Ke Hutan Kehje Sewen, Lima Orangutan Kaltim Kembali
Lima orangutan di Kaltim dilepasliarkan ke hutan setelah menjalani masa rehabilitasi. Salah satunya masih menyimpan bekas rantai di leher akibat perbuatan pemeliharanya terdahulu.
Sebuah kotak besi berguncang sesaat setelah tiga mobil dobel kabin berhenti di tepi jalan Samboja Lestari, pusat rehabilitasi orangutan yang dikelola Borneo Orangutan Survival Foundation atau BOSF. Kotak tersebut berada di salah satu bak terbuka mobil. Sesaat kemudian, empat jari panjang berbulu coklat terlihat menggenggam jaring besi di antara dedaunan yang sengaja diletakkan di sekitar kotak tersebut.
Itu adalah jari-jari Riana, orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) betina, yang siap dilepasliarkan ke Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Usia Riana kini sekitar 10 tahun. Ia adalah orangutan yang sempat dipelihara seorang warga di Kota Bontang. Setelah disita oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, pada Februari 2018 Riana dititipkan ke Samboja Lestari untuk ”disekolahkan” agar liar kembali.
Saat disita, Riana berusia lima tahun dan dalam kondisi leher dirantai. Dari penuturan warga, Riana sudah dipelihara sekitar empat tahun. Saat itu, rantai yang membelenggu amat sesak di leher Riana ketika tim BKSDA Kaltim melepasnya. Setelah sekitar lima tahun direhabilitasi, Riana dinilai sudah liar kembali. Pada Selasa (16/5/2023), Riana dan empat orangutan lain diantar ke Kutai Timur untuk dikembalikan ke hutan, habitat alaminya.
”Orangutan Riana masih meninggalkan bekas luka di leher dari pemelihara terdahulu. Semoga trauma ini berakhir dengan melepasliarkan mereka,” ujar Region Manager East Kalimantan BOSF Aldrianto Priadjati saat melepas lima orangutan itu di Samboja Lestari, Kutai Kartanegara, Kaltim.
Selain Riana, ada dua orangutan betina dan dua orangutan jantan yang turut dilepasliarkan bersamaan. Mereka adalah Leann, Mayer, Andreas, Elaine. Kelimanya berusia antara 10-13 tahun. Mereka merupakan orangutan sitaan yang dipelihara oleh warga di sejumlah daerah Kaltim. Setelah menjalani masa rehabilitasi sekitar lima sampai sembilan tahun, mereka dinilai sudah bisa kembali ke alam liar, yakni Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur yang dinilai ideal untuk pelepasliaran orangutan.
Kelima Pongo itu dibawa melalui jalur darat dengan tiga mobil dobel kabin bergardan ganda. Dari Kutai Kartanegara menuju kampung terakhir sebelum Hutan Kehje Sewen, mereka mesti menempuh perjalanan sekitar 12 jam. Di setiap mobil, orangutan itu didampingi teknisi dan dokter hewan untuk mengecek kondisi mereka secara berkala selama perjalanan.
Orangutan Riana masih meninggalkan bekas luka di leher dari pemelihara terdahulu. Semoga trauma ini berakhir dengan melepasliarkan mereka.
Menurut standar operasi BOSF, orangutan itu tak serta-merta dilepas ke alam liar begitu saja. Tim dari BOSF dan BKSDA Kaltim melakukan pemantauan ketat untuk memastikan para Pongo bisa beradaptasi di hutan liar. Misalnya, mereka akan dipastikan sudah bisa mendapatkan pangan secara mandiri, bisa membuat sarang, tak terlibat konflik dengan orangutan atau satwa lain, serta memantau kesehatan fisik dan mental para Pongo.
”Sedikitnya selama dua tahun kelima orangutan itu akan dimonitor,” kata Aldrianto.
