Masih Ada ABK Jateng yang Berangkat Ilegal, Perlindungan Dikuatkan
Anak buah kapal perikanan asal Jateng masih rentan diberangkatkan secara ilegal ke luar negeri. Berangkat secara ilegal membuat posisi tawar mereka rendah. Tak jarang, mereka berakhir menjadi korban perdagangan orang.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Sejumlah anak buah kapal migran di Jawa Tengah masih berangkat bekerja ke kapal perikanan asing secara ilegal. Kondisi itu membuat perlindungan terhadap mereka lemah. Penguatan perlindungan terhadap ABK migran terus diupayakan oleh pemerintah.
Pemerintah di sejumlah daerah di pesisir pantai utara Jateng, seperti Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan, Kendal, dan Pati, masih mengeluhkan adanya ABK migran di wilayahnya yang berangkat secara ilegal atau tidak sesuai prosedur. Biasanya, ABK migran yang berangkat secara ilegal disalurkan oleh agen penyalur kerja tidak resmi.
Agen penyalur kerja tidak resmi merekrut para ABK secara langsung ataupun tak langsung. Perekrutan tak langsung dilakukan lewat media sosial. Sementara itu, perekrutan langsung dilakukan melalui perantaraan calo.
Untuk menarik minat ABK, mereka menawarkan gaji yang tinggi, syarat kerja yang mudah, hingga pemberangkatan yang cepat. Iming-iming itu sering kali membuat calon tenaga kerja, khususnya yang berpendidikan rendah, tergiur.
”Mereka (ABK migran) yang berangkat secara ilegal ini maunya instan, yang penting langsung berangkat kerja tanpa memikirkan pentingnya penguasaan keterampilan. Padahal, untuk bekerja di laut itu perlu penguasaan pengetahuan terkait perikanan, navigasi, penyelamatan, maupun bahasa," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Brebes, Warsito Eko Putro, di Kota Tegal, Rabu (5/4/2023).
Menurut Eko, minimnya keterampilan yang dimiliki ABK migran tidak resmi membuat posisi tawar mereka terhadap pemberi kerja rendah. Kondisi itu juga yang disebut Eko kerap membuat para ABK migran menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Di Brebes, cukup banyak laporan terkait TPPO terhadap ABK migran ilegal. Mereka yang menjadi korban rata-rata berasal dari Kecamatan Songgom, Ketanggungan, Larangan, dan Losari. Kecuali Losari, wilayah-wilayah itu bukan wilayah pesisir, yang artinya mereka tidak akrab dengan budaya bahari. Ini menunjukkan kalau mereka itu bekerja menjadi ABK migran dengan modal nekat," ujarnya.
Di Kota Pekalongan, pemberangkatan ABK migran ilegal juga dicurigai terjadi. Kendati bukan daerah kantong ABK migran, sebagian wilayah di pesisir utara Kota Pekalongan disebut Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kota Pekalongan Sri Budi Santoso sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor perikanan.
"Sajauh ini, ada 15 orang ABK migran yang diberangkatkan secara resmi pada tahun 2022. Kemudian, di tahun 2023, ada dua orang ABK migran yang berangkat. Saya curiga, yang berangkat tidak resmi ini lebih banyak, terutama dari wilayah Pekalongan Utara," ucap Budi.
Kondisi serupa juga dikhawatirkan terjadi di Kota Tegal. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kota Tegal R Heru Setyawan, pihaknya mengeluarkan sebanyak 259 rekomendasi paspor untuk calon tenaga kerja migran, baik tenaga migran domestik maupun perikanan, pada tahun 2022. Tahun ini, ada 30 rekomendasi paspor yang dikeluarkan.
Kami berharap ada regulasi tertentu yang bisa dikeluarkan untuk menekan agen penyalur tenaga kerja yang ilegal ini.
Pada tahun 2022, Heru pernah meminta agen-agen penyalur tenaga kerja di wilayahnya untuk mengumpulkan data-data ABK migran dari Kota Tegal yang mereka berangkatkan. Data itu lalu disandingkan dengan data rekomendasi paspor yang pernah dikeluarkan.
Hasilnya, banyak ABK migran asal Kota Tegal yang tidak memiliki surat rekomendasi dari Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kota Tegal, tapi tetap bisa diberangkatkan.
"Menurut saya melindungi pekerja migran itu tanggung jawab pemerintah. Pemerintah mulai dari tingkat kelurahan hingga pemerintah pusat harusnya mengetahui siapa saja warganya yang bekerja ke luar negeri, di negara mana, di sektor apa, hingga berapa lama dia bekerja," tutur Heru.
Mengawasi agen
Selain calon pekerja migran, agen penyalur kerja juga dinilai Heru perlu didata dan diawasi. Hal ini untuk menekan risiko penyaluran tenaga kerja yang tidak sesuai prosedur. Pengawasan terhadap agen penyalur kerja merupakan kewenangan pemerintah provinsi.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jateng Sakina Rosellasari menuturkan, pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap 30 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sepanjang tahun 2022. Kendati demikian, ia menyebut, masih ada agen-agen penyalur tenaga kerja migran yang belum masuk ke P3MI.
"Ke depan, kami berharap ada regulasi tertentu yang bisa dikeluarkan untuk menekan agen penyalur tenaga kerja yang ilegal ini. Di samping itu, kami akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi hingga ke tingkat desa terkait pentingnya berangkat bekerja ke luar negeri sesuai prosedur sebagai bagian dari upaya melindungi calon tenaga kerja migran," kata Sakina.
Untuk menguatkan perlindungan terhadap ABK migran, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merekomendasikan delapan bentuk perlindungan kepada Pemprov Jateng. Ini terdiri dari pendataan pekerja migran perikanan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, sosialisasi dan diseminasi informasi, fasilitasi penyelesaian masalah, pengawasan, fasilitasi kepulangan, pengawasan penyelenggaraan jaminan sosial, dan fasilitasi pengurusan tenaga kerja migran yang sakit dan meninggal.
"Jateng ini merupakan salah satu lumbung pekerja migran, jadi penting bagi kami untuk memberikan masukan-masukan ini. Masukan ini kami harapkan bisa diimplementasikan ke dalam program-program pemerintah provinsi sehingga nantinya bisa berkelanjutan," ujar Chief Operating Officer IOJI Fadilla Octaviani.