Ritual "Thudong" Para Biksu Disambut Wajah Ramah Indonesia
Puluhan biksu melakukan tradisi Thudong, dari Thailand hingga Candi Borobudur. Tidak hanya menahan hawa nafsu, mereka mengenal toleransi Indonesia.

Seorang pengurus Vihara Budhi Asih berbincang dengan seorang biksu di Vihara Budhi Asih, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Sebanyak 32 biksu atau bhante melakukan “Thudong” atau ritual jalan kaki ribuan kilometer dari Thailand menuju Candi Borobudur di Jawa Tengah. Mereka tidak hanya melatih kesabaran seperti yang diajarkan Sang Buddha, tetapi juga menyapa wajah ramah Indonesia.
Ratusan anak-anak hingga warga lanjut usia berdiri di Jalan Letnan Joni, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di bawah terik matahari siang itu, mereka tetap setiap menanti puluhan biksu yang berjalan kaki dari Thailand dan akan singgah di Vihara Budhi Asih.
Ketika sejumlah biksu yang membawa bendera Merah Putih melintas, warga sontak menyapa dan mengabadikan momen itu dengan gawainya. Mengenakan jubah coklat, para biksu pun membalasnya dengan senyuman hingga mengucapkan thank you serta “assalamualaikum”.
Tidak hanya itu, beberapa biksu bahkan memberikan air mineral botol kepada warga yang menyambut mereka. Padahal, mereka tampak kelelahan dan keringat membasahi tubuhnya.
“Kaget juga, saya dikasih air. Ini mau saya minum, haus,” ucap Caca Falyza Salsyabillah (20).

Sejumlah siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Jatibarang berfoto bersama sejumlah biksu atau bhante di Vihara Budhi Asih, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Warga Jatibarang ini baru kali pertama bertemu biksu. Ia pun takjub dengan kebersahajaan bhante. “Biasanya, lihat biksu cuma di televisi. Sekarang, bisa lihat secara langsung. Rasanya happy (senang). Tidak sia-sia saya tadi menunggu sekitar sejam,” ucap perempuan berhijab ini.
Sesampainya di wihara, sambutan semakin meriah. Saking banyaknya warga yang ingin berjumpa dengan para biksu, jalanan sempat padat. Forum koordinasi pimpinan kecamatan turut hadir. Pengurus wihara juga menyiapkan buah-buahan, minuman, serta makanan untuk biksu.
“Sajian ini bukan hanya dari umat Buddha, melainkan juga warga setempat yang beragama lain. Obat-obatan dan minuman, misalnya, dari warga Kristiani di sini. Padahal, kami tidak meminta,” ujar Apien, Ketua Vihara Budhi Asih. Di wihara, para biksu menginap dan membuat kebaktian.
Lihat juga : Tradisi Pabbajja Samanera di Candi Borobudur

Sebanyak 32 biksu beristirahat di Vihara Budhi Asih, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Kehadiran para biksu itu, menurut Nur Cahya, penyuluh agama Kantor Kementerian Agama Indramayu, memperteguh toleransi di Jatibarang. “Sekitar 1997, di sini dulu ada pelemparan gereja dan pembakaran toko warga Tionghoa. Tapi, sekarang, semuanya guyub,” katanya.
Sambutan hangat itu tidak hanya di Jatibarang, tetapi sejak puluhan biksu menginjakkan kaki di Indonesia, pada 8 Mei lalu. Prabu Diaz, penanggung jawab Thudong, mengatakan, rombongan mulai berjalan kaki pada akhir Maret dari Nakhon Si Thammarat di bagian selatan Thailand.
Mereka lalu berjalan kaki sekitar 10 hari ke Malaysia. Kemudian, para biksu menuju ke Singapura dengan jalan kaki selama 29 hari. Dari sana, mereka menyeberang ke Batam, Kepulauan Riau, pada 8 Mei. Keesokan harinya, mereka terbang dengan pesawat ke Jakarta.
Baca juga : Pesan-Tren Damai di Cirebon, Belajar Toleransi dari Gereja hingga Wihara

Sebanyak 32 biksu menyusuri jalan raya di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (17/5/2023).
Rombongan kemudian melanjutkan berjalan kaki menuju Candi Borobudur, Magelang, Jateng untuk memperingati Hari Raya Waisak 4 Juni nanti. Selama perjalanan, para biksu diterpa panas terik dan kelelahan. Bahkan, lanjutnya, cuaca sempat menyentuh 41 derajat Celcius di Malaysia.
“Dari 54 orang yang berangkat, sekarang tersisa 32 bhante,” ucapnya.
Dari jumlah itu, sebanyak 27 bhante di antaranya berasal dari Thailand, empat orang Malaysia, dan seorang dari Indonesia. Para biksu ini rencananya akan menuntaskan ritual jalan kaki, yang mencapai sekitar 2.000 km.
Selama perjalanan, panitia menyiapkan ambulans dan tenaga medis untuk para biksu. Mereka juga dibatasi hanya berjalan kaki 32 km dari pukul 04.00 hingga sore hari. Ketika cuaca panas, jaraknya dibatasi hanya 20 – 23 km. Mereka menginap di wihara hingga rumah umat.
“Yang membuat saya terharu, selama perjalanan, ribuan masyarakat Indonesia menyambut para biksu. Ada yang kasih minuman, makanan, dan lainnya. Hampir semuanya adalah beragama Muslim,” ujar Panglima Laskar Macan Ali, pasukan khusus Keraton Kasepuhan Cirebon.
Baca juga : Membangun Narasi Keberagaman dari ”Kota Wali” Cirebon