Baca juga: Kembalinya Astuti, Pongo Kecil yang Diselamatkan dari Penjualan Satwa
Pelepasliaran orangutan ini merupakan kegiatan pertama setelah absen dua tahun karena gerak yang terbatas akibat pandemi Covid-19. BOSF mencatat, ini merupakan pelepasliaran orangutan ke-25 di Kaltim sejak Samboja Lestari beroperasi. Sedikitnya 127 orangutan sudah dilepasliarkan sejak 2012.
Pelepasliaran itu disaksikan oleh sukarelawan dari sejumlah negara, perwakilan BKSDA Kaltim, dan Vice President Corporate Social Responsibility (CSR) BCA Titi Yusnarti. Aldrianto mengatakan, kegiatan rehabilitasi orangutan di sana turut didukung oleh Bank BCA dalam pembiayaan sejumlah program, termasuk untuk memenuhi kebutuhan orangutan di pusat rehabilitasi.
Program "sekolah"
Sebelum dilepasliarkan, para orangutan ini menjalani rangkaian panjang di pusat rehabilitasi. Mereka mula-mula menjalani sejumlah tes kesehatan. Sambil terus diawasi kesehatan mental dan fisiknya, para Pongo menjalani program untuk memantik sifat liar kembali muncul.
Sebab, selama dipelihara oleh manusia, mereka tak bersentuhan dengan alam liar dalam waktu lama. Para orangutan itu terbiasa diberi makan, hidup dalam sangkar, atau hidup dibelenggu rantai yang ruang geraknya amat terbatas. Kondisi tersebut mencerabut para Pongo dari habitatnya sekaligus mengikis sifat liarnya.
Program meliarkan kembali itu disebut sekolah hutan. Tak ada waktu pasti orangutan bisa ”lulus” sekolah hutan. Kelulusan akan ditentukan oleh tim pengasuh sekaligus tenaga medis yang mengawasi mereka secara berkala. Setelah dinilai siap secara kemampuan dan kesehatan, para orangutan itu baru bisa dilepasliarkan kembali.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Tenggarong BKSDA Kaltim Suryawati Halim mengatakan, beberapa orangutan itu sebagian besar disita dari warga yang memeliharanya tanpa izin. Beberapa warga memelihara para orangutan lantaran ditemukan di sekitar kebun. Dari data yang dikumpulkan Suryawati, warga mengaku kasihan dan memutuskan memelihara dengan cara masing-masing.
Padahal, kata dia, jalan terbaik untuk menolong orangutan adalah membiarkannya kembali ke hutan. Ia mengimbau agar warga tak memberikan makanan atau mendekati satwa, termasuk orangutan, saat mereka memasuki kawasan pemukiman atau kebun. Tindakan memberi makan akan membuat orangutan kembali lagi ke wilayah tersebut.
Baca juga: Balada Orangutan di Kaltim
Sebab, orangutan biasanya keluar hutan lantaran kesulitan mencari makan di habitatnya. Dalam konteks di Kaltim, kata Suryawati, habitat orangutan tergerus oleh aktivitas perambahan, pertambangan, atau perkebunan. Akibatnya, sumber pangan dan ruang hidup orangutan menyempit.
”Sebaiknya warga menghubungi BKSDA Kaltim saat ada orangutan yang masuk ke kebun dan membiarkannya. Tindakan kecil, seperti memberi makan, bisa membuat perilaku mereka berubah ke luar hutan dan kembali lagi ke permukiman,” kata Suryawati.
Ia mengatakan, orangutan merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan membiarkan satwa hidup liar di hutan, satwa tersebut secara natural membantu penyebaran benih tumbuhan, termasuk benih pohon. Itu dilakukan melalui sisa biji yang mereka makan dan biji buah yang keluar dari fesesnya. Pohon-pohon itu akan tumbuh secara alami dan menyediakan oksigen bagi manusia di sekitarnya.
Bekas rantai yang membelenggu Pongo Riana adalah tanda tak adanya pengetahuan tersebut. Memelihara atau memburu orangutan, yang merupakan satwa dilindungi dan statusnya terancam punah, artinya menghilangkan salah satu elemen penting penghutanan alami yang menghasilkan oksigen bagi manusia.