Mendamba Keadilan untuk Korban Pembuangan Kotoran
Hampir setiap hari, selama bertahun-tahun rumah Wiwik Winarti (64) dilempari kotoran berupa tinja bercampur air kencing oleh tetangganya. Korban menuntut keadilan terhadap perlakuan tidak menyenangkan tersebut.
Hampir setiap hari, selama bertahun-tahun rumah Wiwik Winarti (64) dilempari kotoran berupa tinja bercampur air kencing oleh tetangganya. Perlakuan tidak menyenangkan itu pun telah dilaporkan kepada perangkat desa hingga aparat kepolisian. Namun, perbuatan itu terus terulang.
Wiwik datang ke kantor Satuan Polisi Pamong Praja Sidoarjo, Senin (15/5/2023) siang, ditemani menantunya, Nur Mas’ud. Warga Desa Jogosatru, Kecamatan Sukodono, ini ditemui Sekretaris Satpol PP Sidoarjo Yani Setiawan dan Kepala Satuan Reskrim Polresta Sidoarjo Ajun Komisaris Tiksnarto Andaru Rahutomo.
Kedatangan Wiwik tidak lain untuk mengadukan perbuatan Masriah, tetangganya yang tinggal tepat di sebelah rumah. Hampir setiap hari pelaku menyiramkan berbagai kotoran, seperti tinja dan air kencing, ke pintu rumah korban. Acapkali, penyiraman kotoran itu diulang hingga empat kali dalam sehari.
”Setiap hari dibuangin air kencing sama sampah yang bau sekali. Itu (perbuatan) dilakukan terus menerus sejak 2017 hingga sekarang,” ujar Wiwik.
Korban awalnya diam dan berharap pelaku menghentikan perbuatannya. Namun, karena perbuatan tercela itu terus dilakukan, Wiwik kemudian melapor ke Kepolisian Sektor Sukodono pada 2017. Singkat cerita, polisi memanggil pelapor dan terlapor untuk dimediasi.
Baca juga: Pahlawan Kesiangan di Palagan Konflik Lahan
Pelaku lantas meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Namun, dalam perjalanannya, pelaku ingkar janji. Dia kembali mengulang perbuatan tersebut secara terus-menerus. Bahkan, saat masa perayaan Idul Fitri 2023, pelaku menyiramkan kotoran ke sepeda motor milik tamu korban.
Menurut Wiwik, motif pelaku melempari kotoran tidak lain untuk membuat penghuni rumah tidak betah tinggal. Pelaku ingin membeli rumah milik korban dengan alasan dulu milik orangtuanya. Rumah itu dijual oleh keluarga pelaku kepada korban.
”Saya mau menjual rumah itu asalkan uangnya bisa digunakan untuk membeli rumah lagi. Namun, dia (pelaku) maunya membeli dengan harga murah. Saya menolak,” ujar Wiwik.
Singkat cerita, pada 4 Mei 2023, pelaku kembali berulah melempar kotoran ke rumah Wiwik. Korban pun memasang kamera pemantau (CCTV) untuk merekam perbuatan pelaku. Rekaman itu kemudian diunggah di media sosial dengan harapan mendapat perhatian dari aparat penegak hukum.
Rekaman video itu pula yang kemudian dijadikan sebagai dasar laporan ke Polsek Sukodono dan perangkat desa setempat. Sebab, Wiwik telah kehilangan kesabaran karena terus mendapat perlakuan buruk dari Masriah. Dia ingin mendapat keadilan dan kehidupan yang nyaman tanpa gangguan dari pelaku.
Baca juga: Rapuhnya Kota-kota Kita
Kepala Polsek Sukodono Ajun Komisaris Supriyana telah menerima laporan korban. Dia juga telah memeriksa sejumlah pihak mulai pelapor, terlapor, tetangga korban, hingga perangkat desa setempat. Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, penyidik tidak menemukan unsur pidana dalam perbuatan terlapor yang masuk kategori melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Polsek Sukodono kemudian meminta bantuan Satuan Reskrim Polresta Sidoarjo dan Satuan Polisi Pamong Praja Sidoarjo untuk menangani perkara tersebut. Tiksnarto Andaru mengatakan, penyidik telah berkoordinasi dengan Satpol PP untuk mendiskusikan tentang peraturan perundang-undangan yang sesuai diterapkan dalam penanganan kasus pembuangan kotoran ke tetangga.
