Memperingati Reformasi, Merayakan Persahabatan Seniman Yogyakarta
Reformasi tak hanya momen politik, tetapi juga peristiwa kebudayaan. Itulah kenapa para seniman di Yogyakarta ikut memperingati 25 tahun reformasi dengan menggelar pameran seni rupa.
Peringatan 25 tahun reformasi tak hanya dirayakan oleh para aktivis dan politisi. Di Yogyakarta, para seniman turut merayakan momen itu dengan menggelar pameran seni rupa. Namun, alih-alih membicarakan politik, kebanyakan karya dalam pameran itu justru lebih banyak menyinggung ihwal persahabatan, terutama di antara para seniman.
Lukisan itu menghadirkan gambar keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan. Ketiganya duduk berjejer dengan wajah menghadap ke depan, seolah sedang menjalani pemotretan. Dilihat dari pakaian dan sepatu yang mereka pakai, keluarga tersebut tampaknya berasal dari keturunan Tionghoa.
Meski begitu, wajah mereka tak tampak jelas karena tertimpa oleh cat berwarna coklat dan abu-abu. Hanya wajah sang anak perempuan yang sedikit terlihat di antara corat-coret cat. Diberi judul ”Amok 98”, lukisan karya Ong Hari Wahyu itu tampaknya ingin menyajikan simbolisasi mengenai warga keturunan Tionghoa yang banyak menjadi korban saat kerusuhan Mei 1998.
Lukisan tersebut merupakan salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran ”Kita Berteman Sudah Lama” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta, pada 20-25 Mei 2023. Pameran yang diikuti sekitar 100 seniman Yogyakarta itu diselenggarakan untuk memperingati 25 tahun peristiwa reformasi tahun 1998.
Sejumlah partisipan dalam pameran itu merupakan seniman yang telah dikenal luas dalam dunia seni rupa Indonesia. Selain Ong Hari Wahyu, seniman yang urun karya dalam pameran itu, misalnya, Djoko Pekik, Kartika Affandi, Putu Sutawijaya, Heri Dono, Butet Kartaredjasa, Nasirun, Ivan Sagita, Bambang Herras, dan Yuswantoro Adi.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengatakan, untuk memperingati 25 tahun reformasi, Bentara Budaya menggelar pameran seni di dua kota berbeda. Selain pameran ”Kita Berteman Sudah Lama” di Yogyakarta, digelar juga pameran ”Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 98” di Bentara Budaya Jakarta.
”Dua pameran ini ada pada satu tarikan napas untuk memperingati 25 tahun peristiwa Reformasi 1998,” kata Ilham saat ditemui di sela-sela pembukaan pameran ”Kita Berteman Sudah Lama”, Sabtu (20/5/2023) malam.
Baca juga: Pameran Kita Berteman Sudah Lama untuk Mengenang 25 Tahun Reformasi
Ilham memaparkan, dalam pameran ”Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 98”, Bentara Budaya membuat undangan terbuka kepada para seniman untuk mengirimkan karya drawing (gambar) eksperimental yang memberi tafsir terkait peristiwa reformasi. Selain itu, pameran tersebut juga menampilkan foto-foto hasil jepretan fotografer harian Kompas terkait reformasi.
”Dalam pameran di Yogyakarta, ada seratusan seniman yang kami undang. Kalau di sini, yang dipamerkan kebanyakan lukisan,” tutur Ilham.
Ilham menyatakan, reformasi yang terjadi pada Mei 1998 bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga peristiwa kemanusiaan dan kebudayaan. Oleh karena itu, wajar jika peristiwa tersebut diperingati dengan pameran seni.
Persahabatan
Meski digelar untuk memperingati reformasi, kebanyakan karya dalam pameran tersebut tidak menunjukkan keterkaitan langsung dengan peristiwa reformasi. Selain lukisan Ong Hari Wahyu, karya yang cukup politis dalam pameran itu adalah instalasi karya Bambang Herras yang berjudul ”Untuk Sahabat yang Tak Pernah Pulang”.
