Ahmad Tohari Kembali Ingatkan Pentingnya Kesetaraan
Semangat kesetaraan sebagai salah satu ciri budaya banyumasan diperlukan untuk membangun negara.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, mengingatkan pentingnya sikap sosial kesetaraan sebagai salah satu ciri khas masyarakat banyumasan yang penting untuk pembangunan nasional. Dalam konteks kekuasaan, kesetaraan itu dapat diwujudkan dengan saling memberi masukan kepada mereka yang berkuasa. Apalagi menjelang tahun politik, generasi muda juga diajak memilih calon pemimpin secara rasional bukan sekadar alasan primordial.
”Apa pentingnya kita melestarikan bahasa dan kebudayaan Banyumas? Salah satu ciri kebudayaan Banyumas adalah semangat kesetaraan, egalitarianisme. Untuk konteks zaman sekarang, semangat kesetaraan amat sangat penting karena ini adalah modal budaya dan sosial untuk mendukung negara yang maaf terlanjur diproklamasikaa sebagai sebuah negara republik,” kata Ahmad Tohari dalam pidato kebudayaan yang disampaikan dalam penutupan rangkaian acara Dies Natalis Institut Teknologi Telkom Purwokerto ke-21 di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (28/5/2023) malam.
Tohari, yang juga penulis novel ”Ronggeng Dukuh Paruk” itu, menyampaikan, negara republik menuntut bahwa sikap sosial kesetaraan harus hadir. Republik berasal dari kata res dan publika yang bermakna kekuasaan adalah amanat dari publik, dari rakyat. Oleh karena itu, dibutuhkan pula semangat demokratis. Hal-hal tersebut kiranya diperlukan untuk mengakhiri gaya kekuasaan feodalisme di mana kekuasaan berakar dari para tuan-tuan tanah.
Menurut Tohari, menjelang tahun politik di mana pemilihan umum akan digelar pada 2024, kesetaraan bisa tetap menjadi semangat masyarakat baik dalam mengkritisi, mengawal, dan memilih para calon legislator dan pemimpin nasional. Mereka yang duduk di dewan perwakilan rakyat dan yang esok hendak mencalonkan diri lagi perlu dicermati apakah benar-benar akrab dengan masalah sosial yang ada di sekitar meliputi kemiskinan yang akut, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok.
”Tentu kita tidak setuju ketika misalnya anggota legislatif itu tampil menonjol di dalam hal perilaku maupun kekayaannya karena dia merasa dirinya sebagai pribadi yang di atas masyarakat, bukan sebagai wakil masyarakat. Kita harus ingatkan, jangan ragu-ragu mengingatkan kepada para wakil kita di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat bahwa mereka mengemban amanat rakyat,” ujarnya.
Seperti diketahui, semangat kesetaraan budaya Banyumas juga tecermin dari salah satu ciri sikap orang Banyumas yang cablaka atau memiliki sikap terus-terang, jujur atau tanpa tedeng aling-aling dalam berbicara. ”Mari kita bangun komunikasi dengan mereka supaya kita bisa mengawal mereka. Kita membutuhkan legislator-legislator yang tahu tujuan bahwa negara ini dibikin untuk kemakmuran bersama, bukan untuk kemakmuran segolongan orang,” tuturnya.
Syarat-syarat atau kondisi yang harus dimiliki sopir bus adalah keterampilannya mengendalikan bus, bukan apa agama si sopir itu.
Dalam memilih calon presiden atau pemimpin secara nasional, Tohari juga mengharapkan supaya warga Banyumas bisa memilih secara rasional bukan primordial. ”Kita juga wajib memilih pemimpin nasional. Soal ini, saya harap warga banyumas memilih secara rasional, dengan pertimbangan rasional bukan dengan pertimbangan primordial. Misalnya saya orang Islam harus memilih presiden yang Islam. Itu namanya primordial,” katanya.
Bagi Tohari, memilih pemimpin nasional ibaratnya seperti memilih sopir bus. ”Syarat-syarat atau kondisi yang harus dimiliki sopir bus adalah keterampilannya mengendalikan bus, bukan apa agama si sopir itu,” ujarnya.
Rektor Institut Teknologi Telkom Purwokerto Arfianto Fahmi menyampaikan, kehadiran Ahmad Tohari sebagai budayawan Banyumas diharapkan menjadi pengingat bagi generasi muda terutama mahasiswa untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan lokal. ”Harapannya kita semua tidak melupakan budaya lokal, kami juga ingin mengajak mahasiswa di mana kini banyak kultur dari barat yang bisa membuat lupa budaya lokal,” kata Arfianto.
Selain pidato kebudayaan, rangkaian penutupan dies natalis dimeriahkan oleh hiburan musik. Mahasiswa dan dosen juga dibebaskan mengenakan kostum yang unik juga kreatif. Sebagian ada yang menggunakan kostum profesi, kostum anime, badut, pemain bola, tokoh film, seragam SMA, juga ada yang mengenakan dan berias kostum adat Papua.