Kemandirian Disabilitas di Resapombo
Kaum disabilitas di Desa Resapombo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menolak berpangku tangan. Dengan difasilitasi Pemerintah Kabupaten Blitar, mereka bisa berdaya dan mandiri. Inovasi dari pemerintah daerah ini pun menuai penghargaan.
Menggunakan tangan kiri, Rizal (20) mengoleskan cairan malam pada selembar kain putih berukuran 2,05 meter x 1,15 meter berbingkai besi. Sabtu (5/1/2019) sore itu, Rizal, warga Desa Resapombo tersebut, mencoba membuat motif batik abstrak dengan teknik percik.
Begitu pembuatan motif selesai, Rizal dan beberapa temannya sesama penyandang disabilitas (tunagrahita) melakukan proses berikutnya, yakni pembuatan blok warna, penguncian warna, penjemuran, dan perebusan, hingga terbentuklah kain batik jadi. Selain percik, mereka juga menggunakan teknis gepyok.
Suasana riang tercipta meski saat itu cuaca di lereng barat daya Gunung Kawi masih cukup panas. Senda gurau antarsesama penyandang disabilitas yang terkadang diwarnai tingkah usil—mencolekkan pewarna ke badan teman atau berkejaran—menjadi pemandangan rutin kegiatan pendampingan terhadap mereka.
”Senang bisa membuat batik,” ujar Rizal. Rizal baru sekitar enam bulan bergabung dalam pendampingan berbasis komunitas yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Harapan Mulia. Sebelumnya, ia banyak membantu orangtua membuat tusuk sate di rumah.
Sejak 2016, kegiatan pemberdayaan disabilitas dilakukan di Desa Resapombo. Pada Desember 2017, Resapombo ditetapkan sebagai Kampung Peduli Disabilitas oleh Pemerintah Kabupaten Blitar. Alasannya, penyandang disabilitas di desa ini cukup banyak, lebih dari 50 orang.
”Saya bangga dengan kegiatan pemberdayaan ini. Anak saya, meski memiliki kekurangan, bisa berlatih mandiri,” ujar Hadi Suwito (55), warga Resapombo yang dua anaknya menyandang tunagrahita. Hadi kini aktif ikut menjadi pembimbing bersama sukarelawan KSM Harapan Mulia.
Saat ini, 27 penyandang disabilitas mendapat pendampingan yang dilakukan selama enam hari dalam sepekan, Senin-Sabtu. Pesertanya berusia 15-45 tahun. Mayoritas dari mereka adalah penyandang tunagrahita. Sisanya ada tunadaksa, tunanetra, tunawicara, dan ketunaan ganda.
”Mereka ada yang sekolah, tetapi banyak yang tidak. Sebagian besar berasal dari keluarga dengan ekonomi rentan,” kata Edy Cahyono, Ketua KSM Harapan Mulia.
Dalam proses pendampingan itu, mereka tidak saja diajari membuat karya, tetapi juga pendidikan keterampilan hidup sehari-hari, seperti memasak dan berpakaian.
Adapun membatik dipilih karena hasilnya lebih cepat terserap pasar ketimbang membuat makanan. Setiap bulan, lebih dari 100 helai kain diproduksi. Motif dan warnanya disesuaikan dengan selera konsumen.
Kian percaya diri
Batik yang dihasilkan penyandang disabilitas di Resapombo dijual dalam bentuk kain ataupun bentuk lain, seperti tas laptop. Dengan harga jual Rp 150.000-Rp 210.000 per helai, sejauh ini pangsa pasarnya baru sekitar Blitar, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Hasil penjualan digunakan untuk biaya operasional, membeli bahan baku, dan honor bagi mereka.
Setiap peserta pendampingan mendapat honor Rp 500.000-Rp 600.000 per bulan. ”Honornya separuh diberikan langsung (tunai), separuh melalui rekening. Kenapa melalui rekening? Agar uang itu tidak cepat habis,” tutur Edy.
Wakil Ketua KSM Harapan Mulia, Rita S Panca Rianik, mengatakan, kepercayaan diri para penyandang disabilitas di tempat ini meningkat setelah mereka mendapatkan pendampingan.
Di sana, mereka bisa bertemu sesama teman dan akrab satu sama lain. Kondisi ini berbeda dengan sebelum ada program Resapombo sebagai Kampung Peduli Disabilitas.
”Manfaatnya besar sekali. Dari segi kemandirian, dulu masih kurang. Sekarang sudah mulai mandiri. Dari segi sosial, mereka tidak lagi malu dengan masyarakat sekitar karena mereka ternyata juga mampu melakukan sesuatu,” kata Sekretaris KSM Harapan Mulia, Khoirun Nisak.
Jalan panjang telah dilalui untuk menjadikan Resapombo sebagai Kampung Peduli Disabilitas. Awalnya, yang banyak ditangani oleh pemerintah daerah adalah ketunaan daksa, netra, rungu, dan wicara. Sementara penanganan tunagrahita terkadang tertinggal.
Kepala Seksi (Kasi) Anak dan Lansia Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Blitar Suryanto (sebelumnya menjabat Kasi Rehabilitasi Disabilitas) mengatakan, pihaknya pernah belajar penanganan tunagrahita ke Balai Besar Rehabilitasi Bina Grahita/BBRBG) di Temanggung, Jawa Tengah. Dari sana ada saran untuk membuat Kampung Peduli Disabilitas.
Untuk penanganan disabilitas, Dinsos Blitar juga pernah studi banding ke kampung disabilitas di Kabupaten Magetan, Jatim, serta berkomunikasi dengan pemerintah provinsi dan Kementerian Sosial. Tahun 2015, mereka mulai memetakan dan mengumpulkan data penyandang disabilitas.
Pada Desember 2017, Kampung Peduli Disabilitas diluncurkan. Selain bekerja sama dengan KSM Harapan Mulia, Dinsos juga mendapat pembekalan dari Kelompok Kajian dan Pengembangan Usaha Kecil Menengah Universitas Brawijaya, BBRBG Temanggung, serta mentoring dan anggaran dari Kementerian Sosial.
Kepala Dinsos Kabupaten Blitar Romelan mengatakan, ke depan Kampung Peduli Disabilitas Resapombo akan dikembangkan, termasuk direplikasi ke daerah lain di Kabupaten Blitar. Jumlah penyandang disabilitas di Blitar sekitar 6.000 orang dengan berbagai macam ketunaan.
”Di Resapombo baru beberapa anak yang terlibat. Ke depan akan terus diupayakan agar semua bisa terlibat. Kami juga berharap orangtua bisa ikut serta dalam proses pendampingan agar mereka bisa benar-benar mandiri,” ujarnya.
Kampung Peduli Disabilitas ini juga membawa Pemerintah Kabupaten Blitar menerima penghargaan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Top 25 Jawa Timur tahun 2018. Hal yang lebih penting lagi adalah kemandirian kaum disabilitas. Dengan batik, mereka pun lebih berdaya dan percaya diri.