Kala Difabel Diajak Memahami Situs Arkeologi
Sejumlah penyandang disabilitas pencinta alam dan lingkungan yang biasa mendaki gunung dan mendapati situs masa lalu diajak lebih memahami soal kesejarahan melalui kegiatan Open Disability Cultural Destination.
”Apakah pada zaman dulu juga ada penyandang disabilitas?” kata M Hasanudin (29), salah satu penyandang disabilitas yang ikut kegiatan Open Disability Cultural Destination melalui penerjemah bahasa isyarat di Museum Mpu Purwa, Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (20/5/2023) sore.
Lelaki yang bekerja pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Malang itu rupanya tergelitik untuk bertanya. Sebelumnya, bersama sejumlah rekan penyandang disabilitas yang lain, dia khidmat memperhatikan penjelasan pemandu kegiatan terkait koleksi benda cagar budaya yang ada di museum itu.
Hasanudin yang seorang tunarungu menyukai sejarah dan peninggalan masa lalu. Selama ini, benda-benda seperti itu kerap dia temui, khususnya ketika mengikuti kegiatan pendakian di beberapa gunung di sekitar Malang.
Hasanudin dan kawan-kawan merupakan anggota Difabel Pencinta Alam (Difpala), salah satu unit kegiatan pemberdayaan masyarakat di Lingkar Sosial Indonesia (Linksos). Linksos sendiri merupakan sebuah organisasi penggerak difabel inklusi.
Anggota Difpala ada 50-an orang dari Malang Raya dan beberapa daerah di Jawa Timur. Sementara jumlah mereka yang menjadi dampingan Linksos mencapai 1.850 orang di sejumlah desa di beberapa kecamatan di Malang.
Difpala bergerak di bidang pelestarian alam dan lingkungan. Mereka memiliki kegiatan rutin mendaki gunung sekali dalam sebulan. Selama pendakian, para pendaki kerap mendapati benda-benda cagar budaya. Gunung Arjuno, misalnya, menjadi gunung yang banyak memiliki artefak masa lalu.
Saat mendapati situs, tindakan pertama yang biasa mereka lakukan adalah membersihkan area sekitar. Setelah itu, jika memungkinkan, mereka memberi pagar. Satu hal lagi yang ditekankan, mereka tidak boleh melakukan vandalisme terhadap benda-benda tersebut.
Adapun Mpu Purwa sendiri baru berdiri lima tahun lalu. Memanfaatkan gedung bekas SD Mojolangu, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru, lokasi ini awalnya diperuntukkan sebagai tempat mengumpulkan benda cagar budaya yang berserakan di berbagai lokasi di Kota Malang.
Secara keseluruhan ada 136 koleksi museum, mulai dari makara yang biasa ada di kiri-kanan tangga pintu masuk ke candi, arca Buddha berukuran cukup besar, hingga patung Dewa Brahma dengan empat muka. Di tempat itu juga terdapat beberapa arca Ganesha, baik yang kondisinya masih utuh maupun tinggal separuh dengan bagian belakang berupa prasasti. Semua terbuat dari batu andesit.
Ada pula diorama tentang perjalanan pendiri Wangsa Rajasa (Singhasari), yakni Ken Arok dan istrinya, Ken Dedes, turut menjadi pelengkap koleksi museum yang lokasinya persis berada di belakang Rumah Sakit Universitas Brawijaya itu.
Baca juga: Kemandirian Disabilitas di Resapombo Blitar
Melalui acara Open Disability Cultural Destination, anggota Difpala mendapatkan pengetahuan lebih luas mengenai arkeologi dan situs ataupun benda cagar budaya.
Sejarawan Universitas Negeri Malang yang sekaligus menjadi pemadu kegiatan Open Disability Cultural Destination, M Dwi Cahyono, menceritakan secara detail benda-benda yang ada, mulai dari nama, fungsi, masa pembuatan, hingga makna di baliknya.
