Jalan Rusak Sebabkan Ekonomi Biaya Tinggi dan Daya Saing Pertanian Sumut Merosot
Pengaduan masyarakat tentang jalan yang rusak di Sumut terus bermunculan. Di Jalan Lintas Sumatera yang rusak di Batu Jomba, Tapanuli Selatan, hampir setiap hari ada kendaraan kecelakaan. Kendaraan bisa tertahan 9 jam.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pengaduan masyarakat tentang kondisi jalan yang rusak berat di Sumatera Utara terus bermunculan setelah kunjungan Presiden Joko Widodo. Di Jalan Lintas Sumatera di kawasan Batu Jomba, Kabupaten Tapanuli Selatan, hampir setiap hari kendaraan mengalami kecelakaan karena jalan tanjakan yang rusak. Bus antarkota antarprovinsi menunggu hingga sembilan jam agar bisa melewati jalan tanjakan itu secara bergantian.
Di Kabupaten Toba, sudah belasan tahun jalan provinsi tidak diperbaiki sehingga harga angkut komoditas pertanian, seperti kopi, andaliman, jeruk, dan sawit, menjadi sangat mahal. Ekonom mengingatkan, kerusakan jalan selama ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya menyebabkan inflasi.
”Hampir setiap hari bus kami harus mengantre untuk melewati jalan rusak di Batu Jomba. Dalam sehari, bisa beberapa kendaraan terguling atau tergelincir saat berusaha melewati jalan tanjakan yang rusak itu,” kata Alwi Matondang dari bagian Humas PT Antar Lintas Sumatera, Selasa (23/5/2023).
Alwi mengatakan, kerusakan jalan di Batu Jomba yang merupakan jalan nasional itu sudah terjadi bertahun-tahun dan hanya diperbaiki secara tambal sulam. Hampir tidak ada perbaikan menyeluruh. Laju kerusakan di jalur itu sangat cepat karena berada di daerah patahan atau sesar. Jalur Batu Jomba pemindahan dari Aek Latong yang sebelumnya juga sering rusak karena di daerah patahan.
Alwi mengatakan, kerugian terbesar dari kerusakan jalur itu adalah bertambahnya waktu tempuh dan biaya bahan bakar minyak. Jika sudah macet, bus tertahan di jalur itu hingga sembilan jam. Sebagian bus Medan-Jakarta melewati Jalan Lintas Barat Sumatera itu agar bisa singgah di Kota Padangsidimpuan, Bukittinggi, dan Padang yang berada di lintas barat.
Sementara itu, warga Kabupaten Toba juga mengadukan jalan rusak dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumut, di Medan, Selasa (23/5/2023). Mereka mengadukan jalan provinsi yang rusak di tiga kecamatan, yakni Habinsaran, Borbor, dan Nassau. ”Sudah belasan tahun jalan di kampung kami rusak berat tanpa ada perbaikan,” kata Ketua Forum Perjuangan Masyarakat Habinsaran, Borbor, Nassau.
Tiga kecamatan itu merupakan sentra pertanian dengan hasil utama kopi, andaliman, hortikultura, jeruk, dan sebagian wilayah menghasilkan sawit. Ada empat ruas jalan di tiga kecamatan itu dengan total panjang 137,5 kilometer dengan 56,7 kilometer di antaranya rusak berat. Jalan itu menghubungkan tiga kecamatan ke pusat kabupaten, ke arah perbatasan Tapanuli Utara, dan ke arah Labuhanbatu Utara. ”Ongkos mengirim tandan buah segar sawit ke Kota Tebing Tinggi Rp 300 per kilogram. Padahal, petani sawit lain kabupaten tetangga hanya sekitar Rp 50,” katanya.
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan, perbaikan jalan provinsi di Sumut dilakukan dengan proyek tahun jamak skema kerja sama operasi (KSO) senilai Rp 2,7 triliun. ”Hingga saat ini, progres pembangunan sudah 40 persen,” kata Edy.
Edy mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumut dan pemerintah kabupaten/kota di jajarannya mengalami kesulitan untuk pembangunan jalan di Sumut karena keterbatasan anggaran. Jalan nasional di Sumut sepanjang 2.600 kilometer dengan 260 kilometer di antaranya rusak. Jalan provinsi 3.005 kilometer dengan kondisi rusak 890 kilometer. Sementara jalan kabupaten 33.000 kilometer dengan 13.000 kilometer kondisinya rusak.
Untuk memperbaiki jalan kabupaten saja, kata Edy, dibutuhkan biaya Rp 5,5 triliun. Dalam kunjungan kerjanya ke Sumut, Rabu (17/5/2023), Presiden menyebut akan mengalokasikan Rp 800 miliar anggaran pemerintah pusat untuk pembangunan jalan provinsi dan kabupaten di Sumut.
Harga naik
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Murbanto Sinaga, mengatakan, kondisi jalan rusak di Sumut yang dibiarkan selama bertahun-tahun telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Daya saing produk pertanian juga merosot. ”Jalan rusak di Sumut menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menjadi salah satu penyebab utama inflasi,” kata Murbanto.
Murbanto mencontohkan, di daerah penghasil petai di Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagai, harga petai hanya sekitar Rp 1.000 per papan. Namun, saat tiba di Medan yang hanya berjarak sekitar 100 kilometer dari Sipispis, harga petai meningkat lima kali lipat menjadi Rp 5.000 per papan. Hal itu terjadi karena jalan ke Sipispis sampai saat ini masih rusak parah.
Pencopotan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sumut dinilai tidak tepat karena persoalan kerusakan jalan bukan karena masalah teknis pelaksanaan, melainkan masalah kebijakan sejak perencanaan.
Demikian juga dengan jeruk yang ditanam di Karo, Simalungun, dan Dairi. Jeruk itu bisa kalah bersaing dengan jeruk yang didatangkan dari China. Murbanto menyebut, rata-rata biaya logistik di Indonesia masih 18 persen dari total penjualan. Biaya itu bisa lebih tinggi di Sumut karena jalan rusak. Sementara China sudah 12 persen. Thailand juga di bawah 15 persen.
”Kalau dilihat jalan di sentra pertanian di Thailand sangat mulus. Karena itu, daya saing produk pertanian mereka sangat kuat. Ada durian montong Thailand, jambu Thailand, sampai kelapa Thailand yang populer di Indonesia. Padahal, produk pertanian dari Indonesia sebenarnya banyak yang lebih bagus,” kata Murbanto.
Murbanto menyebut, kerusakan jalan di Sumut terjadi karena tidak ada kebijakan di tingkat gubernur, bupati, dan wali kota yang memprioritaskan perbaikan jalan. Kerusakan jalan terjadi karena kegagalan pemerintah mengambil kebijakan sejak perencanaan.
Karena itu, menurut dia, pencopotan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sumut dinilai tidak tepat karena persoalan kerusakan jalan bukan masalah teknis pelaksanaan, melainkan masalah kebijakan sejak perencanaan.