Lorong Reformasi yang Terus Bernyawa
Genap seperempat abad usia reformasi di negeri ini. Gerakan yang menggulingkan tirani ini lekat di ingatan mereka yang mengalami. Upaya terus merawat ingatan, bahkan memantik pengetahuan bagi kalangan muda.

Seorang anak dan ibu, pengunjung tengah menyaksikan pameran foto bertajuk 25 Tahun Reformasi. Pameran ini diselenggarakan Pena 98 dari 11-17 Mei 2023.
Genap seperempat abad usia Reformasi di negeri ini. Gerakan yang menggulingkan tirani itu lekat dalam ingatan mereka yang mengalaminya. Upaya terus merawat ingatan, bahkan memantik pengetahuan bagi kalangan muda yang tak mencecap zaman itu pun terus digelorakan. Dan, seni menjadi motornya.
Suasana Jakarta yang gerah tak menghentikan sejumlah orang untuk mampir ke sebuah rumah di kawasan HOS Cokroaminoto yang kini menjadi markas Persatuan Nasional Aktivis 1998. Sejak 11-17 Mei 2023, komunitas ini menyelenggarakan pameran foto bertajuk 25 Tahun Reformasi.
Pameran foto ini menampilkan karya tunggal milik Firman Hidayatullah, salah satu anggota Forum Kota (Forkot) yang merupakan kumpulan mahasiswa dari sejumlah universitas dan bergerak ketika Reformasi 1998.
Ratusan foto berbingkai disusun berliku dari tempat parkir hingga ke dalam rumah. Foto-foto yang diambil Firman didominasi peristiwa yang berpusat di DPR, Slipi, dan Semanggi. Salah satunya momen fenomenal ketika ribuan mahasiswa berjaket almamater berhasil menduduki Gedung DPR hingga keadaan membara akibat bentrok mahasiswa dan aparat.
Merujuk dari poster yang terpampang di lokasi pameran, tercatat 1.217 orang meninggal, 189 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, serta ratusan toko dan bangunan dijarah bahkan dibakar pada 13-14 Mei 1998. Catatan ini berdasarkan yang terjadi di Jakarta, sama seperti foto-foto yang dipamerkan semua tentang Jakarta.

Adik kandung aktivis Wiji Thukul yang hilang saat periode reformasi, Wahyu Susilo membawakan puisi saat pembukaan Pameran Drawing Experimental ÒIndonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 98Ó di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (19/5/2023). Pameran tersebut menampilkan karya dari 46 perupa yang lolos kurasi serta 12 karya para seniman yang diundang secara khusus. Pameran ini berupaya membangkitkan memori kolektif tentang reformasi 1998 sekaligus sebagai refleksi diri bangsa ini setelah 25 tahun reformasi.
Harry Hariawan (29) yang ketika peristiwa itu terjadi masih berusia empat tahun hanya mengingat, ia dilarang main keluar dari rumah. ”Bahkan semuanya juga cuma bisa diam di rumah. Waktu itu, kami tinggal di Sunter yang dihuni banyak warga Tionghoa. Benar-benar sepi dan enggak ada juga yang berani keluar. Ada tank di depan gang perumahan kami waktu itu,” jelas Harry di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Setelah beberapa hari, ia dan keluarga baru bisa keluar rumah. Namun, mereka terkejut melihat ruko-ruko di sekitar tempat tinggal mereka habis terbakar. ”Kalau pun ada yang masih utuh, itu udah ada bekas gosong juga dan berantakan,” ujar Harry.
Ingatan itu yang mendorong dia mengunjungi pameran di Pena 98. Ia berharap dari sini matanya menjadi terbuka tentang apa yang terjadi di luar rumahnya ketika itu.
Kian sore, orang-orang yang penasaran seperti Harry makin berdatangan. Bahkan ada yang membawa anaknya yang masih kecil untuk melihat pameran. Sambil berkeliling, terdengar ayahnya bercerita kepada anak perempuan kecilnya tentang keadaan saat itu sesuai dengan ingatannya.

Pameran Drawing Experimental: Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 98 digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (19/5/2023). Pameran tersebut menampilkan karya dari 46 perupa yang lolos kurasi serta 12 karya para seniman yang diundang secara khusus. Pameran ini berupaya membangkitkan memori kolektif tentang reformasi 1998 sekaligus sebagai refleksi diri bangsa ini setelah 25 tahun reformasi.
M Sopiyan, Humas Pena 98, menyampaikan pameran foto ini merupakan rangkaian acara dari 25 Tahun Reformasi yang digelar dari awal Mei hingga 21 Mei nanti. ”Kenapa foto? Karena ini benar-benar menangkap momen yang ada saat itu dan menjadi saksi berbagai kejadian yang berfungsi untuk merawat ingatan,” jelas Sopiyan.
Wahana cerita
Anggiasti, lulusan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Juni nanti akan genap menginjak usia 25 tahun. Usia Anggi, sapaan akrabnya, memang tidak terpaut jauh dari usia Reformasi. ”Cuma beda sebulan,” tutur Anggi, Rabu (17/5).
Karena hanya terpaut satu bulan, kisah hidup Anggi pun sedikit banyak berelasi dengan peristiwa Reformasi. Konon, sifatnya yang mudah cemas merupakan efek dari ketegangan yang dialami sang ibu ketika tengah mengandung Anggi.
Sumber kecemasan sang bunda adalah ia memiliki ciri fisik mirip orang Tionghoa yang ketika itu banyak menjadi korban kerusuhan. ”Ibu saya kuliah di UGM tahun 1986. Kartu mahasiswanya dilubangi, semacam ditandai kalau dia Tionghoa. Padahal kami sama sekali tidak memiliki darah Tionghoa,” katanya.
Melihat perawakan Anggi dan ibundanya, terlihat dari foto yang ditunjukkan Anggi, keduanya bermata sipit dan berkulit cerah.
Terlepas dari kisah tentang Reformasi yang dialami sang ibu, Anggi kemudian memiliki ketertarikan dengan sejarah dan memutuskan untuk mendalaminya. Dari situ, ia memiliki kesempatan lebih luas untuk mempelajari seluk-beluk reformasi. ”Banyak teman seusia saya yang tidak tahu-menahu tentang Reformasi,” tambahnya.
Haikal Ali (21) termasuk anak muda yang tidak tahu banyak soal gerakan Reformasi. Mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengatakan, ia hanya tahu Reformasi sebagai sebuah perubahan.
”Karena saya masih (mahasiswa) baru, ya. Saya tahunya perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru,” jawabnya jelas dan tegas, tetapi sayangnya keliru.

