Kulari ke Hutan Kota di Palangkaraya
Kristana Parinters Makur (30) melepas alas kakinya dan merasakan pasir basah hutan kerangas di Kahui, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Penatnya tiba-tiba sirna bersama hilangnya terik matahari di balik pepohonan.
Hanya butuh berjalan 200 meter dari pintu masuk Kahui menuju Sungai Tahai yang bersembunyi di balik rindangnya pepohonan. Jalan di pasir yang basah, Nando, sapaan akrab Kristana Parinters Makur (30), meninggalkan jejak kakinya di mana-mana. Ia kemudian duduk di bawah pohon beringin tak jauh dari Sungai Tahai yang airnya hitam karena gambut.
Nando duduk bersandar di pohon tua itu, ia hanya mendengar gesekan ranting pohon, deru aliran sungai hitam di bawah kakinya, dan tawa tipis pengunjung lain dari kanan dan kiri Sungai Tahai.
Di pinggir sungai, beberapa orang mencelupkan kaki, yang lain melempar candaan di bawah pohon-pohon endemik khas hutan kerangas. Sementara beberapa orang lainnya ada di dalam tenda kemah yang didirikan sejak semalam. Sisa-sisa api unggun masih berasap tak jauh dari kemah.
Sekitar 50 meter dari sungai, berdiri pondok-pondok dengan atap segitiga menutupi badan pondok. Beberapa orang terlelap di dalamnya, sebagian lagi mengunyah camilan. Adapun anak-anak kecil berlarian di depan pondok mengejar sinar matahari yang muncul dari balik ranting-ranting. Angin sepoi bertiup dari dalam pepohonan. Sejuk.
Nando tak ingin pulang. Ia bahkan lupa alasan yang membawanya ke tempat itu. Ia tak memikirkan apa pun, hanya mencoba menikmati suasana dari tempat favoritnya. Hari itu bukan pertama kalinya ia datang ke Kahui, sudah beberapa kali sejak ia menginjakkan kaki di ”Kota Cantik”, Palangkaraya.
”Saya kan dari kampung, jadi apa-apa ingin kembali ke hutan. Biasanya kembali ke hutan itu entah kenapa hati jadi tenang,” kata Nando di Palangkaraya, Rabu (31/5/2023).
Baca juga : Palangkaraya, Kota Cantik yang Sedang Berdandan
Kahui tidak menawarkan wisata modern seperti tempat wisata pada umumnya. Kahui hanya menawarkan ketenangan alam. Tak ada yang diubah dari bentuk Kahui sebelum menjadi seperti sekarang. Pohon-pohon berumur puluhan tahun, sungai alami, tanah berpasir, dan rasa nyaman sudah hadir sejak dulu. Pemilik hanya menambahkan bangunan nonpermanen untuk memoles Kahui.
Kahui atau Kalimantan Hutan Itah menjadi begitu dikenal sebagai tempat ekowisata sejak 2017 lalu. Meski sempat dihantam pandemi, tempat itu tetap hidup. Setidaknya ada enam orang yang bekerja di tempat itu. Tidak hanya melayani pengunjung, mereka juga ikut mengedukasi pengunjung. Salah satunya soal sampah.
Baca juga : Pesan Dua Tarian dari Kalimantan
Para ”penjaga” Kahui yang merupakan mahasiswa itu tak segan-segan menegur pengunjung yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Bahkan, pejabat pun pernah ditegur karena membawa sepeda motor hingga ke pinggir sungai, padahal tempat parkir sudah disiapkan.
Bagi mereka, Kahui bukan milik satu-dua orang, melainkan milik semua orang, terutama Kalimantan. Makanya, nama Kahui merupakan singkatan dari Kalimantan Hutan Itah dalam bahasa Dayak Ngaju, artinya ’Kalimantan Hutan Kita’.
Anak-anak yang kerja di tempat itu merupakan warga sekitar yang sebelum Kahui hadir hanya bekerja sebagai penggali pasir. Mereka yang tiap hari mendapatkan upah Rp 5.000 sekali angkut pasir kini bisa kuliah, punya gaji bulanan, bahkan mendapatkan bonus tahunan.
Kahui jadi berkah tak hanya untuk orang sekitar, tetapi juga lingkungan. Meski masih terdapat lubang-lubang bekas galian pasir, sampai saat ini sudah tidak ada lagi truk-truk pasir yang datang. Tempat itu jadi kawasan ekowisata.
