Buntut Cuitan Dugaan KDRT Dosen UNS, Pencuit Didesak Meminta Maaf
Viral dugaan KDRT menyeret nama dosen UNS lewat cuitan warganet. Terduga pelaku membantahnya. Pencuit didesak meminta maaf.

-
Ilustrasi
SURAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga yang menyeret seorang dosen Universitas Sebelas Maret viral di media sosial Twitter. Terduga pelaku membantah perbuatan yang dilakukannya. Kejadian itu juga dinilai sulit dibuktikan karena kekurangan saksi penguat. Si pencuit didesak untuk membuat permintaan maaf ke pihak perguruan tinggi.
Sosok dosen terduga pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berinisial BW. Cuitan mengenai tindakan KDRT oleh BW diunggah pemilik akun Twitter bernama Dini Dyana, atau @wonderdyn, Rabu (24/5/2023). Banyak pihak merespons cuitan itu, termasuk Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Namun, si pencuit malah menghapus utas yang diunggahnya, Kamis (25/5/2023).
Lantas, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS) Mardiyana memanggil BW dan sejumlah pihak terkait untuk mengklarifikasi kebenaran isu tersebut. Tindak KDRT diketahui terjadi pada 2017. Ketika itu, BW masih bekerja sebagai pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
”Beliau (BW) baru 2021 mutasi ke UNS. Jadi, permasalahannya itu waktu beliau masih di Kemendikbud. Informasi soal KDRT tidak pernah diungkap sebelumnya,” kata Mardiyana saat dihubungi, Jumat (26/5/2023).
Baca juga: Viral, Suami Istri di Depok Jadi Tersangka KDRT

Ribuan mahasiswa baru Universitas Sebelas Maret (UNS) mengikuti kuliah umum yang disampaikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu di halaman Rektorat UNS di Solo, Jawa Tengah, Selasa (13/8/2019).
Dalam laporan klarifikasi disebutkan juga bahwa R, istri BW, mendatangi suaminya ke FKIP UNS di Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada 6 Maret 2023. Kedua belah pihak sempat cekcok hingga terjadi kontak fisik yang berakibat pada luka lecet dan memar pada tangan R. Namun, BW membantah adanya kekerasan fisik. Pihak kampus juga menyebut tidak ada orang-orang yang melihat langsung tindak kekerasan tersebut.
Mardiyana menilai, sejumlah foto memar dan luka yang termuat dalam utas tersebut cukup menyesatkan. Itu karena foto-foto tersebut diambil pada 2017 silam. Dengan dimasukkan pada utas, orang-orang yang membaca bisa tergiring jika peristiwa kekerasan terjadi di lingkungan FKIP UNS. Untuk itu, pihaknya merasa cukup dirugikan dengan adanya foto-foto tersebut.
”Kami meminta kepada pemilik akun DiniDyana (@wonderdyn) untuk meminta maaf secara tertulis dan terbuka kepada Rektor UNS karena telah menyebabkan terjadinya mispersepsi yang sangat merugikan nama baik FKIP UNS,” kata Mardiyana.
Meski demikian, sebut Mardiyana, proses pemeriksaan bagi BW belum selesai. Jumat ini, BW juga dimintai keterangan oleh tim pembinaan pegawai dari UNS. Hasil pemeriksaan itu nantinya akan menentukan sanksi yang mungkin dikenakan. Namun, sehubungan dengan tindak KDRT, pihaknya mengikuti sepenuhnya proses hukum yang berlaku.

Sidang Senat Terbuka Dies Natalis Ke-43 Universitas Sebelas Maret (UNS) di Surakarta, Jawa Tengah, Senin (11/3/2019).
Sebelumnya, Rektor UNS Jamal Wiwoho mengatakan, pernah ada izin perihal gugatan cerai yang dilayangkan BW. Ia tak mengetahui apa penyebabnya. Dengan adanya permasalahan keluarga, katanya, pihak perguruan tinggi juga bakal melakukan pembinaan internal. Terdapat pendampingan agar persoalan keluarga itu bisa diselesaikan.
”Secara umum, kalau ada dosen yang bermasalah, misalnya mengajukan gugatan perceraian, kami akan mengupayakan untuk melakukan perdamaian atau mediasi. Kami memediatori biasanya diundang satu dulu, kemudian istrinya. Kalau memungkinkan juga, dipertemukan agar rujuk kembali,” kata Jamal.
Kalau memungkinkan juga, dipertemukan agar rujuk kembali.
Peristiwa percekcokan antara BW dan R sebenarnya juga sempat dilaporkan ke Kepolisian Resor (Polres) Kota Surakarta pada 7 Maret 2023. Laporan polisi itu bernomor STBP/154/III/2023 Reskrim. Namun, surat laporan itu dicabut R pada 6 Mei 2023.
Baca juga: KDRT Masih Menjadi Ancaman bagi Perempuan

Rektorat Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (25/6/2019).
Saat dihubungi, Kepala Polres Kota Surakarta Komisaris Besar Iwan Saktiadi membenarkan adanya laporan polisi tersebut. Pihaknya juga tak memungkiri pencabutan laporan yang dilakukan R. Persoalannya, terdapat pada status perkara yang digolongkan menjadi delik aduan. Dengan adanya pencabutan laporan, permasalahan dianggap selesai.
”Delik aduan itu kalau dicabut oleh si pelapor, kan, selesai. Kami, kan, secara prosedural itu sudah dicabut, ya sudah,” kata Iwan.
Ketergantungan
Manajer Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Fitri Haryani menjelaskan, ada banyak pertimbangan yang memengaruhi seorang korban mencabut laporan KDRT yang dialami. Hal itu biasanya berkaitan dengan persoalan psikologis. Seolah terdapat tekanan yang membuat korban merasa goyah untuk melanjutkan suatu proses hukum.
Kegoyahan korban, lanjut Fitri, bisa juga terkait dengan faktor ketergantungan korban pada pelaku. Korban dibuat merasa tak berdaya apabila kelak berpisah dengan pelaku. Dalam bentuk ketergantungan ekonomi, misalnya, korban bisa saja merasa nyaman atas tindak kekerasan yang menimpanya. Tindak kekerasan ditoleransi karena merasa ada kebutuhan yang tak bisa dipenuhinya.

”Yang harus dilakukan adalah menguatkan psikologis korban. Kesadaran korban harus dibangun untuk mengambil keputusan. Apa saja pilihan-pilihannya, itu nanti yang menentukan korban. Kita harus memberikan dukungan bahwa permasalahan ini harus diselesaikan,” kata Fitri.
Tak dimungkiri, menurut Fitri, mediasi juga menjadi salah satu cara yang bisa ditempuh untuk merampungkan permasalahan itu. Namun, tindak kekerasan boleh jadi terulang lagi di masa mendatang. Apabila korban selalu memilih jalur mediasi, itu sekaligus menjadi bentuk penyadaran bagi korban untuk memikirkan kembali apakah mediasi bisa ditoleransi di kemudian hari.
Kompas juga telah mencoba menghubungi akun DiniDyana (@wonderdyn), tetapi hingga berita ini diturunkan belum direspons.