Bekal Pengetahuan Hindarkan ABK Indonesia dari Jerat Perbudakan
Dua tahun terakhir, ratusan ABK Indonesia mengalami kekerasan di kapal perikanan asing. Namun, ada sebagian lain yang terhindar dari jerat perbudakan karena berkesempatan mendapat pendidikan yang lebih layak.
Dua tahun terakhir, puluhan anak buah kapal asal Indonesia pulang dengan tangan hampa, bahkan dalam peti mati, setelah dipekerjakan paksa di kapal perikanan asing. Sebaliknya, Ahmad Farhan (23), warga Kecamatan Banjaran, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, bernasib lain. Empat tahun mengawaki kapal perikanan Jepang, ia mampu meningkatkan kualitas hidup keluarganya.
Medio 2017, Farhan lulus dari Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Tegal. Berbekal ijazah, sertifikat kompetensi, dan ilmu pengetahuan, ia membidik pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK) perikanan di kapal berbendera Jepang. Maka, mendaftarlah ia di sebuah perusahaan penyalur ABK.
Kendati berbekal pengalaman magang di sebuah perusahaan perikanan dan mengantongi sejumlah sertifikat kompetensi, Farhan tidak lantas diterima begitu saja. Ia harus melalui berbagai tahapan seleksi yang ketat, mulai dari tes fisik, tes psikologi, hingga tes tertulis tentang perikanan.
"Setelah dinyatakan lolos tes, masih harus ikut kursus singkat Bahasa Inggris dan Jepang selama 1,5 bulan. Keterampilan berbahasa sangat penting supaya ABK bisa berkomunikasi dengan kapten kapal dan ABK dari negara lain ketika sudah berada di kapal," ujarnya ketika dihubungi dari Tegal, Selasa (5/10/2021).
Terlepas dari itu, portofolio pendidikan dan pengalaman Farhan yang mentereng tetap memberikannya nilai tawar tinggi di mata perusahaan penyalur. Ia pun diterima bekerja dengan masa kerja empat tahun.
Di kapal, ia hanya dijadwalkan bekerja selama tiga hari dengan sistem satu hari kerja dan satu hari libur. Setiap hari, lama kerjanya hanya 8-11 jam. "Saya ikut kapal one day fishing. Jadi, berangkat melaut malam hari kemudian kembali ke darat pada siang hari di hari berikutnya," katanya.
Ketika melaut, tak pernah sekalipun Farhan menjadi korban kekerasan verbal maupun fisik oleh kapten maupun ABK lain. Aliran gajinya yang sekitar Rp 20 juta per bulan juga selalu diberikan tepat waktu, baik yang ditunaikan sebagai uang saku maupun yang ditransfer langsung ke orangtuanya di Tegal.
Biasanya perusahaan penyalur abal-abal sengaja tidak mempertimbangkan latar belakang pendidikan atau keterampilan yang dimiliki calon ABK. Itu ditonjolkan di iklan-iklan lowongannya, misalnya bisa daftar tanpa ijazah dan pengalaman. Banyak, kok, iklan-iklan seperti itu di Facebook. (Ahmad Farhan)
Setelah masa kerjanya berakhir, ia kembali ke kampung halaman menuju rumah yang sama, tetapi kini menjadi lebih bagus setelah dipugar. Sebuah sepeda motor baru terparkir di halamannya. Orangtua Farhan juga telah membeli sebidang tanah dan menyisihkan sebagian sisanya untuk modal usaha. Semua adalah buah manis dari jerih payah Farhan.
Baca juga: Kapal Perikanan China, "Kuburan Terapung" Pekerja Migran Indonesia
Kisah Farhan jauh berbeda dari sejumlah ABK di kapal perikanan berbendera asing lainnya, terutama China. Alih-alih meraup dollar, mereka justru dipekerjakan paksa tanpa dibayar dan diperlakukan secara tidak manusiawi, bahkan sampai tewas.
Menurut Farhan, kebanyakan ABK yang mengalami “masalah” diberangkatkan oleh perusahaan penyalur yang tidak resmi. Pada banyak kasus, banyak calon ABK juga tidak memiliki keterampilan kerja yang sesuai.
"Biasanya perusahaan penyalur abal-abal sengaja tidak mempertimbangkan latar belakang pendidikan atau keterampilan yang dimiliki calon ABK. Itu ditonjolkan di iklan-iklan lowongannya, misalnya bisa daftar tanpa ijazah dan pengalaman. Banyak, kok, iklan-iklan seperti itu di Facebook," ujar Farhan.
Selain itu, perusahaan penyalur ABK ilegal menawarkan waktu pengurusan yang singkat. Padahal, idealnya, perlu proses sekitar 3-6 bulan agar calon ABK siap diberangkatkan.