Memang tidak mudah. Meski kerap menjadi pembedah kegiatan terkait situs masa lalu, Dwi mengaku harus menyesuaikan diri saat berbicara di depan mereka. Dia mesti menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh audiens yang memiliki ketunaan berbeda itu.
Memang ada kendala dalam menyampaikan pejelasan. Di satu sisi, pemandu kurang bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Di sisi lain, penerjemah belum memahami sepenuhnya soal kesejarahan.
”Yang sering mengalami kesulitan adalah cara memandu, teknik memandunya beda dengan orang kebanyakan. Meski saya biasa memandu dengan detail, untuk memandu mereka yang berkebutuhan khusus perlu cara tersendiri,” ujarnya.
Menurut Dwi, penyandang disabilitas tak hanya ada di zaman modern, tetapi juga di masa lalu. Hal itu bisa diketahui dari peninggalan, baik berupa tulisan (sastra dan prasasti) maupun digambarkan pada relief candi.
Tanpa menyebut nama candi yang dimaksud, Dwi menyebut relief candi kerap menggambarkan sosok yang memiliki fisik pendek (kerdil) dan kurus tetapi tinggi. Salah satu tokoh yang digambarkan kerdil adalah punakawan di dunia pewayangan.
Baca juga: Candi Srigading Menguatkan Jejak Sindok di Malang Raya
”Maaf, punakawan sebenarnya tokoh yang disabilitas. Dibandingkan tuannya, punakawan ini relatif kecil fisiknya. Namun, kekurangan dari sisi fisik itu berbanding terbalik dengan kelebihan yang dimiliki. Punakawan bukan sekadar pembantu ksatria, melainkan juga penasihat dan bisa melindungi ksatria saat mereka mengalami kesulitan,” tuturnya.
Pengakuan terhadap penyandang disabilitas pun sudah ada sejak dulu. Pihak kerajaan selalu memberikan kesempatan kepada para disabilitas untuk bergabung. Kerajaan memiliki kewajiban menyantuni kaum difabel dan menganggap keberadaan mereka sebagai pelindung.
Dia mencontohkan abdi dalem Palawija di Keraton Yogyakarta yang anggotanya merupakan orang-orang penyandang disabilitas. Bahkan, sang raja disebut-sebut sangat sayang kepada mereka.
Ken Kertaning Tyas selaku Pembina Linksos mengatakan, saat melakukan kegiatan, setiap pendaki dari Difpala berkewajiban membersihkan sampah di sepanjang jalur pendakian dan sekitar situs. Sampah itu lalu dibawa turun.
”Selama mendaki, mereka acap menemui situs purbakala. Beberapa di antaranya belum terungkap, misalnya Situs Batu Leter di Gunung Wedon dekat Pasar Lawang. Itu belum diterangkan. Mungkin suatu saat nanti Pak Dwi Cahyono akan ke sana menjelaskannya,” katanya.
Saat mendaki, sebagai pencinta alam, satu hal yang ditekankan agar mereka tidak melakukan vandalisme dan memagari situs yang ada. Setidaknya itu menjadi langkah awal dalam rangka menghargai peninggalan masa lalu, sebelum mereka bisa melakukan tindakan nyata berikutnya.
Selain unit pemberdayaan masyarakat di bidang pelestarian alam dan lingkungan (Difpala), Linksos memiliki kegiatan lain, seperti posyandu disabilitas (bidang kesehatan), kelompok dance pengguna kursi roda (bidang seni), dan pramuka inklusi.
”Di seluruh bidang kami mencoba untuk masuk. Kalau yang ini (berkunjung ke museum) awal teman-teman difabel bergerak di bidang kebudayaan,” ujar Ken.
Anggota Difpala menghargai peninggalan masa lalu dengan menjaga atau memagari situs dan benda cagar budaya yang ditemui di jalur pendakian. Mereka menghormati budaya dan peradaban. Suatu sikap yang perlu terus dijaga dan diteladani semua pihak.