Warga Menangi Gugatan, Pulau Wawonii Tidak untuk Ditambang
Setelah bertahun-tahun melakukan aksi penolakan, warga Wawonii, Sulawesi Tenggara, memenangi gugatan terkait pertambangan di pulau kecil tersebut. Perusahaan akan melakukan langkah banding atas putusan ini.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
DOKUMENTASI TIM KUASA HUKUM WARGA WAWONII
Warga Wawonii berfoto di depan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (2/2/2023).
KENDARI, KOMPAS — Setelah bertahun-tahun melakukan aksi penolakan, warga Wawonii, Sulawesi Tenggara, memenangi gugatan terkait dengan pertambangan nikel di pulau kecil tersebut. Selain gugatan terkait aturan tata ruang, pengadilan juga memenangkan warga atas izin pertambangan PT Gema Kreasi Perdana meski masih di tingkat pertama. Perusahaan akan melakukan banding atas putusan ini dan tetap beroperasi sampai ada putusan yang mengikat.
Pada Kamis (2/2/2023), Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari mengabulkan semua gugatan warga Wawonii terkait dengan izin pertambangan PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Putusan tersebut menyebutkan batalnya keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tenggara tentang Persetujuan Perubahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT GKP pada 2019. Pengadilan juga mewajibkan pemerintah terkait untuk mencabut keputusan tersebut.
Ketua tim kuasa hukum masyarakat Wawonii Denny Indrayana mengungkapkan, kemenangan warga ini menegaskan bahwa Pulau Wawonii (Konawe Kepulauan) tidak diperuntukkan bagi pertambangan. Pulau ini seluas 715 kilometer persegi atau termasuk dalam pulau kecil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
”Ini semacam oase, angin segar bagi masyarakat di tengah penegakan hukum kita yang sedang sakit parah. Kesimpulan hakim sesuai dengan gugatan kami bahwa secara tata ruang Pulau Wawonii memang tidak untuk ditambang sehingga SK Izin Usaha Produksi PT GKP itu keliru,” kata Denny, dihubungi dari Kendari, Jumat (3/2/2023).
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Unjuk rasa menuntut pemerintah mencabut izin usaha pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan digelar Front Masyarakat Sultra Bela Wawonii di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada 14 Maret 2019.
Sejak awal, ia melanjutkan, kasus ini terang benderang dan tidak sulit untuk melihatnya secara aspek hukum. Sebab, sebagai daerah yang termasuk dalam pulau kecil, Wawonii memang tidak diperuntukkan untuk pertambangan.
Hanya saja, tata kelola pertambangan sering kali tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik dan amanah. Akibatnya, tidak jarang menimbulkan konflik sosial dan hukum di wilayah pertambangan. ”Ini menguatkan juga kemenangan kami atas gugatan pertama sebelumnya terkait Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Konawe Kepulauan yang telah incraht Desember lalu,” ujar Denny.
Harimuddin, kuasa hukum dari Integrity Law Firm yang ikut mewakili masyarakat Wawonii, menjelaskan, kemenangan warga atas gugatan izin usaha pertambangan (IUP) PT Gema Kreasi Perdana ini memang baru di tingkat pertama. Pihaknya akan terus mengawal hingga putusan ini berkekuatan hukum tetap.
Dalam amar putusan, ia menyampaikan, majelis hakim sepakat jika Pulau Wawonii merupakan bagian dari pulau kecil yang tidak memiliki peruntukan untuk pertambangan sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak hanya itu, berbagai teknis penyelenggaraan pertambangan yang dilakukan perusahaan tidak memenuhi aturan yang berlaku, utamanya terkait dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
HARIAN KOMPAS
Kabupaten Konawe Kepulauan di Sulawesi Tenggara.
Seharusnya, lanjut Harimuddin, perusahaan membuat kajian amdal dan tidak berlandaskan izin lingkungan yang lama. Sebab, perusahaan pernah melakukan perubahan luasan sehingga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang baru wajib diikuti perubahan izin lingkungan. Akan tetapi, pihak pemerintah tetap mengeluarkan keputusan berlandaskan izin yang tidak lengkap.
