Berbagai aktivitas pembangunan telah mengubah wajah kawasan Borobudur yang kini tidak lagi tampak sebagai perdesaan. Kawasan ini telah berubah menjadi sentra ekonomi perkotaan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Wajah Candi Borobudur mengalami berbagai perubahan sejak dibuka sekitar 40 tahun lalu. Kini, Borobudur tidak lagi tampak sebagai wilayah perdesaan, tetapi mengesankan kawasan perkotaan. Hal ini membuat Borobudur rentan kehilangan cerita, narasi sejarah, hingga pesonanya sebagai warisan dunia.
“Kini, saat datang ke Borobudur, wisatawan dari Kota Semarang atau Jakarta hanya akan menemukan pemandangan yang menyerupai dengan kota asalnya,“ ujar Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Junus Satrio Atmodjo, Sabtu (25/6/2022).
Sekitar tahun 1970-an, Junus mengatakan, kawasan sekitar candi adalah kawasan perdesaan yang asri, tenang, dengan banyak pemandangan pohon kelapa. Namun, pembangunan yang terus masif dilakukan, terutama selama 20 tahun terakhir, hanya menyisakan pemandangan berupa bangunan toko, hotel, dan restoran.
Di Angkor Wat, Kamboja, wilayah di sekitarnya dibiarkan tetap seperti kondisinya semula. Kegiatan pembangunan terkait dengan wisata dilakukan di daerah lain, tepatnya di Kota Siem Reap.
Sementara itu, di kawasan Borobudur, pembangunan beragam bangunan, dibiarkan tumbuh langsung baik di depan maupun di sekeliling pagar Taman Wisata Candi Borobudur. Padahal, di sekeliling pagar, dimungkinkan masih terpendam batu-batu kuno, situs, atau tempat yang menjadi bagian dari rangkaian cerita berdirinya Candi Borobudur.
Kondisi ini, pada akhirnya membuat candi Buddha ini kehilangan cerita atau narasi tentang sejarah pembangunannya di masa silam. “Kita tidak lagi tahu darimana batu-batu candi berasal dan di mana warga memahatnya. Tidak mungkin lagi menggali-gali atau melakukan eksplorasi karena kawasan di luar pagar sudah begitu padat dengan beragam bangunan,“ ujarnya.
Kawasan Borobudur termasuk sebagai cagar budaya nasional. Hal ini ditetapkan dalam Surat Keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 286/M/2014 tentang Satuan Ruang Geografis Borobudur sebagai kawasan cagar budaya peringkat nasional.
Kawasan Borobudur kini juga ditetapkan sebagai destinasi superprioritas. Mengacu pada keputusan pemerintah sebelumnya yang menyatakan akan melakukan pembatasan pengunjung, label superprioritas ini menjadi tidak jelas karena dana triliunan rupiah yang telah dikucurkan hanya digunakan untuk menambah fasilitas yang semuanya “menggiring“ kunjungan ke candi saja.
“Pancaran pesona wisata tetap ada di Candi Borobudur. Padahal, daya tarik wisata itu bisa dibangun di banyak sektor di banyak tempat di sekitarnya, seperti di Kota Magelang,“ ujarnya.
Oleh pemerintah, kawasan zona II Borobudur dieksplorasi habis-habisan untuk kegiatan wisata dengan alasan demi meningkatkan perekonomian warga setempat. Namun, warga yang disebut sebagai alasan kemudian juga tidak jelas, karena banyak warga setempat kini justru tersingkir, dan digantikan oleh pendatang yang kemudian menanamkan investasinya di Borobudur.
Jack Priyana (56), salah seorang pegiat wisata dan perintis homestay di kawasan Borobudur, mengatakan, keausan dan kerusakan candi, dinilainya selama ini terjadi karena Candi Borobudur semata-mata dianggap sebagai sumber uang.
“Padahal, dengan mengingat statusnya sebagai benda cagar budaya, jumlah kunjungan dan pemasukan dari tiket semestinya tidak menjadi target utama yang dibebankan pada candi,“ ujarnya.
Selama lebih dari 40 tahun dibuka sebagai obyek wisata, warga Kecamatan Borobudur, juga terbiasa diposisikan sebagai warga yang berada di luar komersialisasi bangunan cagar budaya Candi Borobudur. Warga tidak pernah dilibatkan dalam kebijakan apa pun terkait manajemen kunjungan.
Pada akhirnya, warga pun berinisiatif, berupaya mengambil remah keuntungan, dengan mencari-cari peluang untuk menjual apa saja kepada wisatawan. Produk yang dijual pun berubah menyesuaikan keadaan.
“Kalau dulu, hanya terbatas menjalankan aktivitas perdagangan dengan menjadi pedagang asongan, maka kini, seiring dengan banyaknya investor luar yang masuk, sebagian warga pun saat ini beralih komoditas dengan menjual tanah mereka,“ ujarnya.
Perubahan ini, menurut dia, terlihat mencolok sekitar lima tahun terakhir. Jika sebelumnya rata-rata harga tanah di desa masih kurang dari Rp 500.000 per meter persegi, maka kini, harga tanah di area sempit, dan bahkan sulit diakses sekalipun, sudah mencapai lebih dari Rp 1 juta per meter persegi.
Selama lima tahun terakhir, pelatihan dan berbagai program pendampingan, menurut dia, memang banyak dilaksanakan oleh beragam kementerian dan institusi. Namun, karena sudah sekian lama terbiasa tanpa pendampingan, maka hanya segelintir warga yang akhirnya tergerak untuk berinovasi menciptakan produk ataupun destinasi wisata baru.
“Kebanyakan warga bersemangat mengikuti pelatihan karena ingin mendapatkan uang amplopannya saja,“ ujarnya, Uang amplopan adalah sejumlah uang dalam amplop yang biasa dititipkan sebagai pengganti uang transportasi.
Bendrat (46), Ketua Desa Wisata Wanurejo, mengatakan, tanpa ada inisiasi pendampingan dari pihak manapun, geliat desa wisata dari wilayah sekitar Taman Wisata Candi Borobudur, murni berasal dari inisiatif warga sendiri.
Dia dan warga memulai semuanya secara otodidak, dengan mengemas semua aktivitas di desa, mulai dari bertanam padi hingga memasak menjadi paket wisata bagi turis. Sebelum pandemi, target kunjungan di Desa Wanurejo mencapai lebih dari 6.000 orang, dan jumlah kunjungan terbanyak terjadi di tahun 2018, 48.000 orang.