Mendulang Devisa dari Desa-desa Berdaya di Jawa Timur
Semangat mempercepat kebangkitan ekonomi dari resesi akibat pandemi Covid-19 terus digelorakan oleh Pemprov Jatim. Strateginya antara lain mendulang devisa dari desa-desa berdaya penghasil komoditas ekspor.
Semangat mempercepat kebangkitan ekonomi dari resesi akibat pandemi Covid-19 terus digelorakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Strateginya antara lain mendulang devisa dari desa-desa berdaya penghasil komoditas ekspor, seperti jahe gajah dan cokelat.
Jahe putih dengan rimpang berukuran besar dan gemuk menghiasi salah satu gerai pameran East Java Internasional Trade Festival di Grandcity, Surabaya, Selasa (30/5/2023). Komoditas yang kerab disebut jahe gajah atau jahe badak itu menjadi salah satu primadona ekspor belakangan ini.
Di Jawa Timur, tanaman jahe gajah banyak dibudidayakan oleh petani di Kabupaten Ponorogo, Nganjuk, dan Malang. Sebagian besar pembudidaya merupakan petani yang menggarap lahan di sekitar kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani.
Salah satu petani, Timur Pradopo (44), mengatakan, jahe gajah menjadi primadona ekspor karena permintaan pasar luar negeri cukup tinggi. Permintaan itu antara lain dari Bangladesh, Pakistan, Amerika Serikat, Thailand, dan negara-negara di kawasan Timur Tengah, seperti Mesir.
Baca juga: Jatim Genjot Ekspor dan Transaksi Perdagangan Luar Pulau
”Jahe ini diolah menjadi bubuk dan dipasarkan di ritel-ritel modern. Jahe gajah banyak digunakan sebagai campuran bumbu masak,” ujar petani dari Desa Trayang, Ngronggot, Nganjuk, tersebut.
Selain pembudidaya, Timur juga menjadi pengepul dan eksportir jahe gajah. Dia merintis usaha tersebut sejak 2014 dengan merangkul petani penggarap lahan sekitar kawasan hutan. Luas total area tanaman jahenya saat ini sekitar 100 hektar dengan rata-rata produksi 15 ton per hektarnya.
Saat ini, Timur mendapatkan pesanan jahe gajah dari pembeli di Bangladesh dan Pakistan dengan volume tujuh kontainer. Setiap kontainernya berukuran 40 feet atau berkapasitas 27 ton. Namun, rata-rata kemampuan produksi petani binaanya baru sekitar lima kontainer per tahun.
Salah satu daya tarik komoditas jahe gajah bagi petani lokal adalah harganya yang cukup bagus, yakni Rp 6.000 per kilogram. Dengan asumsi produksi 15 ton per hektar, petani bisa memperoleh Rp 90 juta setiap musim panen, yakni delapan bulan sekali. Setelah dipotong biaya produksi sekitar Rp 50 juta, petani mendapatkan margin rata-rata Rp 5 juta per bulan.
Dengan membudidayakan jahe gajah, petani sekitar hutan bisa memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan menanam jagung dan ketela. Saat bersamaan, negara mendapatkan sumber devisa baru dari hasil perdagangan jahe gajah yang harganya 1.200-Rp 1.500 dollar AS per kilogramnya.
Baca juga: Kinerja Ekspor Perikanan Topang Ekonomi Jatim pada Masa Pandemi Covid-19
Timur menambahkan, petani di Desa Trayang mengekspor jahe gajah sejak 2014. Artinya, desa tersebut secara rutin menghasilkan devisa bagi negara. Oleh karena itu, Trayang ditetapkan sebagai salah satu desa pendulum devisa.
Pada ajang East Java Internasional Trade Festival tersebut, Pemprov Jatim menetapkan tiga desa sebagai pendulum devisa. Dua desa lainnya adalah Desa Ngindeng, Ponorogo, dan Kampung Cokelat, Blitar. Desa Ngindeng memiliki komoditas ekspor jahe gajah, sedangkan Kampung Cokelat mengandalkan aneka produk olahan berbahan cokelat.
Para pelaku usaha di tiga desa itu mendapat pembinaan dari Bank Jatim terkait dengan eksportasi dan pembiayaan modal usaha. Selain itu, para petani yang terlibat mendapatkan pendampingan terkait usaha budidaya jahe guna meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan.