Pengunjung menyaksikan arsip karikatur dalam pembukaan pameran "25 TAHUN REFORMAS!H IN ABSENTIA" di Yayasan Riset Visual mataWaktu di Jakarta, Rabu (17/3/2023) malam.
Rabu (17/5) malam, Haikal sengaja mengunjungi Pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia yang digelar Yayasan Riset Visual MataWaktu di kawasan ITC Fatmawati, Jakarta. Itu dilakukan sebagai satu cara untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang Reformasi. ”Biar tahu. Biar enggak terlalu buta sama sejarah,” lontar Haikal.
Pameran ini menghadirkan foto-foto berkaitan dengan peristiwa Reformasi yang terjadi di Tanah Air. Peristiwa serupa juga direspons oleh para kartunis dan perupa melalui karya-karya mereka.
Salah satu foto yang dipamerkan adalah karya fotografer Kemal Jufri, menampilkan mahasiswa tengah berteriak di hadapan para polisi yang berjaga di depan Kompleks Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Foto dijepret saat Kemal masih bekerja untuk kantor berita AFP di Jakarta.
Waktu itu, kenang Kemal, mahasiswa sudah tidak sabar ingin perubahan. Sementara itu, aparat mulai lelah dan mungkin tidak tahu sebenarnya mereka sedang bertugas untuk siapa. ”Kan enggak jelas. Jadi wajah yang bingung lelah, pandangan kosong itu yang aku tangkep,” tutur Kemal tentang foto tersebut.
Tahun 1998, foto tersebut pernah menjadi sampul muka sebuah media luar negeri dengan judul ”We Want Change Now”.
Situasi kala itu, menurut Kemal, cukup mencekam karena banyak bentrokan. Di lapangan, dia pun kesulitan untuk mendapatkan posisi memotret yang pas. ”Level bahayanya tinggi karena mereka ada nembak pakai peluru walaupun peluru karet. Waktu di depan Trisakti kena di punggung sama kaki. Tapi ya sudah, itu risiko pekerjaan,” kenang Kemal.
Dalam kaitan dengan Reformasi, foto tersebut, juga foto-foto lain yang turut dipamerkan menjadi referensi visual yang sangat penting. Menjadi sejarah visual. ”Oh, di tahun segini tuh ada kejadian seperti ini, pemimpinnya seperti ini,” katanya.
Melalui pameran, foto tak menjadi arsip belaka, tetapi menjadi pengingat agar generasi masa kini tidak lupa. Kemal mencontohkan apa yang terjadi di Filipina di mana anak Ferdinand Marcos bisa jadi presiden. Marcos adalah presiden Filipina pada 1966-1986 yang dianggap diktator dan korupsi hingga digulingkan rakyatnya dalam gerakan People Power. Menurut dia, hal itu terjadi karena generasi mudanya enggak tahu bahwa sejarah negeri itu direkayasa.
”Bayangkan kalau itu terjadi di sini? Anak-anak generasi sekarang tahunya malah kampanye-kampanye yang justru lebih enak zaman Soeharto,” lontar Kemal.

Aksi demonstrasi pada Mei 1998 yang diabadikan melalui kamera milik Firman Hidayatullah dipamerkan dalam pameran foto bertajuk 25 Tahun Reformasi. Pameran ini diselenggarakan Pena 98 dari 11-17 Mei 2023.
Oscar Motuloh, kurator pameran sekaligus pengelola Yayasan MataWaktu, mengatakan, pameran itu digelar karena rentang masa 25 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk melakukan evaluasi. ”Banyak terjadi perubahan. Tapi generasi muda enggak paham sejarah. Jadi tujuan kami bikin pameran ini bukan buat angkatan tua, tapi buat generasi muda supaya mereka tahu bahwa dulu pernah ada pemerintahan seperti ini,” katanya.
Foto, menurut Oscar, adalah salah satu bukti terkuat dari sebuah peristiwa. Foto harus ditampilkan karena atmosfer fotografis, realitas, itu menjadi sesuatu yang penting untuk dilihat lebih dulu. ”Kayak anak sekarang (yang bilang), no picture hoax,” ujar Oscar.
Di tempat lain, Bentara Budaya Jakarta juga menggelar pameran drawing experimental yang bertajuk Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 1998. Karya yang dipamerkan bercerita tentang dampak peristiwa Mei 1998, seperti trauma yang tak hilang. Ini diwakili, antara lain, lewat karya Aqil Reza, yakni ”Saksi Bisu Rekaman Traumatis”. Ada juga yang bercerita tentang perubahan yang tak sepenuhnya terjadi di tingkat penguasa seperti karya Dandy Zulfikar berjudul ”Ulang yang Berulang”.
Ingatan memang perlu dirawat, tetapi itu tidak cukup. Perubahan semestinya diwujudkan sesuai tujuan awal. Bukan justru dalih untuk membuka keran kuasa baru yang tak terbendung.