komisi II DPRD Konawe Kepulauan lalu datang meninjau mata air milik warga. Para anggota Dewan tersebut memastikan mata air warga memang tercemar lumpur.
“Setelah kami lakukan kunjungan lapangan dan melihat sendiri dua sumber mata air warga, kondisinya tercemar dan tidak bisa digunakan lagi. Jangankan untuk konsumsi, untuk mandi dan buang air saja tidak bisa,” kata Ketua Komisi II DPRD Konawe Kepulauan M Yacub Rahman di Wawonii, Rabu (31/5/2023).
Dalam kunjungan tersebut, Yacub menceritakan, mereka mendatangi dua dari empat sumber mata air yang menjadi tumpuan warga di lima desa tersebut. Dua sumber air utama yang memiliki debit besar telah tercemar dengan lumpur. Kondisi air berwarna merah kekuningan akibat air yang bercampur lumpur.
“Kalau melihat kondisinya, tidak lain karena aktivitas pertambangan yang berada di dekat sumber mata air tersebut,” tambahnya.
Salah satu yang tersisa, ia melanjutkan, adalah Sungai Roko-roko yang masih bersih. Sungai tersebut digunakan oleh warga untuk mandi dan kebutuhan sehari-hari. Namun, sungai ini juga terancam karena bukaan aktivitas pertambangan di bagian bukit.
Lihat juga: Mata Air Tercemar Lumpur, Warga Roko-roko Raya Krisis Air
Oleh sebab itu, pihaknya menjadwalkan pertemuan dengan pihak PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Hal itu untuk mengetahui proses penambangan yang telah membuat dampak buruk ke masyarakat.
Di Wawonii, PT GKP memiliki IUP seluas 850,9 hektar atau menciut dari izin sebelumnya yang mencapai 950 hektar. Perusahaan ini adalah satu-satunya perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Pulau Wawonii dan telah melakukan produksi hingga pengangkutan ore nikel sejak pertengahan 2022. Meski demikian, warga dan perusahaan ini beberapa kali terlibat konflik, utamanya terkait dengan persoalan lahan hingga akhirnya terkait mata air.
Kami telah minta perusahaan menambah kolam tampungan dan membuka kembali mata air yang ditutup. Itu sedang dikerjakan. Ini menjadi perhatian bersama dan bukan cuma kami yang ke sana, termasuk juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah mengambil sampel air. (Andi Muhammad Luthfi)
Pihak perusahaan membantah telah melakukan pencemaran. Menurut mereka, kondisi tersebut disebabkan curah hujan tinggi yang mengakibatkan lapisan permukaan tanah permukaan terbawa hingga ke sumber mata air.
”Pada Senin (29/05/2023), hasil pantauan kami terhadap total suspended solid (TSS) di sumber mata air sebesar 18 miligram per liter. Sementara, ambang batas atas TSS yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 adalah 50 miligram per liter. Maka dari itu, kualitas sumber mata air ini masih sesuai dengan ambang batas aturan yang berlaku,” kata Rivaldi Mekel, Environmental Supervisor PT GKP dalam rilis resmi perusahaan.
Baca juga: Persoalan Air Bersih Desa Sekitar Tambang di Wawonii Jadi Perhatian
Menurut Rivaldi, medio Mei sampai Agustus merupakan musim hujan dengan curah yang cukup tinggi. Setiap musim hujan datang, limpasan air juga membawa berbagai lapisan tanah permukaan sehingga beberapa sungai mengalami kekeruhan. Limpasan air itulah yang kemudian masuk juga ke mata air yang selama ini dikonsumsi warga. Perusahaan juga telah melakukan sejumlah penanangan, termasuk pembuatan sumur bor, hingga pembagian air secara berkala.
Ditemui terpisah, Wakil Bupati Konawe Kepulauan Andi Muhammad Lutfi mengungkapkan, ia sendiri telah turun ke lokasi dan melihat langsung mata air warga tersebut. Menurut Lutfi, tercemarnya mata air warga tersebut akibat hujan deras yang mengakibatkan adanya longsoran dari penampungan air perusahaan.
”Kami telah minta perusahaan menambah kolam tampungan dan membuka kembali mata air yang ditutup. Itu sedang dikerjakan. Ini menjadi perhatian bersama dan bukan cuma kami yang ke sana, termasuk juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah mengambil sampel air,” ujarnya.
Kepala Desa Sukarela Jaya Sumaga tidak menampik bahwa di wilayahnya memang terjadi kesulitan air. Saat ini, sumber mata air warga yang telah lama menjadi tumpuan tidak digunakan lagi.
”Namun, kami juga melihat upaya dari perusahaan telah ada. Mulai dari pembuatan sumur bor, mengisi bak dengan air sungai, hingga pembagian air setiap hari. Juga akan dibuat sumur di beberapa titik, khususnya di Desa Sukarela Jaya dan Desa Dompo-dompo. Untuk yang mata air tidak tahu kapan bisa kembali jernih lagi. Semoga nanti ketika kemarau bisa bagus lagi,” ujar Samaga.
Ratna (63), segelintir penduduk asli Wawonii, menceritakan, para pendahulunya telah lama mewanti-wanti untuk menjaga lingkungan, khususnya mata air. Sebab, mata air adalah sumber kehidupan untuk semua mahlih. Sejak dulu, warga tidak pernah kesulitan karena melimpahnya sumber air. Namun, setelah tambang masuk dan menggerus lahan, berbagai persoalan timbul. Konflik lahan terjadi hingga saat ini sumber air telah rusak.
”Orang tua dulu sudah mengingatkan, kaudagaio matabaho tahoimosao, dakitamo naraka akobaho. Artinya, kau jaga mata air jangan dirusak. Kita akan sengsara kalau rusak,” tuturnya. ”Sekarang sudah terjadi dan kita perlahan akan semakin sengsara ke depannya.” Dan nubuat itu telah jadi nyata.