Dua Orang Tewas dan 21 Rumah Dibakar akibat Konflik Batas Lahan, Nabire Siaga Satu
Konflik batas lahan di Kabupaten Nabire, Papua Tengah, menyebabkan dua warga tewas, delapan orang luka, dan 21 rumah dibakar. Kepolisian pun meningkatkan status keamanan Nabire menjadi siaga satu.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Aparat kepolisian meningkatkan status keamanan di Kabupaten Nabire, Papua Tengah, menjadi siaga satu. Hal itu dilakukan setelah terjadinya konflik batas lahan antardua kelompok masyarakat yang menyebabkan dua warga tewas, delapan warga luka, dan 21 rumah dibakar.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Ignatius Benny Ady Prabowo, Jumat (9/6/2023), di Jayapura mengatakan, seluruh korban tewas dan luka-luka terkena anak panah dan senjata tajam. Para korban telah dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Nabire.
Ignatius memaparkan, jumlah rumah warga yang dibakar massa dari kelompok tertentu mencapai 21 unit. Pembakaran rumah itu dilakukan pada Rabu hingga Kamis (7-8/6/2023). Rumah yang dibakar itu berlokasi di Jalan Lintas Nabire-Dogiyai Kilometer 80, 84, dan 86.
”Warga yang rumahnya dibakar terpaksa harus mengungsi ke rumah kerabatnya dan sejumlah lokasi lain untuk berlindung, misalnya Markas Koramil dan Pos Polisi Subsektor Siriwo,” ujar Ignatius.
Sebelumnya diberitakan, pertikaian terjadi antara kelompok masyarakat Mee dan Dani di Kampung Urumusu pada Senin (5/6/2023) sekitar pukul 12.00 WIT. Pertikaian itu dipicu kelompok masyarakat Dani yang diduga mengambil area batas wilayah tanah adat milik warga Mee.
Kelompok masyarakat Mee merupakan salah satu suku besar di wilayah Papua Tengah. Mereka tersebar di sejumlah kabupaten di Papua Tengah, antara lain Nabire, Paniai, Dogiyai, dan Deiyai.
Warga yang rumahnya dibakar terpaksa harus mengungsi ke rumah kerabatnya dan sejumlah lokasi lain untuk berlindung.
Ignatius menyatakan, seluruh anggota TNI-Polri telah bersiaga dan meningkatkan pengamanan di sejumlah lokasi yang rawan terjadi pertikaian antarkedua kelompok. Aparat juga melaksanakan patroli dan blokade demi mencegah massa dari kelompok masyarakat Mee memasuki wilayah Nabire.
”Kegiatan patroli akan dilaksanakan secara rutin di seluruh wilayah ibu kota Nabire dan sekitarnya. Pengamanan juga difokuskan di area permukiman warga dan obyek vital milik negara seperti perkantoran dan bandar udara,” kata Ignatius.
Wakil Kepala Polda Papua Brigadir Jenderal (Pol) Ramdani Hidayat menambahkan, jumlah personel Polres Nabire, Brimob, dan TNI yang bersiaga di Nabire sekitar 500 orang. Dia menyebut, Polri menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk meredam konflik di Nabire.
”Kami terus memantau perkembangan situasi keamanan di Nabire. Kami akan mengirimkan tambahan personel dari Jayapura apabila Polres Nabire membutuhkan bantuan,” ujar Ramdani.
Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey berpendapat, aparat keamanan harus mengedepankan upaya penegakan hukum secara terukur untuk menghentikan konflik sosial di Nabire. Selain itu, Frits menyebut, Pemerintah Kabupaten Nabire harus memegang peran terbesar untuk memediasi kedua kelompok yang bertikai demi tercapainya perdamaian.
”Rawan terjadi konflik di daerah pemekaran seperti Papua Tengah. Hal ini disebabkan dua faktor, yakni minimnya infrastruktur dan hegemoni kesukuan yang berlebihan, sehingga rawan memicu konflik sosial di daerah tersebut,” papar Frits.