Nelayan Khawatir Dampak Lingkungan Tambang Pasir Laut
Dampak lingkungan akibat tambang pasir laut masih menghantui nelayan di Kepulauan Riau hingga 20 tahun setelah dihentikan. Dulu, tambang pasir laut juga tidak memberi manfaat ekonomi yang signifikan kepada daerah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Kepulauan Riau mengkhawatirkan dampak lingkungan atas kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor pasir laut. Saat dulu tambang pasir laut masih marak, warga merasakan kerugian akibat kerusakan lingkungan lebih besar daripada keuntungan yang didapat.
Pasir laut di Kepri, yang dulu masih menjadi bagian dari Provinsi Riau, dikeruk untuk mereklamasi Singapura sejak 1978. Tambang pasir laut paling banyak berada di perairan sekitar Kabupaten Karimun dan Kota Batam.
Lemahnya pengawasan membuat ekspor pasir ilegal lebih banyak daripada yang legal. Akhirnya, ekspor pasir laut mulai disetop setelah Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Dampak kerusakan lingkungan akibat tambang pasir laut salah satunya dirasakan oleh warga di Pulau Bertam, Kota Batam. Salah satu warga pulau itu, Mochtar (89), Selasa (30/5/2023), mengatakan, tambang pasir laut mengganggu aktivitas nelayan karena membuat dasar perairan hancur.
Selain itu, lumpur sisa produksi tambang atau tailing bisa terbawa arus mencemari perairan yang jaraknya puluhan mil dari lokasi tambang. Tailing itu menutupi terumbu karang dan membuat ikan serta hewan laut lain menjauh.
”Dulu, waktu di sini masih banyak tambang, kami susah sekali cari ikan. Jangankan untuk dijual, untuk makan sendiri pun sering kurang,” kata Mochtar.
Pada 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dengan PP No 26/2023, pemerintah kembali mengizinkan ekspor pasir laut yang selama 20 tahun dilarang.
Tokoh nelayan di Kabupaten Karimun, Amirullah (59), menyesalkan keputusan pemerintah untuk kembali membuka keran ekspor pasir laut itu. Ia menilai, kerugian akibat tambang jauh lebih besar daripada keuntungan yang bakal didapat.
Ia mengatakan, pada awal tahun 2000-an waktu tambang pasir laut masih marak di Karimun, nelayan hanya mendapat kompensasi berupa sembako dan uang sebesar Rp 300.000 per keluarga. Bantuan itu hanya diberikan satu kali.
”Hidup kami tidak hanya sehari. Ke mana nelayan harus mencari ikan kalau laut sekitarnya rusak. Itu dampaknya masih terasa sampai sekarang, 20 tahun sejak tambang dihentikan,” ujar Amirullah.
Itu dampaknya masih terasa sampai sekarang, 20 tahun sejak tambang dihentikan.
Berdasarkan arsip berita Kompas, volume ekspor pasir laut dari Karimun pada tahun 2002 mencapai 36 juta meter kubik per tahun. Namun, pendapatan daerah dari kegiatan tambang itu hanya Rp 50 miliar pada tahun yang sama.
Saat itu, pemerintah menduga ada kebocoran ekspor pasir laut secara ilegal 300 juta meter kubik per tahun. Hal itu membuat Indonesia rugi Rp 2,7 triliun per tahun.
Padahal, ekspor pasir laut ke Singapura telah berlangsung sejak 1978. Berkat pasir dari Indonesia, luas Singapura bertambah 25 persen, dari semula 580 kilometer (km) persegi pada 1960 jadi 660 km persegi pada 1999.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim menduga, PP No 26/2023 dibuat pemerintah untuk mengejar target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan. Ia menilai, izin pemanfaatan sumber daya alam yang kontroversial itu digunakan pemerintah sebagai jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat mungkin.
”Pembukaan keran ekspor pasir laut memang akan memberikan jalan bagi pemerintah untuk melampaui target penerimaan PNBP yang telah ditetapkan. Namun, hal itu tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan kerugian yang akan dialami masyarakat pesisir,” ucap Halim.
Sebelumnya, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, mengemukakan, PP No 26/2023 tidak menjadikan ekspor pasir laut sebagai tujuan utama. Pemanfaatan sedimentasi di laut lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, seperti reklamasi, pembangunan infrastruktur, dan prasarana.
Ekspor pasir laut untuk kebutuhan luar negeri akan ditentukan oleh tim kajian yang terdiri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perhubungan. ”Jadi, (ekspor) tidak bisa sembarangan,” ucapnya.
Menurut dia, KKP sedang menyiapkan aturan turunan dari PP No 26/2023 untuk mengatur detail dan teknis terkait pemanfaatan sedimentasi. Selain itu, penentuan sebaran lokasi sedimentasi yang dapat dimanfaatkan juga diatur (Kompas, 30/5/2023).