Kisah Pilu Perundungan yang Membongkar Pencabulan Belasan Anak di Wonogiri
Sungguh ironis nasib belasan murid madrasah di Wonogiri, Jawa Tengah. Kasus pencabulan yang menimpa mereka baru diketahui setelah ada laporan perundungan yang dilayangkan salah seorang korbannya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Kasus pencabulan belasan murid madrasah di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, menghadirkan kisah pilu. Sebab, kasus pelecehan seksual baru terbongkar setelah adanya laporan perundungan yang dialami salah seorang korban.
Kasus itu terjadi pada sebuah madrasah di Desa Talunombo, Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Letak madrasah itu di tengah perkampungan. Jaraknya mencapai 33 kilometer dari pusat kota Wonogiri. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan mengendarai sepeda motor untuk sampai ke madrasah itu dari pusat kota.
Terkuaknya kasus pencabulan bermula dari pengaduan seorang anak ke orangtuanya. Anak itu menangis gegara dirundung teman-teman sekelasnya. Ternyata, perundungan itu dipicu oleh tindakan tak senonoh seorang guru agama berinisial Y (51) kepada murid tersebut ketika pelajaran sedang berlangsung.
”Orangtua anak itu lalu lapor ke kepala desa setempat. Kepala desa coba menindaklanjuti ke kepala sekolah. Namun, kepala sekolah malah menanggapi kurang baik. Bahkan, kepala sekolah justru malah akan menuntut balik atas kasus pencemaran nama baik,” kata Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (PPKB P3A) Wonogiri Mubarok, Senin (5/6/2023).
Lantas, kata Mubarok, kepala desa berkoordinasi dengan pemerintah kecamatan. Mereka mendatangi salah seorang komite sekolah guna menanyakan ihwal kasus tersebut. Pihak dinas juga menerjunkan tim untuk mencari kebenaran atas peristiwa itu. Ternyata, kejadian pahit itu sungguh-sungguh ada.
Mubarok dan timnya pun terus mengembangkan penelusuran mengenai kasus tersebut. Usut punya usut, kepala sekolah madrasah tersebut, yang berinisial M (47), juga melakukan perbuatan bejat serupa. Total korban dari aksi kedua pelaku mencapai 12 orang.
”Kemudian, kami mendampingi para korban untuk melaporkan kasus tersebut ke Polres Wonogoiri pada Sabtu (27/5/2023). Kami juga melakukan pendampingan psikologis ke anak-anak tersebut,” kata Mubarok.
Y dan M baru ditangkap aparat kepolisian, Jumat (2/6/2023), berselang satu pekan setelah keduanya dilaporkan. Mereka kebetulan ditangkap di lokasi yang sama. Mereka juga tak memungkiri perbuatan bejat yang telah mereka lakukan kepada murid-muridnya sendiri. Setiap pelaku mencabuli enam orang murid yang usianya 8-12 tahun.
Dari hasil pemeriksaan sementara, Y dan M melakukan tindakan tercela itu dalam rentang waktu yang berbeda. M mengaku telah melakukannya mulai awal 2023 hingga pertengahan 2023, sedangkan Y diketahui sudah melakukan pencabulan sejak 2021.
Kepala Polres Wonogiri Ajun Komisaris Besar Andi Muhammad Indra Waspada Amirullah menyampaikan, polisi belum menemukan motif dari setiap pelaku. Indra pun mengaku keheranan atas tindakan cabul pelaku.
Ternyata, perundungan itu dipicu oleh tindakan tak senonoh seorang guru agama berinisial Y kepada murid tersebut ketika pelajaran sedang berlangsung.
Apalagi, para korban ialah murid mereka sendiri. Perbuatan mereka juga bertentangan dengan profesi masing-masing sebagai pendidik yang semestinya melindungi murid-muridnya. Oleh karena itu, polisi juga akan memeriksa kondisi kejiwaan pelaku.
”Itu (kondisi kejiwaan pelaku) tadi hasil pengembangan dari penyelidikan kami. Memang terindikasi kalau seperti itu sudah penyakit. Secara rutin kegiatan sehari-hari bapak ini normal. Kemungkinan penyakitnya dari segi psikologis,” kata Indra.
Sepanjang tahun 2023, Dinas PPKB P3A Wonogiri mencatat tindak kekerasan seksual pada anak yang terjadi di wilayah tersebut sebanyak 13 kasus dengan 24 korban. Penambahannya cukup signifikan dibandingkan setahun sebelumnya. Pada 2022, jumlah kasus kekerasan seksual pada anak sebanyak 20 kasus dengan korban berjumlah 24 orang.
Manajer Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat, Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Fitri Haryani menyoroti proses terungkapnya kasus itu. Adanya perundungan kepada korban menunjukkan pemahaman anak-anak terhadap kekerasan seksual masih rendah. Apalagi, tindakan asusila itu dilakukan oleh pelaku di dalam ruang kelas dan disaksikan sesama murid.
”Karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman tentang pelecehan seksual dan bentuk kekerasan seksual lainnya, maka hal-hal itu dianggap hal yang biasa atau bukan bentuk dari kekerasan. Ini akhirnya menciptakan budaya rape culture,” kata Fitri.
Fitri menjelaskan, lemahnya kepekaan anak mengenai kekerasan seksual bisa dipandang sebagai cerminan kondisi sosial di sekitarnya. Ia menduga, para murid jarang menerima materi pendidikan seksual meliputi organ reproduksi hingga ancaman kekerasan yang berpotensi mereka alami.
Padahal, ungkap Fitri, anak-anak merupakan kelompok paling rentan dalam kasus pelecehan seksual, khususnya apabila relasi kuasa antara korban dan pelaku sangat timpang. Salah satu relasi kuasa yang timpang itu ada dalam hubungan guru dengan muridnya.
Fitri juga menyebut, terdapat konstruksi sosial yang memosisikan anak sebagai kelompok yang paling rentan dalam suatu perkara pelecehan seksual. Pada kasus M dan Y, misalnya, para murid sempat diancam akan diberi nilai jelek jika memberitahukan soal pelecehan seksual tersebut.
Hal itu mengakibatkan para murid dilanda rasa takut. Ketakutan itulah yang memungkinkan pelaku bisa melancarkan aksinya beberapa kali.
”Hal-hal seperti ancaman kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, hingga kesehatan mental harus masuk ke dalam kurikulum sekolah. Mungkin selama ini sudah ada, tetapi tidak berkembang. Padahal, tantangan dan situasinya sudah banyak berubah,” kata Fitri.
Dihubungi terpisah, Kepala Kantor Kementerian Agama Wonogiri Anif Solikhin mengaku sangat prihatin dengan peristiwa tersebut. Guru yang menjadi pelaku kekerasan seksual itu langsung dinonaktifkan sementara dari jabatannya setelah diterimanya laporan. Adapun sang kepala sekolah yang juga melakukan kekerasan seksual telah diberhentikan oleh yayasan pengelola madrasah.
Anif juga merespons kasus itu dengan mengumpulkan para kepala madrasah negeri dan swasta di daerah tersebut. Ia memberikan pembinaan sekaligus mewanti-wanti agar mereka semakin waspada dengan segala ancaman kekerasan seksual terhadap segenap warga madrasah. Pengelola madrasah juga diminta agar punya keberpihakan terhadap korban.
”Kami sudah memberikan kepada kepala madrasah biar kasus-kasus seperti ini bisa diantisipasi. Setiap laporan dari murid harus segera ditindaklanjuti. Jangan seperti kasus ini yang ternyata justru kepala madrasah ikut jadi pelaku,” kata Anif.