Karya instalasi tersebut berupa gundukan tanah dan batu yang dihamparkan di tengah ruang pameran. Di antara hamparan tanah itu tertancap sebuah sekop berwarna merah dengan gambar tengkorak.
Meski tak disertai keterangan tambahan tentang latar belakang pembuatannya, karya instalasi itu bisa jadi merupakan persembahan untuk para aktivis yang hilang menjelang reformasi tahun 1998 dan tak pernah pulang hingga sekarang.
Sementara itu, sejumlah karya lain justru menampilkan persahabatan di antara para seniman Yogyakarta. Lukisan karya Susilo Budi berjudul ”Gembala Celeng”, misalnya, menampilkan sosok pelukis senior Djoko Pekik serta penulis Sindhunata. Keduanya digambarkan sedang duduk di atas seekor celeng atau babi hutan. Di sekitar keduanya terdapat sejumlah celeng lain yang sedang berjalan di hamparan padang rumput.
Baca juga: 25 Tahun Reformasi… Jadi?
Dengan menghadirkan figur celeng, lukisan itu berhasil menampilkan kedekatan Djoko Pekik dan Sindhunata. Sebab, Pekik memang beberapa kali menghadirkan celeng dalam lukisan-lukisannya. Bahkan, lukisannya yang berjudul ”Berburu Celeng” sempat menimbulkan kehebohan karena terjual dengan harga Rp 1 miliar pada tahun 1998.
Sementara itu, Sindhunata pernah menulis novel berjudul Menyusu Celeng yang terinspirasi dari beberapa lukisan Pekik tentang celeng. Ada tiga lukisan Djoko Pekik yang dibahas dalam novel itu, yakni ”Susu Raja Celeng”, ”Berburu Celeng”, serta ”Tanpa Bunga dan Telegram Duka”. Tiga lukisan tersebut merupakan trilogi sehingga masih memiliki kaitan satu sama lain.
Baca juga: Menjadi Celeng Bersama Sindhunata
Reformasi yang terjadi pada Mei 1998 bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga peristiwa kemanusiaan dan kebudayaan.
Figur Djoko Pekik juga muncul dalam beberapa lukisan lain yang ditampilkan dalam pameran ”Kita Berteman Sudah Lama”. Di lukisan karya Dyan Anggraini berjudul ”Rakyatnya Djoko Pekik”, sosok Djoko Pekik ditampilkan di depan seorang laki-laki dan perempuan yang sedang menari.
Adapun dalam lukisan karya Nasirun yang berjudul ”Generasi Celeng Degleng”, Pekik tampak berdiri di atas celeng ukuran besar. Di sekitar sosok Pekik tampak wajah sejumlah seniman Yogyakarta.
Sosok Sindhunata juga hadir dalam beberapa lukisan. Dalam lukisan karya Alit Ambara, sosok Sindhunata hadir bersama mantan wartawan harian Kompas, Thomas Pudjo Widijanto, yang dikenal sangat dekat dengan para seniman di Yogyakarta. Selama puluhan tahun bekerja sebagai wartawan, Pudjo sangat intens menulis tentang kesenian sehingga dia bersahabat dengan banyak seniman.
Sindhunata menyatakan, pameran ”Kita Berteman Sudah Lama” digelar untuk merayakan kebebasan yang menjadi salah satu anugerah reformasi. Namun, dia menuturkan, kebebasan akan menjadi liar dan sewenang-wenang jika tak disertai persaudaraan dan persahabatan. Itulah kenapa pameran tersebut juga menjadi semacam perayaan terhadap persaudaraan dan persahabatan.
”Seni dan seniman kiranya perlu berupaya untuk mencegah jangan sampai kecelakaan kebebasan itu terus terjadi dan merebak. Maka, peringatan reformasi mereka rayakan dengan mengingatkan kita semua akan pentingnya persahabatan, dasar dan pengandaian yang bisa menjadi fundamen bagi kebebasan yang kokoh, kreatif, dan toleran,” ujar Sindhunata dalam tulisan pengantar pameran.