Palangkaraya, Kota Cantik yang Sedang Berdandan
Jangan tanya di mana letak kecantikan Kota Palangkaraya karena sebutan Kota Cantik hampir tidak berhubungan dengan pesona kota. Namun, kecantikan tersimpan di sudut-sudut kota yang dikelilingi oleh sanggar para penari.
Tak terlalu sulit mencari sanggar seni dan budaya di Kota Palangkaraya. Sejak menginjakkan kaki di Bandar Udara Tjilik Riwut, keindahan musik karungut menyambut Anda. Tak jarang seorang penari ikut menyambut sebelum pendatang keluar dari pintu bandara. Mereka biasanya merupakan perwakilan dari begitu banyaknya sanggar di Palangkaraya, Kota Cantik.
Sanggar memang menggeliat di kota ini. Apa pun acaranya, baik resmi maupun tidak resmi, tarian dan musik tradisional menemani. Mulai dari penyambutan pejabat negara, peresmian tempat, pengukuhan jabatan, pernikahan, hingga syukuran keluarga pun menghadirkan tarian.
Setidaknya terdapat 45 komunitas seni dan budaya di Kota Palangkaraya, yang didominasi oleh sanggar tari dan musik. Jumlah itu merupakan lembaga ataupun komunitas yang terdaftar di Dewan Kesenian Palangka Raya (DKPR). Namun, puluhan sanggar yang belum terdaftar juga masih banyak.
Begitu keluar bandara, hanya butuh 15 menit untuk pergi ke sanggar terdekat. Ada Sanggar Betang Batarung milik Tris Sofia Wartina (37) yang bahkan bisa ditemukan alamatnya di telepon pintar. Sanggar itu tak jauh dari jalan, bisa dilihat dari pinggir jalan papan nama dengan tinggi 2 meter berdiri.
Siang itu, Minggu (20/11/2022), Tris sedang mengawasi beberapa anak berusia 12-14 tahun yang sedang berlatih menari. Meski sedang hamil besar, ia masih datang ke sanggar yang ia dirikan 14 tahun lalu. Ia dibantu pelatih muda lainnya yang berasal dari Lampung dengan teliti memeriksa lenggok para penari.
Sambil memegang pinggang, Tris berupaya tetap fokus ke anak-anak di hadapannya. Namun, sesekali ia duduk sekadar menghela napas. Namun, bangkit kembali dan memulai memberi contoh gerakan tangan ataupun kaki. Namun, yang paling menarik adalah melatih ekspresi. Ekspresi dalam tarian tradisional Dayak tak kalah penting.
Terkadang ekspresi yang ditunjukkan anak-anak itu berubah dengan cepat diikuti musik. Saat musik menyentuh nada-nada tinggi, ekspresi mereka berubah serius. Mata mereka tajam, mulutnya terkatup, tangan-tangan mengepal. Namun, mereka kembali bergerak, melingkar, merentangkan tangan seperti kepakan burung, bahkan berteriak seperti burung.
Ekspresi seketika berubah ketika musik mendayu menghantam ruangan sanggar yang cukup luas untuk dipenuhi 30 orang. Nada yang jatuh ke telinga seperti suara gemericik air sungai yang mengalir, ekspresi pun berubah. Mereka tersenyum bahagia.
Bisa dibayangkan saat proses latihan yang seserius itu ditampilkan dalam pertunjukan. Bagaimana emosi penonton dibawa mereka. ”Menari itu bukan sekedar gerak, melainkan juga ekspresi diri. Ekspresi juga butuh dipoles,” kata Tris.
Butuh proses panjang, lanjut Tris, dalam menari. Proses itu termasuk merias diri. Riasan atau make-up bisa jadi sangat menentukan ekspresi yang diinginkan dalam menari. Untuk itu, sanggar juga membantu peserta didiknya agar bisa merias diri. Mereka belajar memoles wajah juga tubuhnya.
”Kan, kita bangun tidur enggak langsung cantik, belajar make-up dulu, belajar menjaga kebersihan diri. Nah, jadi proses dalam menari itu banyak nilai positifnya,” kata Tris.
