Membangun Narasi Keberagaman dari ”Kota Wali” Cirebon
Dari ”Kota Wali”, Cirebon, sejumlah pihak berupaya terus membangun narasi toleransi, termasuk menghargai perbedaan jender, meski penuh tantangan.
Isu toleransi dan keadilan jender belum mendapatkan panggung seluas topik politik serta ekonomi di media. Padahal, isu tersebut dapat menyuarakan kelompok yang terpinggirkan. Sejumlah pegiat media di Cirebon, Jawa Barat, pun sepakat membangun narasi toleransi.
Seorang pegiat media sosial di Cirebon tidak habis pikir dengan ulah warganet. “Kalau kami posting (unggah) ucapan Selamat Natal di Instagram, ada yang tanya media ini agamanya apa? Saya bilang media kami untuk semua orang,” ujar pria yang enggan disebutkan namanya itu.
Keluhan itu ia sampaikan dalam Workshop “Perumusan Strategi Kampanye Media untuk Toleransi dan Keadilan Jender” di Hotel Santika Cirebon, pada Sabtu-Minggu (17-18/12/2022). Belasan pegiat media sosial, jurnalis, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil turut serta.
Fahmina Institute, organisasi nirlaba di Cirebon yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, menginisiasi kegiatan itu dengan dukungan Joint Inititative for Strategic Religious Action (JISRA). Selain memperluas jejaring, forum itu juga menjadi wadah curah gagasan.
Ungkapan pegiat medsos soal “Selamat Natal” itu, misalnya, mengagetkan para peserta. Pasalnya, konten yang diunggah itu hanyalah pesanan klien. Isi konten media itu juga sebagian besar terkait informasi seputar Cirebon dan bisnis, seperti promo restoran hingga toko perhiasan.
Baca juga : Energi Keberagaman untuk Pulihkan Ekonomi Cirebon
Namun, media dengan pengikut 250.000 lebih akun di Instagram itu pun “diserang” soal agama. Pernyataan lebih “sadis” juga menyasar Mubadalah.id, portal informasi tentang relasi perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.
“Beberapa kali ada yang inbox (mengirim pesan) atau komentar di Instagram (IG). Dia menuduh media kami liberal, ngaku-ngaku Islam, atau kafir,” ujar Vevi Alfi Maghfiroh dari tim Medsos Mubadalah.id. Ponselnya pernah berdering tiada henti karena ribuan pemberitahuan di medsos.
“Saya sampai enggak mau buka IG. Pernah, tim kami menutup kolom komentar karena isinya sudah tidak sehat. Padahal, yang komentar itu kebanyakan bukan follower (pengikut),” ungkapnya. Bergabung di IG sejak 2017, Mubadalah.id kini punya sekitar 41.000 pengikut.
Sejumlah konten Mubadalah.id yang kerap mendapat “serangan” sejumlah akun, lanjut Vevi, terkait moderasi beragama, perdebatan perempuan haid boleh berpuasa, hingga peran perempuan di ruang publik.
“Sering ada pertanyaan satir, seperti “ngaji di mana, min (admin)?” katanya.
Padahal, konten-konten berdasarkan dalil. Pesan hubungan baik umat Muslim dengan agama lainnya di IG Mubadalah.id, misalnya, mengutip hadis Sahih Bukhari nomor 5.005 yang bermakna Nabi Muhammad SAW selalu berbuat baik tanpa memandang agama seseorang.
Begitupun dengan konten yang mematahkan anggapan perempuan sebagai sumber fitnah. Padahal, dalam Al-Quran, setiap orang memiliki kecenderungan berbuat buruk atau jadi sumber fitnah, tetapi juga punya potensi untuk berbuat baik sebagai sumber anugerah.
Alih-alih larut dalam sakit hati, ‘serangan’ warganet itu justru menguatkannya dan tim
Mubadalah.id juga berisi tulisan dari santri dari berbagai daerah hingga ulama. Misalnya, KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, dan Dr Faqihuddin Abdul Kodir, anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
“Makanya, kalau ada yang bilang kami ngaji di medsos, bukan pesantren, kami diam aja dan tersenyum dalam hati,” ucap Vevi, yang bertahun-tahun nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Alih-alih larut dalam sakit hati, ‘serangan’ warganet itu justru menguatkannya dan tim.