Kahui dengan luas 10 hektar atau 10 kali ukuran lapangan sepak bola itu mulai dikelola sejak 2016, namun baru diresmikan pada 2017. Tempat itu langsung dipenuhi pengunjung yang ingin berkemah atau seperti Nando, lari dari kepenatan.
Kahui kini masuk dalam kategori kelompok tani hutan (KTH) karena wilayah tersebut masuk dalam kawasan hutan. Pengelola Kahui, Lilik Sugiarti, mengungkapkan, sejak 2017 sampai saat ini Kahui bertransformasi tak hanya sekadar sebagai tempat wisata. Kahui kini juga dipadati peneliti dan menjadi tempat bagi mahasiswa di Palangkaraya yang ingin belajar soal hutan kerangas, tumbuhan, dan keanekaragaman hayati lainnya.
”Kemarin sudah ada yang meneliti, ternyata ada 72 jenis tumbuhan endemik di sini, ikan juga sedang diteliti. Tak hanya itu, kami buat pelatihan untuk anak-anak yang jaga di sini, juga masyarakat sekitar, untuk peningkatan kapasitas,” kata Lilik.
Baca juga : Palangkaraya Melawan Pagebluk
Konsep ekowisata ternyata masih menjadi andalan di Palangkaraya. Setelah Kahui, di kawasan yang sama terdapat dua tempat ekowisata lain yang menawarkan konsep serupa meski tak sama. Ada Danum Bahandang dan Lewu Bue. Pengunjung jadi punya banyak pilihan tempat untuk dikunjungi dan berbagai pilihan ekowisata.
Danum Bahandang menyajikan wisata air hitam yang memukau. Orang-orang datang untuk menikmati makanan di pinggir sungai atau sekadar berenang.
Palangkaraya, ibu kota Kalteng, merupakan satu-satunya kota di Kalteng yang masih memiliki kawasan hutan luas. Pemerintah Kota Palangkaraya pada 2021 lalu baru saja menetapkan 1.600 hektar, hampir dua kali luas Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai kawasan hijau yang diberi nama Himba Kalui. Tujuannya bukan hanya sebagai ruang terbuka hijau dan alami, melainkan juga sebagai bentuk perlindungan lahan gambut serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
Himba Kalui itu terletak di belakang kompleks Kantor Wali Kota dan DPRD Kota Palangkaraya yang membentang hingga ke kawasan Sungai Kahayan. Kawasan hijau ini juga merupakan pusat penelitian ekologi dari sejumlah lembaga.
Tempat itu menjadi salah satu tempat berkumpul warga. Terdapat taman dan jogging track di dalamnya. Sisanya merupakan rawa gambut yang membentang sampai ke Sungai Kahayan, juga hutan sekunder dengan tanaman endemik gambut.
Kemarin sudah ada yang meneliti, ternyata ada 72 jenis tumbuhan endemik di sini, ikan juga sedang diteliti.
Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin, saat meresmikan tempat tersebut, mengatakan, secara bertahap pihaknya akan terus mengembangkan kawasan hutan kota. Ia menginginkan Palangkaraya menjadi salah satu ikon kota bertema lingkungan dan hutan.
”Kami juga ingin memadukan kemajuan teknologi dengan lingkungan yang masih terjaga. Seluruh pelayanan publik memanfaatkan teknologi dengan konsep go green. Kemajuan pembangunan dan pelayanan tidak identik dengan bangunan gedung tinggi, tanpa adanya ruang terbuka hijau,” kata Fairid.
Selain Himba Kalui, Palangkaraya juga memiliki kawasan Taman Nasional Sebangau yang merupakan habitat orangutan dan keanekaragaman hayati. Sebagian wilayahnya, seperti Dermaga Kereng Bangkirai, sampai saat ini masih menjadi wisata andalan Kota Cantik. Wisata sungai air hitam menjadi tujuan utama wisatawan untuk menyusuri sungai sambil menikmati keindahan alam.
Ekowisata tak sekadar menjadi tumpuan atau sumber ekonomi baru, tetapi juga tempat ”lari” dari kesibukan. Mereka memilih hutan sebagai tempat untuk menepi dari keramaian yang tak diinginkan.