Eksistensi Kampung Kreatif di Surabaya Sangat Dirindukan
Kampung-kampung di Surabaya, Jawa Timur, diharapkan kembali menyuburkan festival dengan harapan menjaga pelestarian dan pemajuan seni budaya arek. Tujuannya untuk menjaga eksistensi kehidupan sosial masyarakatnya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Eksistensi kampung-kampung di Surabaya sebagai ruang memicu kreativitas semua kalangan sangat dirindukan. Salah satu langkah yang tengah ditempuh adalah menggagas hadirnya Festival Seni Kampung Wisata Arek Surabaya.
Hal itu mengemuka dalam Sarasehan Budaya Menciptakan Festival Seni Kampung Wisata Arek Surabaya di Gedung Galeri Dewan Kesenian Surabaya, Balai Pemuda, Minggu (21/5/2023). Pertemuan yang dihadiri seniman dan budayawan itu juga digelar merayakan Hari Kebangkitan Nasional.
Menurut Abdullah alias Abdoel Semute selaku fasilitator acara itu, sarasehan didorong keprihatinan mundurnya eksistensi kampung-kampung di Surabaya. Kemerosotan itu terutama dalam aktivitas seni budaya dan identitas khas.
Jika dibiarkan tergerus kemajuan zaman, dia khawatir, tidak ada lagi kampung kreatif di Surabaya. Ia merujuk nama besar Kaliasin, Petemon, Krembangan, Peneleh, hingga Pagesangan.
Abdullah mengatakan, sebenarnya masih banyak sanggar seni budaya yang eksis di Surabaya. Namun, skala kegiatan amat kecil, kurang diketahui oleh warga, dan tidak tersentuh perhatian negara bahkan jejaring komunitas seni budaya.
”Padahal, di kampung-kampung itulah nyawa pelestarian seni budaya berada. Jika tiada lagi keinginan melestarian seni budaya yang ada, eksistensinya akan musnah,” ujar Abdullah, yang juga inisiator Sanggar Seni Omah Nduwur.
Menurut Abdullah, kampung adalah ruang publik kehidupan sosial warga. Di sana, nilai-nilai kebudayaan dilestarikan dan dimajukan.
Salah satu medianya lewat aktivitas harian anak-anak melalui permainan, olahraga, dan seni budaya. Dia mencontohkan parikan (pantun), ludruk, remo, jaranan, dan bantengan.
”Selama ini, kegiatan seni budaya di Surabaya seakan terarahkan di pusat kota, gedung kesenian. Padahal, aktivitasnya lahir di kampung-kampung, sanggar-sanggar,” kata perupa yang juga Ketua Asosiasi Seniman LIRA Indonesia (ASLI) Jatim itu.
Suseno Karja dari Tambak Bayan, kampung peranakan, mengatakan, menjelang dan selama Imlek, mereka mengadakan kegiatan seni budaya, seperti refleksi, sarasehan, atraksi barongsai, dan atau pasar kuliner khas.
”Kegiatan itu pada awalnya untuk mempertahankan eksistensi kampung kami dari rencana penggusuran oleh pemilik modal,” ujarnya.
Suseno melanjutkan, warga menyadari hanya mereka yang bisa mempertahankan eksistensi kampung dari ancaman penggusuran. Mereka berkegiatan seni budaya dengan harapan mendapat dukungan warga Surabaya. Tujuannya agar kampung tetap menjadi tempat pengembangan dan pelestarian.
Sekretaris Dewan Kesenian Surabaya Luhur Kayungga menambahkan, semasa kecil mengingat kehidupan di Petemon yang setiap malam dihiasi aktivitas sosial anak-anak bermain, olahraga, dan atau seni budaya.
”Saat ini mulai berkurang meski upaya pelestarian coba dilakukan oleh kalangan warga,” katanya.
Luhur melanjutkan, pandangan menjadikan kampung kembali sebagai pusat kehidupan sosial, termasuk festival seni budaya, dianggap tepat dan seharusnya. Yang perlu didorong kemudian ialah memperkuat kohesi sosial antarkampung dengan identifikasi dan pengembangan kekuatan seni budaya.
Selanjutnya, aktivitas seni budaya dihidupkan melalui latihan-latihan yang sebisa mungkin menjadi bagian dari keseharian warga terutama anak-anak.
”Untuk mengadakan acara, meski tidak mendapat bantuan dari negara, bisa dengan arisan secara mandiri,” kata Luhur.
Besar kecil skala kegiatan, mendapat kepedulian atau diabaikan, tidak perlu menjadi beban dan dipersoalkan. ”Yang penting terus menjadikan kegiatan seni budaya sebagai bagian dari keseharian hidup untuk pelestarian dan eksistensi kehidupan sosial warga di kampung,” ujar Luhur yang juga Presidium Dewan Kesenian Jatim.