Palangkaraya Menari Melawan Pagebluk
Pelaku seni di Kota Palangkaraya sempat kehilangan ruang untuk bergerak sejak pandemi. Perlahan mereka bangkit, bahkan menari bersama untuk melawan pagebluk.
Bagi penari di Kota Palangkaraya, pandemi merusak dunia mereka. Apa daya penari tanpa ruang gerak, tentunya mati. Namun, tak sedikit yang bertahan dengan siasat merayu pagebluk agar tetap bisa beraktivitas. Sanggar menjadi yang paling tahan banting diterjang pagebluk.
Benn Aurel, pendiri Sanggar Marajaki, di Kota Palangkaraya, tak bisa melupakan awal-awal pandemi Covid-19 menerjang Kalteng. Saat itu, di Kalimantan Tengah, virus mematikan tersebut baru melanda pada Maret 2020, agak terlambat dibandingkan dengan Pulau Jawa. Saat itu, belum semua memahami virus ini, sanggar-sanggar di Palangkaraya masih tetap beraktivitas.
Benn tertegun sesaat mencoba mengingat lagi semua memorinya tentang pandemi. Wajahnya berubah seketika saat harus menceritakan banyak anggota hingga mentor organisasi yang ia bentuk itu terpapar virus. ”Orang yang biasa membantu kami dan juga ayah dari anak angkatku meninggal dunia,” ujarnya lirih pada Selasa (22/11/2022) malam.
Depresi, begitu Benn bisa mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Pasalnya, Benn sudah kehilangan anaknya karena kanker sebelum pandemi. Begitu pandemi Covid-19 menyerang, Benn menderita sekali lagi.
Tak berhenti di situ. Ia kemudian bercerita kembali saat pemerintah mulai menerapkan pembatasan aktivitas. Sanggar tak hanya sepi, tetapi mati kutu. ”Semuanya kacau.” Begitu Benn mencoba menggambarkan keadaan setahun lalu.
Tak ada lagi yang memesan jasa penari. Padahal, sebelum pandemi, tak ada kegiatan di Kota Palangkaraya yang tak diawali tarian dan musik karungut, khas Dayak. Mulai dari perkawinan, syukuran, seminar, hingga pengukuhan jabatan semuanya diawali dengan tarian.
Benn tak mau diam. Ia mencari ide, sebagai penari ia mau terus bergerak. Menari sudah jadi bagian dari hidupnya. Ia tak mau berhenti hanya karena kerikil tajam yang menusuk kaki-kaki penggerak sanggar. Benn dan anggotanya melawan. Malam itu, ingatan perih itu ia lawan dengan senyuman dan mulai bercerita siasat.
Tak habis cara, ia harus menggerakkan kembali roda sanggar, baik seni maupun bisnis. Ia mendapatkan bantuan dari beberapa temannya yang memahami videografi dan ilmu sinematik untuk mewujudkan idenya.
Ia menyebut gerakan itu ”ngamen daring” dengan memanfaatkan kanal Youtube. Dengan demikian, ia dan anak-anak sanggar kembali beraktivitas via daring. Penggemar tarian dan penikmat seni Dayak masih bisa tertahan dengan adanya acara langsung di kanal digital itu.
”Ini kami menari sambal mencari donasi,” ujar Benn. Wajar karena saat itu Dewan Kesenian Kota Palangkaraya mendata setidaknya tiga sanggar dari total 45 komunitas sanggar seni dan budaya di Kota Cantik itu harus tutup karena pandemi.
Ngamen daring cukup membantu Sanggar Marajaki untuk bertahan. Angin segar baru mulai muncul ketika pembatasan berkurang, vaksin mulai digalakkan, sanggarnya pun mulai ramai kembali. Anak-anak yang rindu menari kembali bersolek dan bergerak.
Hal serupa juga dirasakan Tris Sofia Wartina (37), pemilik Sanggar Betang Batarung. Di sudut Kota Cantik, Tris sempat bingung karena roda yang menggerakkan sanggarnya berhenti karena pandemi. Namun, satu yang membuatnya gelisah adalah ratusan anak-anak muridnya yang punya semangat untuk tetap beraktivitas.
Tris pun bersiasat. Meski sanggarnya sepi, ia menggunakan aplikasi Zoom untuk tetap bisa menyapa anak-anak didiknya. Tris yang sudah 14 tahun membangun sanggarnya itu kemudian membuat menari menjadi tersebar ke bilik-bilik kamar.
Baca Juga: Asa Masyarakat Adat Kalteng Memenuhi Ketahanan Pangan
Sanggar tak hanya di rumahnya, tetapi ia berupaya untuk memenuhi kerinduan anak didiknya dengan mencoba memberi semangat bahwa ruang-ruang kamar dan sudut-sudut rumah mereka juga bisa digunakan untuk menari. ”Enggak maksimal memang, tetapi kami tetap berlatih,” ujarnya.
Ruang latihan itu pindah ke kamar-kamar anak didik Tris. Namun, paling tidak mereka tidak dihantui kebosanan, tubuh bergerak, dan tubuh sehat.
Optimistis
Pandemi memang berdampak masif ke seluruh sektor yang menggerakkan roda ekonomi di Kota Palangkaraya. Namun, kini perlahan semuanya mulai membaik. Data Badan Pusat Statistik Kota Palangkaraya, pertumbuhan ekonomi Palangkaraya pada 2021 sebesar 4,32 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Kalteng sebesar 2,48 persen. Tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Palangkaraya sempat terkontraksi hingga 2,67 persen pandemi yang membuat lesu ekonomi.
Optimisme pelaku seni dan budaya tumbuh kembali dengan segala siasat. Optimisme yang sama membuat Try Herianto (23), pemuda Dayak di Kota Palangkaraya, justru membangun sanggar belia di masa pandemi, Sanggar Hagatang Tarung. Sanggar ini belum setahun umurnya, tetapi mereka optimistis bisa bersaing dengan sanggar-sanggar yang sudah lebih dulu besar.
Kekuatan mereka bukan hanya pada berapa banyak pesanan untuk menari, tetapi juga visualisasi. Sebagai pemuda, pemikiran mereka soal bisnis menari tentu berbeda. Dengan sangat kreatif mereka melihat peluang digitalisasi. Mereka pun memanfaatkan ruang yang tertutup karena pandemi itu dibuka secara daring. Mereka membuat video-video yang bisa langsung dinikmati. Salah satu video mereka dinikmati oleh 11.600 orang.
Ada yang berbeda dengan banyak sanggar, Try sebagai penata tari menyukai tari kreasi, tetapi ia begitu kuat pada tarian kontemporer. ”Merdeka, bebas sekali kalau kontemporer. Saya rasa ini belum ada atau jarang ada di sanggar lain,” ujar Try.
Video-video itu tentunya tak sekadar konten. Mereka punya pesan. Try dan 25 anggota sanggarnya punya harapan besar. Mereka pun sempat berkeliling ke beberapa kabupaten atas undangan, baik lembaga maupun keluarga-keluarga di pelosok yang merindukan tarian seni tradisional.
Pagebluk mungkin memukul para pelaku seni di Kota Cantik. Namun, mereka melawan pandemi dengan menari bersama. Memahami masalah itu, lalu menjadikannya sebagai kekuatan baru agar sanggar tak sekadar eksis, tetapi tetap memberi makna.
Baca Juga: Pesan Dua Tarian dari Kalimantan