Merawat Karst Maros-Pangkep, Melestarikan Taman Bumi Global
Aktivitas pertambangan di kawasan karst Maros-Pangkep tak hanya berpotensi merusak lingkungan dan goa bersejarah. Status sebagai taman bumi global juga ikut terancam.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·6 menit baca
Akhir Mei lalu, UNESCO resmi menetapkan kawasan Maros-Pangkep sebagai Global Geopark atau taman bumi global. Status ini menempatkan kawasan Maros-Pangkep menjadi satu dari 10 taman bumi global di Indonesia yang diakui UNESCO. Penetapan ini bukan datang seketika. Butuh perjuangan panjang untuk mendapat pengakuan sejak diusulkan pada 2017 lalu.
Sebagai taman bumi global, kawasan Maros-Pangkep memiliki kekayaan gugusan menara dan pegunungan karst yang membentang antara Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kwpulauan (Pangkep). Bentang karst di kawasan ini disebut terbesar kedua di dunia setelah China Selatan. Luasnya lebih dari 43.000 hektar. Sekitar 20.000 hektar adalah kawasan pertambangan dan lebih 23.000 hektar masuk dalam kawasan Taman Naaional Bantimurung-Bulusaraung.
Sejumlah flora dan fauna endemik ada di kawasan ini. Tak hanya itu, keunikan sekaligus kekayaan gugusan karst di kawasan ini adalah keberadaan ratusan goa prasejarah. Sebagian besar goa-goa ini menyimpan kekayaan tinggalan berupa lukisan tangan, bani rusa, hingga perhiasan dan alat pemotong dari zaman prasejarah.
Pada Oktober 2021 lalu, dunia dikejutkan dengan penemuan kerangka manusia Sulawesi yang dipastikan memiliki DNA denisovan di Leang Panningnge, Maros. Usia kerangka yang terbilang lengkap ini disebut 7.200 tahun. Sebelumnya, pada 2014, sebuah lukisan tangan berusia sekitar 39.900 tahun telah ditemukan di Leang Timpuseng, Maros.
Pada 2019 peneliti kembali menemukan lukisan yang disebut tertua di dunia berupa figur setengah manusia dan setengah hewan di salah satu gua di Pangkep. Usianya diperkirakan sekitar 44.000 tahun. Masih banyak temuan lain diantaranya perhiasan manusia prasejarah yang berusia sekitar 30.000 tahun.
Berbagai temuan ini menempatkan Sulawesi terutama Sulawesi Selatan sebagai salah satu wilayah penting bagi kehidupan awal manusia modern. Kawasan prasejarah Maros-Pangkep serupa ”kotak hitam” peradaban.
Di zona Wallacea, kawasan Maros-Pangkep juga memiliki arti penting. Sejumlah spesies hewan dan tumbuhan endemik ditemukan Alfred Russel Wallace saat menetap dan melakukan penelitian di Maros. Hingga kini penelitian oleh para arkeolog masih terus dilakukan untuk mencari manusia pertama yang menghuni kawasan ini.
Bentang karst di kawasan ini berikut tinggalan prasejarah di dalamnya bukan hanya menjadi laboratorium alam unruk penelitian khususnya arkeologi. Keindahannya telah lama menjadi magnet bagi wisatawan. Bahkan, saat ini Dinas Pariwisata Sulsel menjadikan kawasan Maros-Pangkep sebagai salah satu destinasi prioritas.
”Kawasan karst Maros-Pangkep beberapa tahun terakhir banyak diminati wisatawan. Selain keindahan alam dan kekayaan prasejarah, letaknya yang terbilang dekat dari Makassar membuat banyak wisatawan mengunjungi kawasan ini. Saat ini kawasan ini jadi salah satu destinasi prioritas,” kata Sekretaris Dinas Patiwisata Sulsel, Devo Khaddafi beberapa waktu lalu.
Aktivitas Pertambangan
Akhir pekan awal Juni lalu, Kompas berkeliling di kawasan karst di Maros. Dua aktivitas cukup mencolok nampak di kawasan ini. Di obyek wisata Rammang-Rammang dan Bantimurung, wisatawan nyaris tak henti berdatangan sejak pagi hingga sore. Di goa prasejarah Leang-Leang juga cukup ramai.
Meski demikian, di sepanjang jalan poros yang menghubungkan obyek-obyek wisata goa prasejarah menuju Rammang-Rammang dan Bantimurung, aktivitas pertambangan juga tak kalah marak. Sejumlah pegunungan karts nampak ditambang dan meninggalkan wajah permukaan yang penuh luka di sana-sini. Alat pengeruk seolah tak pernah berhenti bekerja. Truk-truk hilir mudik membawa muatan bahan galian.
Aktivitas ini sangat kontras dengan status taman bumi global yang telah disematkan UNESCO dan juga Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung yang ada di dalamnya. Sebagai gambaran, salah satu syarat taman bumi global adalah kawasan geologi yang memiliki kekayaan dan keindahan hingga kepentingan bagi dunia ilmiah atau pengetahuan. Selain itu, biodiversitas dan budaya adalah bagian lain yang tak kalah penting.