Anggota Banser ikut menjaga saat 32 biksu menyusuri jalan raya di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (17/5/2023).
Meskipun tidak seagama, tetapi kita sebagai sesama manusia yang harus saling menjaga dan menyayangi. Saya merasa bangga dan terharu bisa ikut (Syaiful Nurjaya)
Pengawalan Laskar Macan Ali, Barisan Anshor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama, hingga pihak lainnya terhadap para biksu juga dilakukan sukarela. Bahkan, tidak sedikit dari mereka harus mengeluarkan uang pribadi dan meninggalkan pekerjaan untuk mendukung Thudong.
“Kami ingin mengabarkan ke dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang menjaga pluralisme dan toleransi. (Tradisi Thudong) ini sama dengan kita, kalau antar orang naik haji atau ke pesantren,” ujarnya.
Semangat menyebarkan toleransi inilah yang membuat Syaiful Nurjaya (31), anggota Laskar Macan Ali, mengawal para biksu sejak dari Batam. Ia menanggung sendiri biaya transportasinya.
“Saya bawa uang Rp 2,5 juta, hasil tabungan sebulan,” ucap penjaga warung kelontongan ini.
Warga Plered, Cirebon, ini bahkan ikut berjalan kaki dari Karawang ke Indramayu. “Meskipun tidak seagama, tetapi kita sebagai sesama manusia yang harus saling menjaga dan menyayangi. Saya merasa bangga dan terharu bisa ikut,” ucap orangtua tunggal dari dua anak ini.

Prabu Diaz, penanggung jawab ritual jalan kaki biksu dari Thailand ke Indonesia, saat diwawancarai di Vihara Budhi Asih di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Di Magelang, mereka juga sudah ditunggu. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragam Kota Magelang Ismudiyono mengatakan, masyarakat lintas agama di sangat antusias menyambut kedatangan para biksu. Meraka akan diterima di Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Liong Hok Bio di Kota Magelang, 30 Mei 2023.
Ketua Harian TITD Liong Hok Bio, Gunawan, mengatakan, , para biksu akan melakukan pindapatta pada Rabu (31/5). Mereka akan berjalan kaki berkeliling di sekitar kelentang dan mendapatkan derma atau sedekah dari orang-orang yang dilewatinya. Ada 80 orang yang akan hadir, baik di biksu atau pendamping lintas iman.
Koordinator Humas Waisak Nasional 2567 BE/2023 Erick Fernando, mengatakan, kehadiran para biksu akan semakin menyemarakkan perayaan Waisak di Candi Borobudur.
"Mereka akan datang dan langsung berbaur dengan umat lainnya, mengikuti rangkaian perayaan Waisak,” ujarnya.
Selain itu, biksu juga akan berkunjung ke Candi Prambanan dan Candi Sewu. Setelahnya, para biksu akan kembali terbang daerahnya masing-masing pada 6 Juni.
Wajah ramah

Bhante Kantadhammo saat diwawancarai di Vihara Budhi Asih, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Bhante Kantadhammo (52), salah satu inisiator Thudong itu, mengatakan, rencana ke Indonesia sudah ada sejak 2019. Selain banyak biksu yang belum ke Indonesia, negara itu juga memiliki peninggalan agama Buddha. Akan tetapi, pandemi Covid-19 menghambat semuanya.
Ketika pandemi Covid-19 melandai, ia mewujudkan Thudong ke Candi Borobudur. “Alasan pertama ke sini karena mau mengenalkan wajah ramah Indonesia. Orang luar itu menganggap Indonesia, maaf, hanya berita negatif. Seperti ada teroris. Padahal, tidak seperti itu,” ujarnya.
Pernyataan Bhante Wawan, sapaannya, terbukti di perjalanan. “Sampai kami guyon. Saat di Thailand, kami bilang toleransinya kecil. Di Malaysia, lumayan sambil memegang jari kelingking. Pas di Indonesia, mereka langsung memberikan jari tangan dan kakinya,” katanya.

Sejumlah biksu atau bhante berdoa di Vihara Budhi Asih, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Kehadiran biksu di Indonesia juga untuk memenuhi janji kepada sahabatnya, almarhum Abah Taufik, kuncen Makam Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah salah satu wali sanga atau tokoh besar penyebar agama Islam di tanah Jawa.
“Abah ingin lihat biksu,” kata biksu asal Cirebon ini.
Bhante Maha Or (32) asal Malaysia mengakui toleransi warga Tanah Air. Menurut dia, sambutan warga Indonesia lebih meriah dibandingkan negara-negara sebelumnya.
“Warga di sini tersenyum, memberikan minum, dan makanan. Padahal, yang menyambut rata-rata Muslim,” katanya.

Potret kaki sejumlah biksu yang beristirahat di Vihara Budhi Asih, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (16/5/2023).
Pertama kali ke Indonesia, ia pun takjub dengan pluralisme warga. Sambutan itu jadi semangat tersendiri baginya. Apalagi, ia sempat demam dan kakinya lecet akibat berjalan kaki. Ia hanya mengeluhkan polusi dari kendaraan di pantai utara Jawa.
Namun, tantangan itu wajar dalam ritual Thudong yang melatih kesabaran. “Kita tidak boleh fighting (bertarung) dengan penderitaan, tetapi harus hadapi. Sekarang tahap kesabaran saya lebih jauh. Kami tahan kehausan, kepanasan,” kata Bhante Maha yang sudah lima kali ganti sandal.
Perjalanan para biksu belum berakhir. Mereka masih akan berjalan hingga ke Candi Borobudur. Sepanjang jalan itu, mereka tidak hanya melatih kesabaran, tetapi juga mengabarkan bahwa toleransi harus tetap tangguh. Seperti langkah mereka yang tidak surut.
Baca juga : Pembangunan Telah Mengubah Wajah Borobudur