Inilah yang dialami Muhammad “Aab” Abdullah (25), warga Desa Guwa Kidul, Cirebon, Jawa Barat. Mantan karyawan warung siomay itu nekat mendaftar ke PT Raja Crew Atlantik (RCA) di Tegal pada September 2019 hanya dengan berbekal cerita pengalaman kakak iparnya.
Diberangkatkan hanya 1,5 bulan setelah mendaftar, Aab dimutasi secara sepihak dari satu kapal China ke kapal China lainnya. Di kapal kedua, ia dipaksa bekerja tanpa istirahat selama dua hari dua malam, hanya diberi makan bubur dengan lauk teri rebus, dan minum air suling yang asin. Dua temannya bahkan tewas karena kecelakaan kerja.
Setelah kembali, baru ia tahu PT RCA yang bangkrut dan bubar pada 2020 tidak memiliki perizinan dari Kementerian Ketenagakerjaan maupun dari Kementerian Perhubungan. “Saya masih mau kerja di kapal. Tetapi belajar dari pengalaman ini, saya harus cari perusahaan yang resmi dan berizin,” kata Aab, ketika dihubungi dari Manado, Selasa (14/9).
Kasus Aab adalah kelanjutan dari kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami para ABK asal Indonesia di kapal asing. Dalam kurun November 2019 hingga Juni 2021, Fishers Center, pusat informasi, edukasi dan pelaporan bagi ABK yang berkantor di Tegal dan Bitung, Sulawesi Utara, menerima 35 aduan pelanggaran hak di luar negeri dengan ratusan korban.
Baca juga: Jenazah Tak Kembali, Gaji Tak Dibayarkan
Pelanggaran-pelanggaran itu berupa antara lain kerja paksa, gaji tak dibayarkan, dan kekerasan fisik maupun seksual. Setidaknya 37 ABK asal Indonesia tewas ketika dan setelah bekerja dari kapal-kapal perikanan asing, paling banyak dari China, yaitu 29 orang. Mereka diberangkatkan 16 perusahaan penyalur ABK yang tidak resmi.
Namun, itu hanya mereka yang terlapor. Sebab, pada 2019 saja, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menangani 1.095 kasus—bukan orang—kekerasan dan perbudakan terhadap ABK selama 2019. Dua tahun sebelumnya, ada masing-masing 1.200 kasus terkait ABK yang mereka urus.
Menurut Ketua Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) Imam Syafi’i, penyiksaan terhadap ABK asal Indonesia terjadi karena ekspektasi kapten akan tenaga kerja yang berkualitas, siap kerja, dan lancar berkomunikasi dalam bahasa asing tidak terpenuhi. Peningkatan kecakapan kerja pun seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan penyalur.
“Nilai tawar ABK yang berketerampilan kerja dan bahasa jauh lebih tinggi. Yang bertugas memastikan para ABK benar-benar terlatih sebenarnya Kementerian Ketenagakerjaan. Kalau mereka memang repot, ya perusahaan penyalur yang harus memastikan,” kata Imam, Sabtu (9/10).
Tingkatkan kewaspadaan
Melihat tren ini, daerah pun bertindak untuk meningkatkan kewaspadaan ABK. Pemerintah Kota Tegal, misalnya, melaksanakan program edukasi bagi calon ABK agar tidak terjebak pada perusahaan penyalur PMI (P3MI) yang ilegal. Program itu terus berjalan sekalipun hanya sekali setahun karena keterbatasan anggaran Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian (Disnakerin).
Disnakerin Kota Tegal juga mengundang beberapa pengelola P3MI yang berlokasi di Tegal dalam sosialisasi, September lalu. Mereka diminta selalu berkoordinasi dengan dinas sebelum merekrut dan memberangkatkan ABK maupun tenaga kerja migran lainnya untuk memudahkan pemantauan.
Kendati begitu, Kepala Disnakerin Kota Tegal, R Heru Setyawan mengakui program ini belum digencarkan karena pihaknya tidak memiliki data P3MI. Jumlah ABK migran dari Tegal pun relatif kecil.
“Kami enggak pernah dapat data P3MI, bahkan yang beroperasi di Kota Tegal karena penerbitan izinnya adalah wewenang pemprov, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Perhubungan. Warga Kota Tegal yang jadi ABK di kapal asing juga sedikit. Jadi, kami belum yakin apakah program ini akan efektif,” kata Heru, Sabtu (9/10).