Di Desa Samangki Kecamatan Simbang, Maros, sejak beberapa pekan terakhir, warga terus menyuarakan protes atas rencana pendirian pabrik aspal di kawasan tersebut. Lokasi pabrik tak seberapa jauh dari lokasi obyek wisata air terjun Bantimurung. Di luar itu, jauh sebelum penetapan sebagai taman bumi global, dua perusahaan semen besar telah beroperasi. Keduanya adalah PT Semen Tonasa dan PT Semen Bosowa.
Karena itu, sebaiknya pihak pengelola kawasan geopark mengidentifikasi kembali tambang ini. Yang masih mengajukan izin, sebaiknya tak diberi izin. Yang sudah telanjur melakukan ekstraksi, harus diberi batas waktu untuk menghentikan aktivitas.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel mencatat ada sekitar 30 tambang marmer yang beroperasi di kawasan ini. Jumlah ini tidak termasuk ratusan lainnya berupa penambangan ilegal yang turut beroperasi, entah sekadar mengambil bebatuan dan tanah untuk timbunan atau bahan marmer.
”Ini sangat kontras dengan status Global Geopark yang telah diberikan UNESCO di kawasan ini. Salah satu keunikan kawasan ini dan juga mendatangkan wisatawan adalah gugusan karstnya. Namun, jika aktivitas pertambangan tak terkendali, bukan kawasan karst saja yang hancur, melainkan juga pariwisata terutama lingkungan pasti ikut hancur. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang akan menerima dampaknya,” kata Al Amin, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Kamis (8/6/2023).
Dia mengingatkan, status taman bumi global bisa dicabut jika kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan kian tak terkendali. ”Karena itu, sebaiknya pihak pengelola kawasan geopark mengidentifikasi kembali tambang ini. Yang masih mengajukan izin, sebaiknya tak diberi izin. Yang sudah telanjur melakukan ekstraksi, harus diberi batas waktu untuk menghentikan aktivitas. Akan malu kita jika status global geopark dicabut,” katanya.
Beberapa waktu lalu kalangan arkeolog dan peneliti juga mengkhawatirkan aktivitas penambangan di kawasan ini. Tak hanya soal rentannya goa-goa menjadi hancur akibat aktivitas penambangan terutama saat dilakukan ledakan, tapi debu juga akan berpotensi merusak lukisan cadas di dinding-dinding goa. Saat ini identifikasi terus dilakukan untuk memastikan berapa banyak goa yang memiliki kekayaan tinggalan prasejarah. Namun, diyakini sebagian besar dari lebih 200 goa di kawasan ini memiliki jejak tinggalan prasejarah.
Terkait soal ini General Manajer Badan Pengelola Geopark Maros-Pangkep Dedy Irfan Bachri mengakui penetapan sebagai taman bumi global bukan akhir. Menjaga agar lingkungan tetap terjaga dan sekaligus dampak kesejahteraan para maayarakat adalah pekerjaan selanjutnya.
Dia mengatakan, sebelum kawasan ini diusulkan menjadi taman bumi global, sejumlah perusahaan tambang, seperti semen dan marmer, sudah ada dan beroperasi. Namun, saat ini Pemkab Maros sudah melakukan moratorium tambang. Artinya, tak ada lagi izin tambang baru.
”Yang ada saat ini terutama tanbang galian C, itu untuk kepentingan proyek strategis nasional, yakni KA Trans-Sulawesi, untuk material timbunan pembangunan rel. Namun, kami mengawasi apabila bahan yang diperlukan sudah mencukupi, maka harus berhenti. Untuk perusahan lain yang sudah melakukan eksplorasi sejak lama, juga kami awasi. Kami melibatkan semua pihak seperti, pihak cagar budaya, akademisi, arkeolog, hingga pihak perusahaan tambang,” katanya.
Dia mengatakan, yang jadi fokus pengawasan saat ini ialah kalaupun telanjur ada tambang, harus dilakukan dengam prinsip ramah lingkungan.
”Bagaimana prosesnya, pascatambang seperti apa dan apa dampaknya bagi masyarakat. Kami juga berharap jika ada kepentingan terkait tambang, sebaiknya dilakukan kajian. Apa dampaknya bagi kekayaan goa prasejarah, termasuk bagi kesejahteraan masyarakat, apakah lebih baik ke pariwisata atau tambang. Sebab, kami juga cukup berhati-hati menjaga kawasan ini,” katanya.
Dia mengakui, setelah ditetapkan sebagai taman bumi global, berbagai upaya dilakukan termasuk sosialisasi kepada masyarakat. Tak hanya soal menjaga lingkungan, tetapi juga kesadaran menjadi masyarakat sadar wisata.
”Pasti akan lebih banyak lagi orang yang berkunjung karena UNESCO pun akan terlibat dalam mempromosikan kawasan ini. Makanya, kami cukup berhati-hati. Apalagi, empat tahun setelah ditetapkan, UNESCO akan merevalidasi ulang apakah kaidah-kaidah yang disyaratkan sebagai taman bumi global dipenuhi atau tidak. Tentu kami akan menjaga itu,” katanya.
Perjuangan panjang mendapatkan status taman bumi global tentu saja harus diiringi upaya terus menjaga dipenuhinya syarat yang ditetapkan UNESCO. Mempertahankan status itu berarti kepentingan warga yang berdiam di kawasan juga akan terjaga. Sebab, sejatinya perjuangan memang tak berhenti pada penatapan sebagai taman bumi global.