”Itu yang menjadi salah satu pertimbangan utama hakim. Meski di satu sisi majelis hakim tidak mengabulkan gugatan kami agar semua kegiatan pertambangan dihentikan sementara dulu. Padahal, telah ada putusan dari Mahkamah Agung yang membatalkan kegiatan pertambangan dalam Perda RTRW Konawe Kepulauan 2021-2041,” ucapnya.
Pada Kamis (22/12/2022), Mahkamah Agung mengabulkan semua gugatan warga dan membatalkan sejumlah pasal dalam Perda Nomor 2/2021 tentang RTRW Konawe Kepulauan 2021-2041 terkait dengan pertambangan di Wawonii. Warga melakukan uji materi terkait dengan perda itu, khususnya Pasal 24 (d), Pasal 28, dan Pasal 36 (c).
Oleh karena itu, kami mohon agar semua pihak dapat menahan diri, saling menghargai dan menghormati keseluruhan proses hukum yang sedang berjalan.
Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 1 (3) UU No 27/2007 juncto UU No 1/2014, Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil, yang prioritas pemanfaatannya sebagaimana termuat dalam Pasal 23 Ayat (2), tidak satu pun menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya. Selain itu, secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil, termasuk wilayah yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus.
Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk kegiatan pertambangan, dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity (aktivitas abnormal berbahaya). Hal ini, dalam teori hukum lingkungan, harus dilarang untuk dilakukan sebab akan mengancam kehidupan semua makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya. Bahkan, juga mengancam kehidupan sekitar.
Di Wawonii, PT GKP memiliki IUP seluas 850,9 hektar, atau menciut dari izin sebelumnya yang mencapai 950 hektar. Satu dari sejumlah perusahaan yang memiliki IUP Pertambangan di Wawonii ini telah melakukan produksi hingga pengangkutan bijih nikel sejak pertengahan 2022. Meski demikian, warga dan perusahaan ini beberapa kali terlibat konflik, utamanya terkait dengan persoalan lahan.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Hamparan kebun mete warga Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, terlihat pada Sabtu (16/3/2019).
Dihubungi terpisah, General Manager External Relations PT GKP Bambang Murtiyoso menuturkan, pihaknya sepenuhnya menghormati dan menghargai keputusan yang telah terbit tersebut. Saat ini perusahaan masih dalam proses mempelajari putusan tersebut dan mempertimbangkan pengajuan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
”Oleh karena itu, kami mohon agar semua pihak dapat menahan diri, saling menghargai dan menghormati keseluruhan proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.
Terkait dengan salah satu pertimbangan hakim, yaitu izin lingkungan yang tidak sesuai, Bambang melanjutkan, perusahaan telah memiliki dokumen izin lingkungan yang sesuai dengan peraturan yang ada dan berlaku. Amdal perusahaan telah terbit tahun 2008 dan telah diadendum pada 2021 yang dibuktikan dengan terbitnya perubahan izin lingkungan dan perubahan kelayakan lingkungan berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Konawe Kepulauan.
Di sisi lain, sesuai dengan putusan hakim PTUN yang membolehkan obyek sengketa tetap berjalan, ia menyampaikan bahwa perusahaan tetap akan beroperasi normal. Saat ini, perusahaan mempekerjakan tenaga kerja lokal yang mencapai lebih kurang 300 orang.
Sementara itu, terkait dengan putusan MA yang membatalkan sejumlah pasal terkait pertambangan dalam Perda RTRW Konawe Kepulauan, Bambang menyebutkan, daerah ini termasuk dalam Wilayah Usaha pertambangan sesuai dengan lampiran dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 104.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Wilayah Pertambangan. Sejumlah aturan lain menyebutkan hal yang sama.
”Mengacu pada hal tersebut, kami melihat bahwa sebenarnya pulau-pulau kecil dapat dilakukan kegiatan penambangan apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya sesuai dengan Pasal 35 huruf K Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014,” ucapnya.