Kenangan Pahit Tragedi Mei 98 dalam Sepiring Rujak Pare
Tragedi Mei 1998 terus diperingati demi merawat ingatan bahwa peristiwa itu pernah terjadi dan diharapkan tak berulang. Di Kota Semarang, Jateng, ritual rujak pare jadi representasi peringatan itu.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·6 menit baca
Puluhan piring putih ditata bertumpuk di sebuah meja di salah satu sudut ruangan Boen Hian Tong, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (21/5/2023). Di atas piring-piring itu terdapat irisan pare dan sambal rujak bunga kecombrang. Hidangan bercita rasa pahit dan pedas itu diharapkan menjadi sarana pengingat akan tragedi Mei 1998.
Dahi orang-orang mengernyit dan mata mereka memejam sesaat setelah menyuapkan irisan pare ke dalam mulut mereka. Sebagian lagi membuka mulut kemudian menjulurkan lidah, berharap rasa pahit yang baru saja dikecap oleh lidah mereka segera hilang.
Setelah beberapa suap, mata dan hidung sebagian orang berair akibat rasa pedas yang ditimbulkan oleh sambal rujak bunga kecombrang. Buliran keringat juga mengucur membasahi wajah orang-orang tersebut. Mereka yang tidak tahan memilih untuk segera beranjak, mengambil air mineral yang sudah disiapkan di bagian tengah ruangan.
Orang-orang itu baru saja mengikuti ritual rujak pare yang digelar oleh Perkumpulan Rasa Dharma di Boen Hian Tong. Ritual itu rutin digelar setiap tahun sejak tahun 2018 untuk memperingati tragedi Mei 1998.
Menurut Jose Amadeus Krisna, Ketua Panitia Peringatan Tragedi Mei 98, pare dipilih sebagai lambang pahitnya peristiwa tersebut. Bunga kecombrang yang diulek bersama dengan bumbu rujak melambangkan orang-orang yang mengalami kekerasan di Mei 98, khususnya perempuan-perempuan tionghoa.
”Sambal rujaknya itu memang sengaja dibuat sangat pedas sampai membuat kita yang makan keluar air matanya. Hal itu melambangkan bahwa kita ikut menangis merasakan kepedihan, ketakutan, maupun kesedihan yang dialami korban,” ucap Jose, kemarin.
Rujak pare bukan satu-satunya hidangan dalam acara tersebut. Penyelenggara turut menghidangkan nasi ulam bunga telang yang terdiri dari berbagai macam lauk, seperti empal, telur, dan sambel goreng ati. Berbagai macam sayuran, meliputi kol, daun bawang, wortel juga tersaji di bersama nasi bunga telang tersebut.
”Nasi ulam bunga telang ini untuk mewakili Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, ras dan budaya. Kalau kita makan, dicampur jadi satu, rasanya sudah benar-benar nyatu tanpa kehilangan cita rasanya masing-masing,” kata Jose.
Sebelum ritual rujak pare dan makan nasi ulam bunga telang dimulai, ada prosesi pemasangan pita hitam dan doa bersama. Pita hitam dipasang di lengan para peserta sebagai salah satu tanda mereka berduka atas peristiwa memilukan yang terjadi 25 tahun silam tersebut.
Dalam doa bersama, para peserta memberikan penghormatan untuk Ita Martadinata, salah satu korban Tragedi 98. Ita ditemukan tewas di rumahnya pada Oktober 1998 dan diyakini sebagai pembunuhan. Kejadian itu terjadi beberapa hari sebelum Ita berangkat ke Amerika Serikat untuk bersaksi di depan Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai tragedi 98. Pembunuhan terhadap Ita diduga sebagai salah satu upaya pembungkaman korban.
”Boen Hian Tong menghormati keberanian Ita untuk bersuara mewakili para korban karena keberanian bersuara pada masa itu harganya sangat mahal dan Ita punya itu,” ujar Asrida Ulinuha dari bagian Humas Boen Hian Tong.
Ulinuha mengatakan, para perempuan Tionghoa yang menjadi korban saat itu takut bersuara karena mereka mendapatkan ancaman pembunuhan, ancaman pemerkosaan, intimidasi, hingga mendapatkan kekerasan. Beberapa di antara korban dibunuh setelah diperkosa atau beberapa hari setelahnya. Sebagian korban yang masih hidup depresi hingga mengalami gangguan jiwa akibat peristiwa tersebut.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap keberanian Ita, sejak tahun 2021, Boen Hian Tong memasang papan arwah atau sinci Ita. Sinci milik Ita yang dipasang di altar Boen Hian Tong berwarna putih. Dalam budaya Tionghoa, warna putih melambangkan kedukaan. Sinci Ita diletakkan bersebelahan dengan sinci Presiden Keempat Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Pada doa bersama Minggu, sepiring nasi goreng dan sepiring mi goreng diletakkan di sekitar altar. Hal itu karena nasi goreng dan mi goreng adalah makanan kesukaan Ita.
