Polisi didorong untuk memproses laporan pihak perempuan secara tuntas sebagai korban kekerasan yang pertama kali melaporkan kasus tersebut.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
HUMAS POLDA METRO JAYA
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto mendatangi Polres Metro Depok di Depok, Jawa Barat, Kamis (25/5/2023). Kunjungan itu di antaranya dilakukan untuk meninjau penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga pasangan suami istri yang belakangan ini viral.
JAKARTA, KOMPAS — Sepasang suami istri di Cinere, Depok, Jawa Barat, ditetapkan polisi sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Kasus itu dinilai tidak ditangani secara adil. Polisi didorong untuk memproses laporan awal pihak perempuan secara tuntas sebagai korban kekerasan.
Kepolisian Resor (Polres) Metro Depok baru-baru ini menetapkan sepasang suami istri, berinisial BB dan PB, sebagai tersangka setelah keduanya saling lapor karena masalah kekerasan dalam rumah tangga. Kamis (25/5/2023), Polda Metro Jaya mengambil alih kasus yang belakangan viral di media sosial dan mendapatkan banyak perhatian publik.
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto turun langsung mengecek penanganan kasus itu di Polres Metro Depok. Ia meminta penyidik menangani kasus itu secara berimbang dan sementara menangguhkan penahanan terhadap tersangka. Ia juga mengimbau penyidik agar mengutamakan upaya restorative justice atau keadilan restoratif.
”Semangatnya adalah keutuhan rumah tangga dan keluarga. Kami mengimbau, nanti setelah keduanya (istri dan suami) sudah dalam kondisi yang baik-baik, akan kita pertemukan kembali untuk dilakukan restorative justice,” kata Karyoto.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Depok Ajun Komisaris Besar Yogen Heroes Baruno, kepada media, sebelumnya, menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada 26 Februari 2023. Saat itu, pasangan suami istri tersebut terlibat cekcok yang melibatkan kekerasan fisik.
”Sang suami tersinggung dengan ucapan sang istri dan menumpahkan bubuk cabai ke mata sang istri dan terjadi pergumulan. Sang istri terus terdorong, kemudian sang istri meremas dengan keras alat vital suami. Untuk melepaskan remasan itu, sang suami memukul sang istri,” tutur Yogen, Rabu (24/5/2023).
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto mendatangi Polres Metro Depok di Depok, Jawa Barat, Kamis (25/5/2023).
Seusai kejadian itu, sang istri melaporkan masalah ini ke polisi. Kemudian, lanjut Yogen, suami melaporkan balik istrinya. Keduanya sama-sama mengalami luka fisik. Istri mendapati trauma fisik, seperti di mata. Terakhir, sang suami harus dioperasi alat vitalnya karena cekcok sebelumnya.
Setelah keduanya saling lapor, suami mengupayakan keadilan restoratif agar kasus itu tidak berlanjut ke pemidanaan. Namun, pihak istri tidak kooperatif karena mangkir ketika dipanggil polisi. Sementara itu, suami belum bisa ditahan karena masih menjalani perawatan.
”Sang istri sendiri dari awal sudah tidak kooperatif, RJ (restorative justice) tidak hadir, maka kami lakukan penahanan pada kemarin malam, hingga akhirnya viral bahwa istrinya korban, padahal ia tersangka juga. Kami menggunakan ahli pidana dan menyatakan bahwa tindakan keduanya masuk unsur pidana,” lanjut Yogen.
Saat berita ini ditulis, istri dengan inisial PB sudah tidak lagi ditahan karena penangguhan yang diberikan kepolisian. Meski demikian, statusnya masih tersangka.
Penanganan kasus ini dikeluhkan keluarga PB dan sempat diungkapkan di media sosial. Adik PB, Sahara Hanum, dalam akun Twitter dan Instagram-nya menyampaikan kekecewaan karena polisi tidak berpihak kepada kakaknya yang lebih awal melaporkan kasus KDRT tersebut.
Sahara menulis, PB membuat laporan dua minggu sebelum sang suami melapor balik ke polisi. Sayangnya, kata Sahara, polisi tidak bergerak cepat menangani kasus tersebut. Polisi justru menerima permintaan mendamaikan kasus dari sang suami seusai melaporkan istrinya.
Polisi lalu meminta PB menyetujui permintaan damai. Pihak PB dan keluarga sempat menolak dengan alasan PB harus mengurus tiga anaknya yang masih bersekolah. Jika PB menolak, kata Sahara, kakaknya itu diminta menandatangani surat penahanan selama 40 hari. PB akhirnya ditahan selama beberapa hari sebelum dibebaskan Rabu (24/5/2023).
Ada pelaporan terlebih dulu dari istri, jadi itu yang ditangani dulu harusnya. Polisi harus mendalami dulu lewat visum, ada perlukaan itu karena apa. Lalu, apakah ada ancaman, intimidasi, atau niatan dari terlapor. Hasil penyelidikan itu akan menjawab apakah diperlukan restorative justice, tentunya sesuai keinginan korban. (Siti Mazuma)
Sahara mengatakan, kakaknya sudah sering menerima KDRT dari suaminya dalam 14 tahun pernikahan. Kekerasan itu juga sempat dilaporkan ke polisi, tetapi PB mencabutnya dan memutuskan berdamai. Sayangnya kekerasan itu masih terus berulang. Setelah kejadian ini, Sahara berharap PB mendapat dukungan untuk bangkit kembali.
Sementara itu, pihak BB, sang suami, belum bisa dikonfirmasi.
Menanggapi kasus ini, aktivis perempuan Siti Mazuma menilai, polisi melakukan kesalahan karena belum selesai menangani laporan PB sebagai korban KDRT yang datang lebih awal.
”Ada pelaporan terlebih dulu dari istri, jadi itu yang ditangani dulu harusnya. Polisi harus mendalami dulu lewat visum, ada perlukaan itu karena apa. Lalu, apakah ada ancaman, intimidasi, atau niatan dari terlapor. Hasil penyelidikan itu akan menjawab apakah diperlukan restorative justice, tentunya sesuai keinginan korban,” katanya saat dihubungi hari ini.
Di sisi lain, ia melihat bahwa polisi justru lebih tanggap dengan laporan kedua hingga cepat menerima permintaan damai pelapornya sebagai bentuk keadilan restoratif. Situasi ini menunjukkan penyidik yang menangani kasus ini belum mampu berpihak kepada korban KDRT.
”Kejadian seperti ini sudah sering. Korban KDRT melapor, tetapi lama diproses karena banyak alasan, kurang bukti, dan sebagainya. Kalau laki-laki yang melaporkan baru cepat. Padahal, perlindungan hak korban KDRT sudah jelas dalam UU PKDRT (Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga),” ujarnya.