Dari Jalan Tol Surabaya-Gresik yang membentang di atas Bozem Morokrembangan, deretan rumah di barat laut itu terlihat menawan dengan cat warna warni. Itulah hunian di tepi Jalan Gadukan Baru Sekolahan, jalan inspeksi danau buatan untuk penampungan air hujan, yang mencakup RT 006 dan RT 007 di RW 004 Morokrembangan, Krembangan, Surabaya, Jawa Timur.
Jika didekati, kawasan yang diresmikan pada Kamis (1/3) dengan nama Kampung Parikan itu lebih memesona. Daya tarik bukan sekadar pemukiman warna warni, resik, dan apik melainkan mengundang decak kagum bahkan senyum dan tawa. Parikan berarti pantun. Di sana, dinding-dinding warna warni rumah warga seakan berbicara bahkan mengocok perut dengan parikan suroboyoan yang jenaka bahkan bijaksana.
Rumah pertama di bagian timur RT 006 bercat merah. Dinding dihiasi pantun MANGAN TEMPE Sambele Pete, ELING RUPANE Lali Rasane yang berarti makan tempe sambalnya pete, ingat wajahnya lupa rasanya. Jenaka. Rumah terakhir di bagian barat RT 007 punya pantun berbeda, Tuku celono nang cak bowo, TUKUNE TEKAN PERSIA, Sing rukun CINO karo JOWO, KERONO KITO INDONESIA yang berarti beli celana di cak bowo, belinya sampai Persia, rukunlah (keturunan) China dan Jawa karena kita Indonesia.
Pantun indah tentang toleransi itu amat pas untuk menggambarkan Festival Manunggaling Dwi Budoyo yang menandai peresmian Kampung Parikan. Pergelaran dimeriahkan oleh atraksi barongsai, liong, wayang mini, sulap, badut, tembang, dan ludruk. Warga mencoba memanggungkan dua budaya yakni Arek dan Tionghoa mungkin sebagai penghormatan terhadap keberagaman di “Kota Pahlawan”, julukan Surabaya Ibu Kota Jawa Timur.
Di Kampung Parikan sudah sebanyak 75 rumah yang dicat warna-warni dan dihiasi pantun dan atau ilustrasi manusia terutama karakter tokoh ludruk kondang, kartun, binatang, pemandangan, dan abstrak. Akan ada 75 rumah lagi yang dicat dan dihiasi mural dengan target pengerjaan satu-tiga bulan. Ada rumah yang dihiasi ilustrasi Cak Momon, Cak Markeso, dan Cak Bambang Gentholet; maestro ludruk yang sudah tiada. Ada pula rumah yang digambari legenda ludruk Cak Kartolo.
Dari 75 rumah yang bercat warna-warni, ada 30 rumah yang dihiasi ilustrasi dan pantun. Namun, parikan yang ditemukan dan didokumentasikan oleh penulis baru sebanyak 17 buah. Beberapa di antaranya jenaka seakan mengocok perut. Misalnya jeruk purut mlebu kerdus, ambune kecut durung adus yang berarti jeruk purut masuk kardus, bau kecut belum mandi. Kudung biru kudung ungu, kudu ngguyu ndelok kelakuanmu yang berarti kerudung biru kerudung ungu, (aku) tertawa lihat kelakuanmu. Golek banyu tekan Jerman, ora kudu ayu sing penting nyaman yang berarti cari air sampai Jerman, tidak perlu (gadis) ayu asal nyaman.
Pantun bukan sekadar jenaka. Ada pula yang bijaksana dan membakar semangat. Misalnya, DANDHANG GULA TEMBANG SINOM, NEMBANG NGASI WAYAH MAGHRIB, MUMPUNG ISEH WONG ENOM, KERJO BECIK NGGO SANGU URIP yang berarti tembang gula tembang sinom, menembang sampai maghrib, mumpung masih muda, kerja baik untuk bekal hidup. Bekupon omahe doro, melok Nipon tambah soro yang berarti pagupon rumah burung dara, ikut Nippon (Jepang) tambah sengsara. Pantun ini jelas cukup tua dan terkenal saat perang kemerdekaan di nusantara yang dalam kekuasaan Kekaisaran Jepang 1942-1945.
Semangat
Suyadi, warga RT 006 yang masih menggeluti ludruk, seni pertunjukan tradisional Jatim mengatakan, warga menyambut gembira penataan baru. “Pasti ada warga yang pada awalnya menolak. Setelah lihat tetangga rumahnya tambah menarik karena warna warni ya jadi berebut semua mau rumahnya dicat dan dihias,” katanya.
Menurut Suyadi, peresmian Kampung Parikan mengingatkan warga tentang jati diri sebagai komunitas Arek yang antara lain egaliter, berani, solidaritas tinggi, dan jenaka. Dalam percakapan Arek, diketahui sejumlah kosa kata yang berkonotasi kasar. Bahkan, mungkin tidak sedikit yang menganggap Arek Surabaya suka misuh atau mengumpat meski umpatan bisa berarti memaki, sayang, atau kagum.
Arek merupakan satu dari sepuluh wilayah kultural di Jatim yang di masa lalu dikenal dengan sebutan ‘Brang Wetan’ atau seberang timur Kerajaan Mataram. Komunitas Arek berkarakter semangat juang tinggi, terbuka terhadap perubahan, mudah beradaptasi, tetapi juga punya sisi perilaku bandha nekat atau modal nekat yang bisa positif dan bisa negatif.
Ketua Tim Kreatif Kampung Parikan Erwin Tirtosari mengatakan, secara fisik, daya tarik kawasan akan terpancar jika ada sesuatu yang baru. Rumah warna warni menjadi pilihan. Namun, dicat warna-warni saja tidak akan lebih menarik dibandingkan dengan kampung serupa yang terlebih dahulu ada yakni Jodipan di Malang dan Cibunut di Bandung.
Di sisi lain, Surabaya dianggap belum memiliki representasi kampung Arek. Untuk memulainya, warga menerima dindingnya dihiasi parikan dan ilustrasi tokoh ludruk. Akan makin banyak tokoh ludruk terutama yang sudah tiada diabadikan dalam bentuk mural atau fotonya dipajang di rumah. Kampung Parikan akan menjadi hall of fame atau dinding ketenaran ludruk.
Ludruk memuat banyak pantun dalam percakapan. Melestarikan pantun meski dalam bentuk sederhana di dinding diharapkan memunculkan keinginan untuk membangkitkan Ludruk. Untuk itu, pantun dinding tak boleh cabul dan kasar. “Dicari yang jenaka tetapi membangun, bijaksana, dan mengena. Tujuannya, anak-anak memahami dan bangga sehingga melestarikan sisi positif jati diri komunitasnya,” ujar Erwin.
Anggota Tim Kreatif Kampung Parikan Lukman Hidayat menambahkan, pengecatan dan pembuatan mural merupakan langkah awal RW 004 sebagai kampung Arek. Bersama warga segera dihidupkan sanggar ludruk. Warga terutama anak-anak akan dikenalkan, dilatih, dan diajak mencintai dan melestarikan ludruk. Diharapkan secara rutin ada ludruk di sana seperti di era kejayaan kesenian tradisional ini kerap pentas di gang dan jalan kampung. Semoga.