Kekayaan Tinggalan Prasejarah di Sulsel Harus Diselamatkan
Tinggalan sejarah di gugus karst Maros, Pangkep, hingga Bone terus terdesak oleh aktivitas manusia, termasuk tambang. Padahal, kawasan ini menyimpan banyak kekayaan prasejarah. Penyelamatan perlu dilakukan.
Oleh
Reny Sri Ayu
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan menyimpan banyak kekayaan tinggalan prasejarah. Kekayaan ini menyebar di goa-goa di Kabupaten Maros, Pangkep, Bone, Selayar, hingga wilayah Lembah Walannae. Penelitian diperlukan untuk menggali dan mengungkap kekayaan ini serta menyelamatkannya sebelum rusak oleh aktivitas manusia, termasuk tambang.
Hal ini mengemuka dalam Seminar Nasional bertema ”Manusia Sulawesi: Bukti, Asal Usul, dan Kebudayaannya di Sulawesi Selatan” yang digelar Balai Arkeologi Sulawesi Selatan. Seminar berlangsung pada Selasa-Rabu (16-17/11/2021).
Tampil sebagai pembicara, antara lain, Peneliti Prasejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Truman Simanjuntak; Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Prof Akin Duli; dan arkeolog Griffith University, Australia, Prof Adam Brumm. Selain itu, ada pula arkeolog Balai Arkeologi Sulsel Budianto Hakim dan Prof Harry Widianto, arkeolog dan peneliti dari Universitas Gadjah Mada.
Budianto Hakim mengatakan, dalam dua tahun terakhir saja, peneliti menemukan setidaknya 50 situs di goa-goa di wilayah Simbang, Maros. Ini belum termasuk ratusan goa lain di gugus karst yang membentang antara Maros, Pangkep, dan Bone.
Dia menjelaskan, di salah satu goa, yakni Leang Ka’do, peneliti menemukan 47 fragmen tulang yang terdiri atas tujuh individu. Di Cabbenge, Bone, ditemukan alat batu serpih yang berdasarkan usia paleomagnetik, usia pengendapannya di atas 700.000 tahun.
”Ini seperti penemuan kerangka manusia purba di Flores yang usianya mirip. Ada kemungkinan antara temuan di Cabbenge memiliki korelasi dengan di Flores. Ini butuh penelitian lebih lanjut,” kata Budianto.
Harry Widianto mengatakan, penelitian dan ekskavasi yang dilakukan sebaiknya tidak berhenti pada pendataan usia saja. Sebagai contoh, di Jawa banyak ditemukan manusia purba Austromelanesoid, tetapi tidak pernah ditemukan lukisan tangan. Goa di Jawa juga tidak pernah dihuni Mongoloid.
”Lukisan dinding selalu bersisian dengan Mongoloid. Sampai detik ini seluruh lukisan dinding di Sulawesi, Kalimantan, dan beberapa daerah lain selalu berkaitan dengan rangka Mongoloid. Pertanyaannya, siapa yang membuat lukisan dinding yang ada di Sulawesi? Saran saya, stop dulu membuat penanggalan. Sekarang dibuat dalam konteks untuk mencari orang yang berkonteks dengan lukisan itu,” katanya.
Harry juga meminta penelitian di Lembah Walannae diintensifkan. Ini mengingat sejumlah alat paleolitik yang ditemukan berkorelasi dengan homo erectus. Ada pendapat homo erectus tidak pernah sampai ke Sumatera dan Kalimantan. Tapi, saat terjadi paparan Sunda, zaman es, dan era ”jembatan darat”, mereka bermigrasi sampai ke Pulau Jawa.
”Artinya, Sumatera dan Kalimantan punya peluang untuk ditempati, tapi tidak pernah ditemukan (manusia purba),” ujarnya.
Menurut Harry, paleolitik dominan ada di Sulawesi, terutama garis Wallacea. Jika paleolitik yang ada di lapisan asli di pengendapan bisa ditemukan, itu merupakan hal yang luar bisa. Alat-alat paleolitik adalah indikator kedatangan homo erectus di suatu tempat. ”Lower paleolitik adalah budaya homo erectus. Sebaiknya mulai sekarang peneliti mencari lokasi pengendapan aslinya,” katanya.
Sementara itu, Truman Simanjuntak mengatakan, jazirah Sulawesi menjadi sangat penting dalam sejarah dan peradaban karena pada masa lampu daerah ini menjadi tujuan migrasi.
”Berdasarkan data, di Sulawesi terdapat 208 etnis dan 114 bahasa. Dari Sulawesi, orang-orang menyebar lalu berbaur. Ini di antaranya berpengaruh pada pembentukan-pembentukan etnis lain. Di Indonesia terdapat 1.340 etnis yang meliputi 340 kelompok etnis dan 726 bahasa,” katanya.
Terkait kekayaan tinggalan sejarah masa lampau di Sulsel, khususnya di gugus karst Maros, Pangkep, hingga Bone, Budianto mengatakan, tugas saat ini adalah melakukan penelitian dan menyelamatkan tinggalan itu. Hal ini sebelum tinggala rusak oleh aktivitas manusia, terutama tambang, yang marak di wilayah karst Maros-Pangkep.