Membentuk forum
Dalam Peringatan Tragedi Mei 98 tahun ini, Perkumpulan Rasa Dharma membentuk sebuah forum, yakni Estungkara. Forum itu untuk mewadahi para korban kekerasan. Di forum tersebut, para korban kekerasan bisa berbagi cerita terkait pengalamannya dan upaya-upaya yang mereka lakukan untuk bertahan. Perkumpulan Rasa Dharma akan bekerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk psikolog untuk menggelar forum Estungkara secara rutin.
”Kami mendorong agar masyarakat atau korban kekerasan berani bersuara. Keberanian bersuara ini penting untuk menekan kesempatan pelaku mencari korban lain. Kalau dibiarkan tidak dihukum, para pelaku ini bisa menjadi ancaman bagi orang-orang di sekitarnya,” tutur Ketua Perkumpulan Rasa Dharma sekaligus inisiator Peringatan Tragedi Mei 98 di Boen Hian Tong, Harjanto Halim.
Pada forum Estungkara yang pertama, ada dua penyintas kekerasan yang dihadirkan, yakni Ived dan Heni. Ived merupakan korban kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Heni merupakan orang yang kehilangan anak dan ibunya dalam peristiwa bom Bali.
Ived bercerita dirinya mendapatkan kekerasan fisik dari orangtuanya setiap hari di masa kecilnya. Ia juga sengaja tidak diberi akses pendidikan seperti saudara laki-lakinya oleh orangtuanya. Selain menderita luka fisik, Ived juga sering kali minder ketika bergaul karena dia tidak sekolah seperti teman-teman seusianya.
Heni mencoba menyembuhkan trauma atas peristiwa kematian anak dan ibunya dengan cara bermeditasi. Ia juga kerap berbagi cerita dengan orang-orang terdekatnya untuk meredakan kesedihan yang dialaminya.
Pengalaman perempuan itu sering kali tidak dianggap. Padahal, pengalaman para perempuan ini bisa menjadi ilmu atau pembelajaran untuk kita semua. ( Nur Laila Hafidoh)
Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Nur Laila Hafidoh yang turut hadir dalam forum Estungkara, Minggu, mengatakan, apa yang dilakukan oleh Perkumpulan Rasa Dharma perlu dirawat. Pertemuan para korban amat diperlukan untuk ini menghadirkan pengalaman perempuan yang sering kali tidak didengar.
”Pengalaman perempuan itu sering kali tidak dianggap. Padahal, pengalaman para perempuan ini bisa menjadi ilmu atau pembelajaran untuk kita semua,” kata Laila.
Menurut Laila, segala bentuk kekerasan harus dilawan. Perlawanan itu bisa dimulai dengan menggerakkan korban untuk berani berjuang, salah satunya dengan bersuara. Keberanian korban untuk berbicara atau mengadu juga perlu diapresiasi karena dengan berbicara mereka sudah berjuang menghacurkan ketakutan atau kekhawatiran tentang bagaimana nanti dia distigma oleh masyarakat.
”Setelah korban berani berbicara atau mengadu, hal yang bisa dilakukan selanjutnya adalah memberi pendampingan dan tidak menyalahkan korban. Kemudian, mendorong negara untuk memenuhi kewajibannya memenuhi hak korban. Hak korban dalam hal ini adalah pemulihan dan perlindungan,” katanya.
Apresiasi
Kegiatan yang dilakukan oleh Perkumpulan Rasa Dharma diapresiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad, ritual rujak pare dan kegiatan yang dilakukan Perkumpulan Rasa Dharma sebagai salah satu cara merawat ingatan Tragedi Mei 98.
”Komnas Perempuan juga mengapresiasi dan mendorong keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan memberikan dukungan terhadap korban Mei 98, khususnya perempuan dan keluarganya. Kami juga sepakat dengan upaya mencegah keberulangan Tragedi Mei 98,” ujar Fuad dalam keterangan tertulisnya.
Fuad meminta pemerintah mendengar suara dan memenuhi hak-hak korban khususnya perempuan dan keluarganya. Pemerintah juga diharapkan membuat kebijakan yang komprehensif untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang, memfasilitasi pemulihan dalam makna luas, serta memberikan jaminan perlindungan.