Melalui produk yang berdaya saing tinggi, kepercayaan konsumen bisa terjaga. Hal itu penting untuk mempertahankan keberlangsungan ekspor produk. Dengan demikian, produksi tetap berjalan dan lapangan pekerjaan terbuka lebar sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pemerintah provinsi terus berupaya mendorong terbentuknya desa-desa penghasil devisa agar jumlahnya semakin banyak. Saat ini jumlah desa devisa di Jatim mencapai 102 dengan produk unggulan yang sangat beragam.
”Desa devisa pertama di Jatim adalah desa di Sidoarjo dengan produk unggulan rumput laut. Sekarang sudah berkembang menjadi 102 desa devisa dan insya Allah akan bertambah,” kata Khofifah.
Dia menambahkan, pengembangan desa devisa diharapkan semakin memperkuat ekonomi masyarakat pedesaan, menciptakan banyak lapangan pekerjaan, dan pada akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan. Selain itu, lahirnya berbagai produk unggulan berorientasi ekspor dari desa diyakini bakal mendorong tumbuhnya ekonomi inklusif.
Mantan Menteri Sosial itu berharap semakin banyak kreativitas tumbuh di desa-desa di wilayahnya sehingga meneteskan lebih banyak kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Lebih jauh dia berharap tidak ada lagi desa tertinggal di tlatah Brangwetan tersebut.
”Sejak tahun 2021 sejatinya sudah tidak ada lagi desa tertinggal di Jatim. Bahkan pada tahun 2022 terdapat 1.492 desa mandiri. Itu artinya, tingkat kemandirian desa berseiring dengan tumbuhnya kreativitas ekonomi masyarakatnya,” ujar Khofifah.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim Iwan mengatakan, perdagangan luar negeri atau ekspor berkontribusi besar memacu pertumbuhan ekonomi regional. Oleh karena itu, volume dan transaksinya harus terus digenjot melalui berbagai strategi seperti memperbanyak desa pendulum devisa.
Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor Jatim periode Januari-April 2023 mencapai 6,56 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas mendominasi dengan nilai transaksi 6,28 miliar dollar AS. Kinerja ekspor Jatim tersebut masih harus dilecut agar semakin meningkat dan menghasilkan surplus neraca perdagangan.
Iwan menambahkan, upaya lain melecut kinerja ekspor ditempuh dengan memperluas jangkauan pasar untuk komoditas asal Jatim. Dalam hal ini, pelaku usaha dituntut mencari terobosan pasar di luar pasar ekspor tradisional. Caranya dengan menjajaki pasar nontradisional.
Salah satu perusahaan eksportir yang terus mengembangkan pasar baru di luar pasar tradisional adalah PT Sun Paper Source. Direktur Utama PT Sun Paper Source Ventje Hermanto mengatakan upaya pengembangan pasar dilakukan dengan memperbanyak jumlah negara tujuan ekspor.
”Selain memperluas pasar tradisional, kami juga menyasar pasar nontradisional, seperti Amerika Latin, Spanyol, Korea, Jepang, dan Chile. Intinya, kami tidak hanya mengandalkan pasar yang sudah ada, tetapi terus mencari pasar-pasar baru,” ujar Ventje.
Sejak tahun 2021 sejatinya sudah tidak ada lagi desa tertinggal di Jatim. Bahkan pada tahun 2022 terdapat 1.492 desa mandiri.
PT Sun Paper Source merupakan produsen tisu untuk kebersihan dan kesehatan. Hampir 80 persen produknya dipasarkan di pasar luar negeri dan hanya 20 persen yang mengisi pasar lokal. Menurut Ventje, salah satu tantangan dalam bisnis ekspor adalah biaya pengiriman atau logistik yang nilainya cukup besar.
Tantangan berikutnya, katanya, adalah kualitas produk yang persaingannya sangat ketat terutama dengan produsen tisu dari Jepang. Pasar ekspor mensyaratkan standar produk yang tinggi. Konsumen luar negeri juga sangat detil dan teliti terhadap poduk yang mereka pakai.
PT Sun Paper Source menerima penghargaan dari Pemprov Jatim karena dinilai berkontribusi signifikan dalam mengembangkan pasar-pasar baru di luar negeri. Penghargaan itu diberikan pada ajang East Java Internasional Trade Festival.
Memacu pertumbuhan ekonomi melalui desa-desa pendulum devisa bisa jadi sebuah jalan untuk mempercepat kebangkitan dari krisis akibat pandemi. Namun, pekerjaan itu tak bisa dilakukan sendiri melainkan butuh dukungan penuh dari berbagai pemangku kebijakan demi menjaga keberlangsungan desa devisa.
Baca juga: Desa Devisa Lokomotif Produk Lokal Jatim Menembus Pasar Global