Dalam Sepekan, Puluhan Pelaku TPPO di Jateng Diringkus Polisi
Tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di sejumlah daerah di Jateng diungkap. Dalam sepekan, ada puluhan orang yang diringkus akibat tindak pidana tersebut. Masyarakat diminta waspada.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sebanyak 33 orang yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang atau TPPO di sejumlah wilayah di Jawa Tengah diringkus polisi dalam sepekan terakhir. Peran mereka beragam, dari mencari hingga memberangkatkan tenaga kerja ilegal ke luar negeri.
Sepanjang 6-12 Juni 2023, Kepolisian Daerah Jateng mendapat 26 laporan tentang TPPO dari sejumlah wilayah. Beberapa di antaranya adalah Kota Magelang, Demak, Jepara, Brebes, Kabupaten Semarang, Pemalang, Batang, Pati, Kebumen, Banyumas, Kabupaten Tegal, dan Banjarnegara.
Setelah menindaklanjutinya, polisi lantas meringkus 33 orang. Sebanyak 23 orang bertugas merekrut calon tenaga kerja, sedangkan 10 orang lainnya berasal dari perusahaan penyalur tenaga kerja ilegal.
Perusahaan-perusahaan itu dianggap ilegal karena tidak memiliki surat izin penempatan pekerja migran Indonesia (SIP2MI) serta surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (Siupak). Selain tanpa izin, perusahaan-perusahaan itu telah menyalurkan calon pekerja yang tidak memiliki kompetensi ataupun keterampilan.
Untuk menarik calon pekerja, mereka biasanya memberi iming-iming berupa gaji yang besar dan persyaratan yang mudah. Lapangan pekerjaan yang dijanjikan, seperti anak buah kapal, asisten rumah tangga, dan karyawan perusahaan.
Menurut catatan Satuan Tugas Pemberantasan TPPO Polda Jateng, ada 1.305 orang yang telah menjadi korban dari 33 orang tersebut. Sebanyak 1.137 orang telah berangkat ke luar negeri. Sebanyak 168 orang lainnya masih menunggu jadwal keberangkatan.
Negara tujuan bervariasi. Tidak hanya Asia, tetapi hingga Benua Amerika dan Eropa.
Calon pekerja untuk Amerika Serikat dan Eropa biasanya dikumpulkan di sebuah penampungan di Jakarta. Setelah itu, mereka baru diterbangkan ke negara tujuan.
Sementara itu, khusus calon pekerja migran tujuan Malaysia dan Singapura diterbangkan dari Jakarta ke Kepulauan Riau. Setelah itu, mereka menyeberang menggunakan kapal laut.
”Salah satu pelanggarannya, seperti ketidaksesuaian antara visa dan paspor. Misalnya, tujuan pemberangkatannya untuk dipekerjakan, tetapi visa dan paspornya (untuk tujuan) wisata,” kata Kepala Satgas Pemberantasan TPPO sekaligus Wakil Kepala Polda Jateng Brigadir Jenderal (Pol) Abioso Seno Aji dalam konferensi pers, Senin (12/6/2023), di Markas Polda Jateng.
Pelanggaran lain adalah memalsukan stampel Direktorat Jenderal Imigrasi. Dengan stampel palsu tersebut, para pekerja yang seharusnya kembali ke Indonesia untuk memperpanjang izin masa tinggal tidak perlu kembali. Visa dan paspor mereka akan ditandai dengan stempel palsu. Pembuat stempel palsu itu adalah perusahaan penyalur.
Akibat perbuatannya, 33 orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Ancaman maksimal adalah 15 tahun penjara.
Selain 26 kasus yang melibatkan 33 orang tersebut, sepanjang 2023 Polda Jateng telah menangani 12 kasus TPPO lainnya. Ke depan, pengecekan perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa penyaluran pekerja akan semakin ketat. Polda Jateng akan mengajak pihak-pihak terkait untuk bekerja sama.
”Saya mengimbau masyarakat tidak mudah tergiur tawaran pekerjaan di luar yang menggunakan iming-iming gaji besar,” ujar Abi menambahkan.
Cara itu, misalnya, dilakukan Siti Tuwiyah (37), warga Kecamatan Ayah, Kebumen, Jateng, untuk menarik minat para korbannya. Dia melakukannya cara ilegal itu pada 2014-2022.
Dalam periode itu, dia dilaporkan telah menipu sedikitnya 13 orang. Tuwiyah mengaku meraup Rp 167 juta.
”Awalnya saya hanya dimintai tolong mencarikan pekerjaan di luar negeri. Terus, saya minta mereka menyetorkan uang untuk administrasi,” ucap Tuwiyah.
Sebelum bekerja sebagai perekrut sekaligus penyalur tenaga kerja ilegal, Tuwiyah pernah bekerja sebagai pekerja migran di sejumlah negara. Dia merantau ke Australia, Taiwan, China, dan Jepang. Di negara-negara tersebut, Tuwiyah bekerja mengasuh bayi.
Keterbatasan
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Jateng Pujiono menuturkan, keterbatasan latar belakang pendidikan membuat korban sulit mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi. Hal itu yang diduga Pujiono membuat para korban tergiur iming-iming perekrut ataupun perusahaan penyalur tenaga kerja abal-abal.
”Mayoritas korban (TPPO) ini pendidikannya rendah. Di luar negeri, dengan latar belakang pendidikan yang sama, mereka bisa mendapatkan gaji besar. Di Hong Kong, pekerja sektor domestik bisa mendapat Rp 10 juta per bulan. Pekerja di sektor perikanan bisa sampai Rp 23 juta per bulan. Jadi, mereka pasti tergiur,” ucap Pujiono.
Pujiono berharap kesempatan kerja di dalam negeri terus ditambah dan upah yang diberikan semakin kompetitif. Dengan begitu, para pekerja tidak lagi harus mencari pekerjaan ke luar negeri.
Pencegahan terkait TPPO juga akan terus disosialisasikan dan dikoordinasikan oleh BP2MI, berkerja sama dengan pemerintah daerah. Hingga kini, ada 15 kabupaten/kota yang sudah menandatangani nota kesepemahaman dengan BP2MI terkait penempatan dan perlindungan terhadap pekerja migran.
Kerja sama dengan pihak universitas di sejumlah daerah di Jateng juga dilakukan untuk menyosialisasikan pencegahan pemberangkatan tenaga kerja yang tidak sesuai prosedur.
Dia menyebut, UU Nomor 18 Tahun 2017 juga sudah memberi mandat kepada pemerintah desa untuk menyebarluaskan informasi kepada warga desa terkait pencegahan TPPO, aktif dalam memberikan perlindungan, hingga melakukan pemberdayaan masyarakat.
”Verfikasi jati diri warga yang hendak bekerja ke luar negeri juga diharapkan dilakukan sedetail mungkin untuk menghindari kemungkinan warga menjadi korban TPPO,” kata Pujiono.
Ke depan, Pujiono juga meminta masyarakat kritis saat menerima informasi terkait penyaluran pekerja migran. Sebelum menyatakan kesediaannya diberangkatkan, mereka perlu mengecek legalitas perusahaan penyalur tenaga kerja melalui Jendela PMI di situs resmi Kementerian Tenaga Kerja.
”Apabila kesulitan, calon pekerja bisa mendatangi dinas ketenagakerjaan setempat untuk menanyakan legalitas perusahaan tersebut,” katanya.