”Ini kami diskusikan peraturan daerah yang cocok kemudian akan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku yang memang setiap hari membuang kotoran ke rumah tetangganya. Perbuatan itu tidak pantas dan harus mendapat ganjaran yang setegas-tegasnya,” kata Andaru.
Sementara itu, Yani Setiawan mengatakan, pihaknya segera melakukan gelar perkara dengan melibatkan berbagai intansi di lingkungan Pemkab Sidoarjo, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Sidoarjo, Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya, dan bagian hukum Pemkab Sidoarjo. Tujuannya mencari peraturan daerah yang tepat untuk menangani perkara tersebut.
”Nanti akan dikaji apakah perbuatan pelaku masuk kategori melanggar peraturan daerah Sidoarjo. Perda apa yang dilanggar, apakah terkait sampah atau yang lain,” kata Yani.
Kepala Satpol PP Sidoarjo Tjarda menambahkan, pada intinya negara, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo, berupaya hadir untuk melindungi setiap warganya, termasuk Wiwik. Upaya mediasi sudah dilakukan oleh perangkat desa, tetapi gagal sehingga ditindaklanjuti dengan penyelidikan untuk menentukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan pelaku.
Selama proses penyelidikan tersebut, satpol PP akan menurunkan anggotanya untuk mengawasi rumah korban agar pelaku tidak mengulang perbuatannya. Tjarda menambahkan, saat ini pelaku mendapat sanksi wajib melapor ke kantor polisi sebanyak dua kali dalam sepekan.
”Setiap warga berhak hidup dengan aman dan nyaman. Perbuatan yang tidak baik harus dihentikan dan pelakunya ditindak dengan tegas untuk memberikan efek jera,” ujar Tjarda.
Tidak harus pidana
Pakar hukum pidana yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Sholehudin, mengatakan, dalam membangun interaksi sosial di masyarakat, terdapat banyak norma yang harus dipatuhi oleh setiap warga. Ada norma sosial, norma agama, dan hukum.
Apabila terdapat suatu perilaku tidak menyenangkan, seperti membuang kotoran ke rumah tetangga, pelaku bisa dijatuhi sanksi terhadap pelanggaran norma. Contohnya sanksi sosial berupa menjadi bahan guncingan tetangga atau bahkan dikucilkan dari pergaulan di masyarakat.
”Ada banyak norma atau aturan di masyarakat yang bisa digunakan untuk menghukum pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Tidak semua persoalan di masyarakat harus diselesaikan melalui norma hukum, terutama hukum pidana,” kata Sholehudin.
Dia menilai, tindakan aparat penegak hukum yang tidak memaksakan menggunakan perspektif pidana dalam menangani kasus tersebut, bukan hal buruk. Alasannya, untuk menentukan sebuah perkara masuk dalam ranah pidana adalah terpenuhinya unsur-unsur pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
”Hukum pidana sangat ketat, artinya harus mendasarkan pada asas-asas yang paling fundamental, seperti memiliki legalitas formal. Artinya, perbuatan itu ada dalam ketentuan hukum pidana,” tegas Ketua Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Indonesia tersebut.
Setiap warga berhak hidup dengan aman dan nyaman.
Sholehudin meminta masyarakat tidak latah dalam menyikapi persoalan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dengan hanya menggunakan perspektif hukum pidana. Masih banyak cara mendapat keadilan atas pelakuan tidak menyenangkan melalui norma-norma lain yang ada di masyarakat.
Terkait dengan perlakuan membuang kotoran ke rumah tetangga, terbuka kemungkinan untuk ditangani menggunakan perangkat hukum berupa peraturan daerah Sidoarjo, seperti perda tentang sampah. Konsekuensi terhadap pelanggar perda adalah hukuman berupa kurungan dan atau denda.
Untuk menerapkan hukuman kurungan tersebut agar berefek jera bagi pelaku, diperlukan kebijaksanaan dari majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Jangan sampai sanksi yang dijatuhkan nantinya tidak memenuhi rasa keadilan untuk korban.
Sholehudin menilai, kasus pelemparan kotoran ke tetangga sejatinya mengingatkan masyarakat untuk melihat kembali norma-norma yang mengatur interaksi sosial atau kehidupan bermasyarakat. Selain itu, mengingatkan kembali perlunya mempererat kohesi sosial antarwarga untuk meminimalkan konflik atau gesekan sosial.