Perda dan UU Tidak Sinkron Buka Celah Tambang Masuk Sangihe
Perencanaan tata ruang wilayah di Sulut dan Kepulauan Sangihe yang bertentangan dengan UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memberi celah bagi konsesi tambang di Pulau Sangihe.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perencanaan tata ruang wilayah di Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe yang bertentangan dengan undang-undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dinilai memberi celah bagi konsesi tambang di Pulau Sangihe. Untuk sementara, belum ada rencana revisi peraturan daerah terkait.
Peraturan Daerah (Perda) Sulut Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2034 mencatat lima kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagai kawasan peruntukan pertambangan emas. Lima kecamatan itu adalah Tabukan Selatan, Tabukan Selatan Tengah, Tabukan Selatan Tenggara, Manganitu Selatan, dan Tamako.
Hal yang sama juga diatur Perda Kepulauan Sangihe Nomor 4/2014 tentang RTRW 2014-2034. Dua perda ini tidak harmonis dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K). Seharusnya, pemanfaatan pulau dengan luas di bawah 200.000 hektar diprioritaskan untuk, antara lain, konservasi, pariwisata, dan perikanan.
Alfred Pontolondo, koordinator gerakan Save Sangihe Island, menyebut perda tersebut menjadi landasan penerbitan izin produksi bagi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di lahan seluas 65,48 hektar di Tabukan Selatan dan Tabukan Selatan Tengah. Itu baru sebagian kecil dari lahan konsesi kontrak karya seluas 42.000 hektar di pulau seluas 73.698 hektar itu.
”Tak ada satu pun dokumen (rekomendasi) izin operasi tambang untuk PT TMS yang ditandatangani Pemkab Sangihe, kecuali Perda RTRW. Makanya, kami mendesak keras DPRD kabupaten untuk bertindak karena itu produk hukum mereka,” kata Alfred saat dihubungi dari Manado, Senin (17/5/2021).
Save Sangihe Island juga telah sepakat dengan DPRD Sulut untuk menggelar rapat dengar pendapat dengan, antara lain, Dinas Lingkungan Hidup serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulut. Sebab, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan bagi PT TMS diterbitkan pemprov.
Sekalipun eksploitasi baru akan berlangsung di lahan seluas 65,48 hektar, Save Sangihe Island bersikeras ingin izin operasi PT TMS dicabut. Jika area tambang meluas meski tetap dalam wilayah kontrak karya, Sangihe akan semakin rentan diterjang bencana alam, seperti longsor dan banjir bandang. Sumber air bersih dan lahan perkebunan juga terancam hilang.
Eksplorasi PT TMS di wilayah kontrak karya di selatan Pulau Sangihe sebenarnya telah berlangsung sejak 1997. Baru pada 29 Januari 2021, Kementerian ESDM menerbitkan izin operasi produksi hingga 33 tahun ke depan. Manajer Tambang PT TMS Bob Priyo Husodo menyebut izin lingkungan untuk wilayah eksploitasi saat ini telah diurus sejak 2017.
”Perda RTRW provinsi dan kabupaten memungkinkan adanya pertambangan di Pulau Sangihe. Tentu kami mencari lokasi berdasarkan perda tersebut. Itulah mengapa pemprov menerbitkan izin lingkungan untuk kami. Kalau ingin ada perubahan, tunggu perda itu direvisi DPRD dan pemda 10-20 tahun sekali,” kata Bob.
Bob pun menegaskan tidak akan mungkin pihaknya menambang seluruh 42.000 hektar wilayah kontrak karya yang mencakup cagar alam, hutan lindung, gunung berapi, serta laut yang secara hukum memiliki peruntukan selain tambang. Karena itu, PT TMS sedang menyusun rencana penciutan lahan konsesi.
Karena itu, wilayah yang fungsinya bukan untuk tambang akan kami lepas agar biaya kami lebih murah.
”Kami dikenai biaya 4 dollar AS (Rp 57.360) per hektar setiap tahun untuk wilayah kontrak karya. Karena itu, wilayah yang fungsinya bukan untuk tambang akan kami lepas agar biaya kami lebih murah,” kata Bob.
Dihubungi via pesan teks, Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw menyatakan, izin operasi PT TMS sepenuhnya wewenang pusat. Izin itu juga telah melalui kajian holistik. Amdal dan izin lingkungan yang diterbitkan provinsi hanyalah prasyarat teknis yang harus dipenuhi.
Ditambah lagi, kata Steven, secara historis, bentuk hukum izinnya adalah kontrak karya. Jadi, titik beratnya ada di pemerintah pusat. Ia pun memercayakan keputusan tersebut kepada pemerintah pusat. ”(Tetapi) kepentingan masyarakat jangan sampai terabaikan,” ujarnya.
Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana pun menyatakan pihaknya tidak mungkin melawan keputusan pemerintah pusat. ”Saya secara pribadi menolak, makanya tidak ada rekomendasi atau surat lain yang kami terbitkan (untuk operasi PT TMS). Tetapi, kalau (keputusan) sudah turun, apa mau dikata?” katanya.
Ihwal Perda RTRW 2014-2034, Jabes menyebut, produk hukum itu tidak diterbitkan semasa pemerintahannya yang baru dimulai pada 2017. Namun belum ada revisi sehingga perda tersebut masih berlaku. ”PT TMS ini juga sudah lama, dari tahun 1990-an. Sekarang, izin itu tidak mungkin kami cabut karena pemerintah pusat yang tentukan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sulut Victor Mailangkay mengatakan, DPRD Sulut belum mengambil sikap resmi terkait tambang di Sangihe. Namun, rapat dengar pendapat akan segera digelar dengan dinas-dinas terkait untuk membahas kesesuaian keputusan ini dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan WP3K.
DPRD Sulut juga belum memiliki rencana revisi Perda RTRW 2014-2034. Victor mengatakan, perda tersebut biasanya direvisi lima tahun sekali, tetapi hingga tahun ketujuh belum ada perubahan. ”Kami akan pelajari dulu. Prinsipnya, kami berpihak pada kepentingan rakyat,” katanya.
Wakil Ketua DPRD Kepulauan Sangihe Michael Thungari mengatakan, Perda RTRW Sangihe baru akan direvisi jika ada usulan dari pemerintah kabupaten. Lembaga legislasi itu juga belum mengambil sikap resmi sekalipun sudah didesak Save Sangihe Island. ”Sementara, kami (secara pribadi) sosialisasi ke pemilik lahan sekitar tambang untuk tidak menjual lahannya kepada perusahaan,” katanya.
Kendati demikian, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, pemprov dan pemkab tetap punya andil untuk menghentikan pertambangan yang tak sesuai keinginan rakyat. Pemkab bisa mengirim surat permintaan pencabutan izin kepada provinsi dan pemerintah pusat, sedangkan pemprov bisa mencabut izin lingkungan.
”Provinsi dan kabupaten akan selalu bilang tidak punya kewenangan. Kalau mereka malah menjadi bagian dari masalah, masyarakat bisa menekan DPRD untuk menggunakan hak angket atau interpelasi, atau bikin panitia khusus untuk menyelidiki masalah ini,” katanya.