Baca Juga: Jalan Panjang Pangan Dayak
Saat mereka pentas, riasan bisa sangat terlihat. Tak hanya di wajah, di tangan dan kaki mereka juga terlihat riasan. Untuk mengganti tato sebagai pemanis, mereka gunakan cat warna yang ramah kulit untuk menggambar pola-pola khas Dayak. Biasanya pola tribal atau gambar pohon, daun, akar, tameng, dan banyak lagi.
Riasan dalam menari tak hanya sebagai riasan. Wisdariman (67), salah satu penggiat seni yang membuka sanggar pertama di Kota Palangkaraya, juga percaya riasan membuat seni menjadi pertunjukan yang bisa dinikmati. Namun, riasan bukan satu-satunya yang penting dalam menari. Memahami nilai yang terkandung dalam gerakan tarian juga penting.
Tak banyak anak muda mengenal Wisdariman. Ia tinggal di pinggir Kota Palangkaraya, sekitar 20 kilometer dari Bundaran Besar, pusat Kota Palangkaraya. Ia kini lebih banyak sibuk di kebun, menanam sayuran, menyemai bibit-bibit pohon endemik, dan menyadap karet. Beberapa waktu lalu, Kompas juga mendatangi rumahnya. Pendiri sanggar Manggatang Janang pada 1980 itu masih mengajar tarian ke anak-anak transmigran di kampungnya.
Menanam berbagai macam tanaman, mulai dari tanaman keras hingga tanaman pangan lokal, sudah menjadi kebiasaan Wisdariman. Baginya, makna dari berbagai riasan di tubuh penari itu menggambarkan suasana alam kampung Dayak yang berlimpah tanaman. ”Tak ada gerakan dalam tarian Dayak yang tidak berhubungan dengan alam,” ujarnya.
Menghidupi kota
Sanggar-sanggar yang hidup ikut ”menghidupi” Kota Cantik, julukan Kota Palangkaraya. Cantik merupakan singkatan dari terenCana, Aman, Nyaman, Tertib, Indah, dan Keterbukaan yang jadi slogan kota tersebut.
Benn Aurel, pemilik Sanggar Marajaki, melihat sanggar bukan sekadar rumah para penari, melainkan juga rumah kreatif. Sanggar di satu sisi juga bisnis karena masuk dalam kategori industri kreatif. ”Industri kreatif di kota ini salah satunya seni pertunjukan, seperti tari dan musik. SDM dan prestasi kita enggak kalah sama yang di luar,” kata Benn.
Benn menilai, industri kreatif di bidang seni merupakan magnet utama pengembangan pariwisata Kota Palangkaraya yang betul-betul mengandalkan alam. Sejalan dengan tarian karena setiap tarian tradisional Dayak berhubungan dengan alam. Namun, bentuk perhatian pemerintah kepada pelaku seni dan budaya belum seimbang karena belum dirasakan semua pelaku seni.
Sanggar dengan caranya sendiri, tambah Benn, bisa mendongkrak perekonomian daerah. ”Ada multiplier effect sehingga berdampak satu sama lain,” kata Benn.
Benn juga mengingatkan para pelaku budaya untuk tidak melulu fokus pada eksistensi dan upaya bisnis semata, seperti acara pernikahan dan seremoni tertentu.
Baca Juga: Perkuat Identitas, Jalan Panjang Orang Dayak di Kalteng
Kesempatan untuk mengembangkan sanggar lebih dari sekadar pembuka seremoni sangatlah besar. Pertumbuhan ekonomi Palangkaraya pada 2021 sebesar 4,32 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Kalteng sebesar 2,48 persen. Total pendapatan Kota Palangkaraya pada 2021 menembus Rp 1,07 triliun dengan dana perimbangan menjadi penopang pembangunan daerah ini, yakni senilai Rp 932,70 miliar atau 86 persen dari total pendapatan.
”Membuat Palangkaraya yang lebih cantik perlu wahana kreatif baru. Taman Budaya yang sudah ada bisa menjadi surga produk kearifan lokal,” kata Benn.
Dengan memanfaatkan potensi yang kini telah ada, sanggar-sanggar tari berpotensi membuat jiwa Palangkaraya bisa lebih ”cantik” lagi.