“Perjuangan ini memang tidak mudah. Tapi, saya yakin, toleransi dan keadilan jender ini nilai hidupku,” ucap perempuan berusia 27 tahun asal Kabupaten Indramayu, Jabar ini. Bergabung di Mubadalah.id dua tahun terakhir, Vevi bahkan menemukan kebahagiaan tersendiri lewat konten.
Misalnya, ketika sejumlah warganet mulai bertanya dan curhat tentang relasi setara antara perempuan dan laki-laki atau hubungan baik dalam rumah tangga. “Atau saat ada komentar, ajaran Islam itu tidak keras sambil ngetag (menandai) kami, Mubadalah.id,” ucapnya tersenyum.
Kurang populis
Rosidin, Direktur Fahmina Institute, mengatakan, resistensi terhadap konten ucapan selamat Natal hingga hak perempuan di ruang publik menunjukkan tantangan menyuarakan isu toleransi dan keadilan jender. “Isu ini dianggap tidak populis dibandingkan bisnis dan politik,” ucapnya.
Kedua isu itu juga dinilai tidak memberi dampak ekonomi, seperti iklan. Malah, ada kekhawatiran pelanggan media berkurang jika mengambil isu yang dianggap sensitif. Apalagi, katanya, setelah pasca DKI Jakarta tahun 2017, politik identitas mencuat dan memicu polarisasi.
“Biasanya, media hanya memberitakan soal kasus saja. Misalnya, penolakan pendirian tempat ibadah. Sayangnya, informasinya justru memicu emosi, bukan menggerakkan orang untuk berdialog,” ungkap Rosidin. Bahkan, tidak jarang, muncul narasi intoleransi dalam konten itu.
Menurut dia, ungkapan intoleransi mengandung indikator memicu kebencian terhadap seseorang atau kelompok, merusak kohesi sosial, dan menuduh orang lain. Misalnya, konten yang menuduh aliran kepercayaan tertentu sesat atau berita yang menjelek-jelekkan suatu golongan atau etnis.
Sebenarnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah melarang ujaran kebencian. Namun, aturan itu belum membangun narasi toleransi. “Justru pemerintah terkesan fokus (menindak) narasi yang dianggap merugikan pemerintah,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, isu toleransi dan keadilan jender tidak hanya menguatkan kohesi sosial, tetapi juga memihak kepada kelompok yang terpinggirkan. Hak konstitusi warga untuk beribadah sesuai kepercayaannya, misalnya, kerap kali kalah dengan dalih menjaga kondusivitas daerah.
Itu sebabnya, pihaknya mengajak pegiat media sosial, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk berkolaborasi menyuarakan kedua isu itu. Pihaknya menyasar Cirebon dan Majalengka karena daerah tersebut memiliki modal keberagaman sekaligus tantangan intoleransi.
Data Fahmina menunjukkan, 30 warga Cirebon pernah ditangkap terkait dengan terorisme selama 2015-September 2021. Sejumlah warga Majalengka juga diduga pernah terlibat terorisme. Di sisi lainnya, beragam agama dan etnis hidup harmonis di kedua daerah tersebut.
Saat perayaan Natal beberapa hari lalu, misalnya, sejumlah warga Cirebon yang beragama Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. “Ucapan seperti itu bagian dari apresiasi kepada pemeluk agama lainnya sekaligus mengampanyekan isu toleransi,” ucap Rosidin.
Sejumlah peserta workshop juga turut mengunggah ucapan serupa di akun Instagramnya. Forum itu, antara lain, menyepakati membuat jaringan komunikasi untuk bersama-sama menyuarakan isu toleransi dan keadilan jender di Cirebon. Terlebih, masyarakat menganggap toleransi penting.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-10 November 2022 menunjukkan 72,6 persen responden menilai masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi. Sekitar 47,6 persen juga menganggap tenggang rasa dalam perbedaan agama perlu ditingkatkan (Kompas, 14/11/2022).
Dari “Kota Wali” Cirebon, sejumlah pihak berupaya terus membangun narasi toleransi, termasuk menghargai perbedaan jender, meski penuh tantangan. Cirebon, yang berasal dari kata sarumban lalu diucapkan caruban yang berarti ’campuran’ seharusnya lantang menyuarakan keberagaman.
Baca juga : Jatuh-Bangun Pemuda Cirebon Menjaga Nyala Toleransi