Dibandingkan Kota Tegal, ABK migran lebih banyak di Kabupaten Tegal, Brebes, dan Pemalang. Inisiatif meningkatkan kewaspadaan calon ABK di tiga wilayah itu pun diambil oleh sebuah lembaga nonpemerintah, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dengan mencetak kader perlindungan awak kapal perikanan.
Hingga kini, sudah 70 warga yang dijadikan kader. Mereka tersebar di dua desa di Kabupaten Tegal, masing-masing satu desa di Kabupaten Brebes dan Pemalang, serta tiga kelurahan di Bitung, Sulawesi Utara. Desa dan kelurahan yang dipilih adalah penyumbang terbesar ABK migran dari Indonesia.
Kalau sudah ada tanda-tanda yang tidak beres, calon ABK jangan memaksakan berangkat meski sudah diiming-imingi uang, karena bisa terjadi masalah di kemudian hari. Kesadaran itu yang harus kita bangun, karena perlindungan paling optimal adalah perlindungan dari diri sendiri. (Judha Nugraha)
Koordinator Nasional DFW Indonesia, M Abdi Suhufan, mengatakan, para kader berasal dari berbagai kalangan, seperti mantan ABK, ketua RT, dan ibu rumah tangga. Namun, mereka telah mampu mengidentifikasi tanda-tanda perdagangan orang dan kerja paksa di kapal seperti intimidasi, jeratan utang, pemotongan upah sepihak, dan kekerasan fisik.
“Tugas utama mereka adalah memperkenalkan indikator kerja paksa di kapal kepada masyarakat, terutama calon ABK. Mereka juga akan menginformasikan pentingnya memenuhi persyaratan dokumen seperti paspor dan sertifikat kompetensi sebelum berangkat,” kata Abdi, Jumat (8/10).
Para kader juga ditugasi menerima dan mencatat laporan kerja paksa dan pelanggaran HAM dari ABK di kapal domestik maupun asing. Aduan itu akan mereka teruskan ke Fishers Center di Bitung dan Tegal, untuk kemudian diteruskan ke pihak berwajib. “Mereka jadi frontliners perlindungan serta deteksi dini perdagangan orang,” tambahnya.
Kini, DFW Indonesia sedang mengupayakan agar pemerintah desa di Tegal, Pemalang, dan Brebes mau mengalokasikan dana desa untuk misi ini, mengingat para kader diresmikan oleh kepala desa. Adapun pendanaan bagi kader di Bitung masih dijajaki dengan pemerintah kota.
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Judha Nugraha, mengatakan, para calon ABK harus mampu mengidentifikasi kejanggalan proses pengurusan dokumen sejak dari pemberangkatan. Misalnya, penggantian nama pada paspor dan paksaan menandatangani PKL tanpa boleh membacanya lebih dulu.
Di samping itu, calon ABK perlu curiga jika pelatihan keselamatan dasar (BST) berjalan sangat singkat, atau bahkan sertifikat diberikan tanpa pelatihan sama sekali. Bila kewaspadaan ini telah meningkat, niscaya kasus kekerasan terhadap ABK di luar negeri akan menurun.
“Kalau sudah ada tanda-tanda yang tidak beres, calon ABK jangan memaksakan berangkat meski sudah diiming-imingi uang, karena bisa terjadi masalah di kemudian hari. Kesadaran itu yang harus kita bangun, karena perlindungan paling optimal adalah perlindungan dari diri sendiri,” kata Judha, Sabtu (18/9).
Baca juga: "Neraka" di Tanduk Afrika
Para lulusan sekolah pelayaran tentu lebih unggul dalam membedakan perusahaan mana yang resmi dan tidak. Kasus-kasus kekerasan terhadap WNI yang mengawaki kapal perikanan asing, seperti Aab dari Cirebon, pun menjadi pembelajaran sekaligus pengingat bagi mereka untuk lebih waspada jika ingin bekerja di sektor perikanan yang tergolong sulit dan berbahaya.
Salah satu siswa SUPM Negeri Tegal, Valentino Robert Rossy, menyatakan hanya akan melamar di perusahaan penyalur ABK yang direkomendasikan sekolahnya. Ia juga memanfaatkan informasi-informasi dari para alumni di sekolahnya, untuk menggali rekam jejak perusahaan penyalur ABK.
"Kalau sudah direkomendasikan pihak sekolah dan mendapatkan testimoni dari alumni, biasanya memang perusahaannya bagus. Tapi kalau belum, perlu diteliti lebih lanjut, jangan asal mendaftar atau terbujuk untuk diberangkatkan," kata Valentino, Selasa (5/10).
Valentino bercita-cita ingin bekerja di kapal ikan di Jepang untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarganya. Kini, ia tengah berfokus meningkatkan keterampilan dan mengasah kemampuan berbahasa Jepang.